Mgr. Dr. Silvester San,Pr

 


Mgr. Dr. Silvester San, Pr, lahir di Mauponggo Flores 14 Agustus 1961 dari pasangan Roben Robo dan Katharina Nere.Menyelesaikan pendidikan di SDK Maukeli Ngada tahun 1973, lalu melanjutkan ke SMP dan SMA Seminari Mataloko tahun 1974-1989. Tahun rohani dijalankan di Seminari Ritapiret tahun 1980 lalu studi filsafat dan teologi di STFK Ledalero tahun 1980 – 1988.
Tanggal 29 Juli 1988 ditahbiskan menjadi imam di Maumere oleh Mgr. Donatus Djagom,SVD. Karya pastoral yang dijalankan setelah ditahbiskan adalah Pastor Pembantu di Paroki Mataloko dan mengajar di Seminari Mataloko dari tahun 1988-1990. Lalu melanjutkan studi bidang Teologi Biblis di Universitas Urbaniarum, Roma hingga memperoleh gelar licenciat tahun 1992 dengan tesis ‘The Mercy of God in the Parables of Luke 15”.
Setelah itu kembali ke Indonesia dan berkarya sebagai Pembina para frater di Seminari Tinggi Ritapiret serta mengajar di STFK Ledalero. Tahun 1995-1997 kembali melanjutkan studi di Universitas Urbaniarum untuk bidang studi Teologi Biblis dan meraih gelar doctor dengan disertasi “The experience of the Risen Lord in Luke 24:1-35). 

Setelah kembali ke Indonesia ditugaskan sebagai pengajar di STFK Ledalero dan Pembina para frater di Seminari Tinggi Ritapiret. Tahun 2004-2007 dipercayakan sebagai Praeses Seminari Ritapiret dan dipercayakan lagi sebagai Praeses Seminari Ritapiret tahun 2007 sampai diangkat menjadi Uskup Denpasar. Tanggal 22 November 2008 Paus Benediktus XVI mengangkatnya menjadi uskup Denpasar.
Tanggal 19 Februari 2009 ditahbiskan menjadi Uskup Denpasar dan memilih motto; “ Deus Incrementum Dedit”, Allah Memberi Pertumbuhan.
lesaikan pendidikan di SDK St. Fransiskus Xaverius Wetik tahun 1985 lalu melanjutkan pendidikan di SMPK Sadar Ranggu tahun 1988. Menyelesaikan SMA di Seminari Yohanes Paulus II Labuanbajo tahun 1991. Tahun rohani di Lela Maumere tahun 1992-1992 lalu studi filsafat di STFK Ledalero tahun 1992-1996. Menjalani Tahun Orientasio Pastoral di Seminari Menengah Roh Kudus Tuka tahun 1996-1998 dan studi teologi di STFK Ledalero tahun 1998-2000. Tahbisan diakon di Seminari Ritapiret oleh Uskup G.Kherubim Pareira,SVD lalu menjalani praktek diakonat di Seminari Roh Kudus Tuka pada tahun 2000. Menerima tahbisan imam di Gereja Kristus Raja Ruteng oleh Uskup Eduardus Sangsung,SVD dengan motto tahbisan; Allah adalah Kasih”.Pernah berkarya sebagai pastor pembantu paroki Kuta (2000-2002), Pastor pembantu Paroki Tabanan (2002-2004), Pastor pembantu di paroki Mataram (2004-2006) dan Direktur Spiritual Seminari Tuka tahun 2008-2010.


BIODATA USKUP DENPASAR

1. Nama Lengkap : Mgr. DR. Silvester San, Pr.
2. Tempat/Tanggal Lahir : Mauponggo, 14 Agustus 1961
3. Anak ketiga dari sembilan bersaudara
§ Ayah : Roben Robo
§ Ibu : Katharina Nere
4. Pendidikan:
§ SDK Maukeli, Ngada
§ Seminari Toda Belu- Mataloko (SMP-SMA) 1974-1980
§ Tahun Rohani di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Kabupaten Sikka tahun 1980
§ Studi Filsafat dan Teologi di STFK Ledalero, Kabupaten Sikka
5. Tahbisan imam: 29 Juli 1988 oleh Mgr. Donatus Djagom, SVD, di Maumere.
6. Pastor Pembantu Paroki Roh Kudus sambil mengajar di Seminari Mataloko selama dua tahun.
7. Melanjutkan studi ke Roma pada Universitas Urbanianum, Spesialisasi Teologi Biblis.
8. Gelar Licenciat diperoleh tahun 1992 dengan tesis The Mercy of God in the Parables of Luke 15.
9. Pembina Para Frater di Seminari Ritapiret dan pengajar di STFK Ledalero.
10. 1995-1997 melanjutkan studi program S3 pada Universitas Urbanianum dalam Teologi Biblis, dengan disertasi doktor: “The Experience of the Risen Lord in Luke 24:1-35”.
11. Pengajar di STFK Ledalero dan pembina Frater di Seminari Tinggi Ritapiret.
12. Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret periode 2004-2007.
13. Diangkat lagi Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret periode kedua pada tahun 2007 - sekarang.
14. Tanggal 22 November 2008 diangkat sebagai Uskup Denpasar.

Masa Kecil
 
Di tahun ke-6 usia perkawinan pasutri Roben Robo dan Katharina No’o Nere, kembali dikarunia seorang anak. Betapa bahagianya mereka, terutama kakeknya. Chum Kin San, kakeknya sungguh menantikan peristiwa ini. Ia lalu meminta agar sang cucu diberi nama yang sama dengan dirinya. Maka dinamai bayi itu, Tung Kiem San.
Dalam usia yang masih balita, San sudah bersekolah, “sekolah ikut-ikut”, istilah ibunya. Ia sering diajak oleh seorang guru, bernama Guru Lena. Menurut cerita ibunya, pernah suatu ketika, saat San masih berusia tiga tahun, San terkena penyakit di sekitar daun telinganya. Segala macam obat, seperti penysilin, telah dicoba tetapi penyakit tersebut tak kunjung sembuh. Karena penyakitnya ini San kerap dipanggil “Soso Moso”.
Soso moso adalah jenis binatang kecil, yang suka mengeluarkan bunyi, yang hidupnya pada daun-daun.“Kami dulu panggil dia soso moso, luka-luka di telinga. Ada satu binatang yang suka bunyi-bunyi itu, namanya soso moso. Bapa guru Lena, pak Bupati punya bapa, yang panggil dia soso moso...”. Ujar ibunya, sambil tertawa mengenang. Guru Lena kemudian memberikan ramuan obat dari daun-daunan. Sepekan kemudian, San kecilpun sembuh. Meski penyakitnya telah sembuh, San masih dipanggil soso moso oleh orang di kampungnya. Salah seorang putra dari Guru Lena, yang bernama Johanes S Aoh kini menjabat sebagai Bupati Nagekeo NTT. Pada tahun 1965, saat usianya masih 4 tahun, San kecil diboyong oleh kedua orang tuanya dan menetap di Maukeli.

Menetap di Maukeli

Tung Kiem San pun dibaptis dengan nama Silvester San. San dilahirkan di Mauponggo, 14 Agustus 1961. Anak ketiga dari sembilan bersaudara, pasangan Roben Robo dan Katharina No’o Nere. Keluarga besarnya adalah warga keturunan Tionghoa, yang sederhana. Kakak pertamanya Emiliana Lang, seorang pengusaha percetakan sukses di Kupang NTT, lalu Bernadetha Milang Robo (Bajawa), Mgr. DR Silvester San, Pr (Uskup Denpasar), Florentinus Sun Robo (Jakarta), Ignasius Robo (Maukeli), Crensentiana Robo (Maumere), Thomas Siku Robo (Bali), Agustinus Winokan (Surabaya) dan Inocentius Amos Pa (Surabaya).
Baba Robe, demikian sapaan ayahnya adalah seorang pedagang ulet, yang hingga saat ini masih mengurus usaha dagang dan jasa pengangkutan “Sutra Alam” di Flores NTT. Kedua orang tuanya kini menghabiskan masa tuanya di Jalan Gatot Subroto Km 3 kota Ende. Sementara rumah keluarga besarnya di Maukeli, kini ditempati oleh adiknya. Pasutri Roben Robo dan Katharina No’o Nere, menikah di bawah perjanjian oleh Pastor Both tahun 1955, dimana seluruh anak-anak mengikuti agama ibu yakni katolik, sementara ayahnya kala itu masih beragama protestan, hingga San hendak ditahbiskan menjadi imam.
Menurut penuturan ibunya, nama San adalah nama pemberian ayah dari Ibu, “ Dia itu ganti saya punya bapa. Waktu lahir dia, neneknya sudah meninggal. Saya punya bapa namanya Chum Ki San, nenek laki. Sementara San punya nama Cina, Tung Kim San…” tutur ibunya. San menghabiskan sebagian masa kecil di dua tempat. Saat berusia satu hingga empat tahun, di Mauponggo dan setelahnya hingga tamat Sekolah Dasar, menetap di Maukeli sebuah kampung di pesisir selatan Flores, yang berada dalam wilayah Kecamatan Maupunggo, Kabupaten Nagekeo propinsi NTT.
Kampung Maukeli persis berada di pinggir pantai, diapiti oleh bukit-bukit yang hijau dengan pasir pantai yang elok. Barangkali karena model kampungnya seperti ini, maka dinamakan Maukeli. “Mau” dalam bahasa daerahnya berarti pantai dan “Keli” artinya bukit. Maukeli identik dengan petak-petak hijau persawahan yang suburdi kaki bukit, yang tak berapa jauh jaraknya dengan pantai. Masyarakat Maukeli umumnya hidup dari aktivitas melaut, bertani juga berdagang.
San kecil menjadi bagian utuh dari masyarakat Maukeli. Ia sering ke sawah bersama warga, membantu ayahnya berdagang dan bergaul dengan masyarakat pesisir selatan yang umumnya Muslim. Ketika San masih bersekolah hingga ditahbiskan menjadi imam projo Keuskupan Agung Ende, Kecamatan Mauponggo masih berada di wilayah Kabupaten Ngada.
Dalam keluarga besarnya San menjadi anak laki-laki pertama dari garis keturunan ayahnya. San kecil pun bertumbuh dalam kemanjaan terutama oleh kakeknya. Sewaktu masih kecil hingga tamat SD ia dikenal sebagai anak yang nakal. “Paling nakal sudah. Manja, anak laki-laki baru satu, semua nenek manja dia. Bapa tua tu, anak laki-laki tidak ada. Kita omong dia tidak ikut, tapi kalau sekolah, otaknya cepat. Kami dulu panggil dia, soso moso, luka-luka di telinga…”, kembali ibunya bercerita.
Mgr. San sendiri juga menuturkan “Saya termasuk orang yang dekat dengan mama. Karena sejak kecil saya terus bersama-sama dengan dia. Saya termasuk nakal, menurut orang-orang di kampung, sampai saya tamat SD. Saya termasuk dalam kelompok nakal. Tetapi, ketika mulai masuk Seminari, nakal juga tidak ya...pas pas..lah... Malah ada yang mengatakan, ketika saya sekolah di Seminari saya terlalu tenang. Ini bisa terbalik. Di kampung bilang nakal sekali tetapi pendidik bilang saya sangat tenang....”ujar Mgr. San sambil tertawa.
Tentang kenakalan masa kecil juga dikenang adik kandungnya Ignas Robo yang kini menetap di Maukeli. “Romo beda dengan saya empat tahun. Sewaktu dia kelas VI saya kelas II SD. Di sekolah dengan teman sering baku pukul. Memang dengan kita kita kaka ade sering bekelai. Setelah besar baku sayang.…” ujar Ignas Robo dalam logat Nagekeo.
Meski tergolong anak yang manja di rumahnya, namun San kecil tumbuh seperti layaknya anak-anak kampung yang tak memilih makanan. “Dia makan sembarang. Tidak pilih makan. Kalau dia pilih makan, dia tidak jadi pastor. Di Seminari dia makan sembarang, jagung, nasi campur sayur. Dia makan tidak pilih. Mulai dari Seminari sampai sekarang apa yang kami makan, dia makan…”, ujar Baba Robe, sapaan lain dari Roben Robo.

Dipercaya Mengantar Uang

Silvester San kecil meniti sekolah dasarnya di SDK Maukeli. Jalan menuju SDK Maukeli penuh tanjakan, berbatu-batu, tak beraspal hingga saat ini. Kiri kanan diapiti rumah-rumah penduduk yang sederhana. Bangunan SDK Maukeli berada di lereng bukit. Dari dataran tinggi SDK Maukeli, tampak pantai Maukeli yang indah dengan hamparan sawah hijau. Di sekolah inilah San kecil tumbuh, belajar dan bermain bersama sahabat-sahabatnya.
Ketika San bersekolah ia mempunyai seorang kepala sekolah yang keras yang sering disapa bapa guru Sipri dan wali kelas bernama bapak Elyas Uwa. San belajar di sekolah ini selama enam tahun hingga menamatkan SD tahun 1974. Meskipun terkenal sebagai anak yang nakal, namun San sejak kecil sering berhubungan dengan romo di parokinya juga dipercayakan oleh gurunya menjadi kurir mengambil dan mengantar uang, “Guru-guru dulu menerima gaji itu dari Yasukda (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada) dan saya seringkali diminta ke paroki ketemu pastor paroki untuk ambil uang atau untuk minta uang gaji mereka. Saya dipercayakan oleh mereka...” Ujar Uskup San.
Semasa bersekolah di SDK Maukeli, nilai rapornya selalu bagus. San menjadi salah satu dari beberapa anak yang tergolong pintar. Karena kecerdasannya, wali kelas almarhum Elyas Uwa mendaftarkan begitu saja anak-anak pintar itu ke SMP Seminari Mataloko. “Kami beberapa orang mungkin dilihat oleh guru agak pintar di kelas, terus bilang...kamu yang pintar-pintar cocok masuk Seminari. Guru ni...dia mendaftarkan saja tanpa sepengetahuan kami, ke Pastor paroki lalu kirim lamaran ke Mataloko. Tidak lama ada panggilan untuk testing...”
Ketika mengetahui bahwa dirinya akan mengikuti testing di Seminari Mataloko kedua orangtuanya dibuat kaget terutama ayah dan sanak keluarganya. “Teman-teman bilang, kamu punya anak laki pertama, mau bantu kamu bagaimana? Saya bilang saya punya anak laki banyak. Dia satu itu punya pilihan sendiri. Kita mau apa, karena dia punya pilihan sendiri. Kalau jadi pastor kan dia bisa berdoa untuk kita besok-besok. Saya omong cukup begitu saja..” Ibunya menuturkan.
Pilihan San masuk SeminaProsesnya berjalan begitu saja, didaftarkan oleh guru, ikut testing dan lulus. Dalam proses di SMP dan SMA Seminari Mataloko inilah, pelan-pelan ia menemukan jalan panggilannya menuju imamat.

Naik Kuda ke Seminari

Panggilan untuk menjadi imam seringkali muncul setelah mengalami realitas kehidupan di Seminari. Awal masuk Seminari malah tanpa motivasi,tetapi setelah mengalami kehidupan sehari-hari di Seminari benih panggilan itu pun tumbuh. Dan itu yang dialami oleh Mgr. Silvester San,Pr.
Kepada Faris Wangge salah seorang Tim Penulis Buku Kenangan Tahbisan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester mengisahkan, ketika masuk Seminari St.Johanes Berchmans Todabelu Mataloko Ngada pada tahun 1974 setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Maukeli tak pernah berpikiran untuk menjadi imam.Yang diingatnya adalah ia diantar ke Seminari Mataloko oleh ibunya, dengan ‘naik kuda’. Hal ini karena waktu itu belum ada mobil atau sepeda motor, juga karena belum ada jalan raya jurusan Maukeli - Mataloko.
Jadi, kalau ditanya sejak kapan benih-benih panggilan menjadi imam mulai muncul, maka jawabannya adalah pada saat sudah mengalami kehidupan dan proses pembinaan di Seminari. Jadi sama sekali bukan karena ketertarikan pada figur Pastor paroki di Paroki Maukeli meskipun diakui Mgr. Silvester sering bertemu dengan Pastor paroki . Hal ini karena guru-guru mempercayakan dirinya untuk mengambil uang gaji para guru di pastor paroki. Jadi setelah mengikuti proses pendidikan di Seminari Mataloko baru menemukan jawaban bahwa Seminari adalah jalan untuk menjadi imam.
Selama mengikuti proses pembinaan di Seminari Mataloko ada beberapa kejadian yang nyaris menghentikan langkah menuju imamat. Pengalaman pertama terjadi saat duduk di Kelas III SMP, nyaris meninggalkan Seminari karena dinilai indisipliner. Waktu itu ia bersama dua teman mendapat ijin ke Bajawa namun pulang ke Mataloko terlambat. Pater Rektor waktu itu P.Yan Menjang, SVD meminta mereka untuk menarik diri. Mgr.Silvester mengisahkan, waktu itu dirinya mengatakan tidak mau mengundurkan diri tetapi jika dikeluarkan dirinya menerima keputusan itu. Sikapnya itu karena alasan, sudah kelas III dan sedang siap untuk ujian akhir.
Mungkin karena Pater Rektor sudah diskusikan masalah indisipliner dengan Prefek akhirnya Prefek memanggil dirinya dan menyuruh memilih dua kemungkinan yakni menarik diri atau tetap tinggal di seminari tetapi menjalani hukuman. Yang dipilih adalah tetap di seminari dan kerja setiap hari.Hukuman itu dijalani selama 2,5 bulan karena kelas III menyiapkan diri untuk ujian akhir, di samping itu karena rektor melihat kesungguhan mereka dalam menjalankan hukuman itu.
Peristiwa kedua yang nyaris menghentikan langkah panggilan adalah ketika di Kelas III SMA Seminari. Ada masalah antara para siswa dan prefek serta staf pembina. Waktu itu San sebagai ketua kelas. Ia mengaku sangat menyesal karena beberapa teman yang dianggap provokator dikeluarkan. Semua tantangan itu bisa dilewati dan pencerahan panggilan justru terjadi selama enam tahun mengikuti pendidikan dan pembinaan di Seminari Mataloko.
Ketika diterima sebagai calon imam diosesan Keuskupan Agung Ende, Mgr. San mengakui telah ada gambaran untuk menjadi imam. Setelah diterima sebagai calon imam diosesan Keuskupan Agung Ende dan meneruskan pendidikan di Seminari Tinggi Ritapiret, Mgr. Silvester San, mengaku tidak terlalu mengalami goncangan karena bisa beradaptasi dengan suasana pendidikan dan mengakrabi situasi baik diri sama sekali tak terdorong ingin menjadi Imam. tempat kuliah maupun di Seminari Ritapiret.

Cara Orang Tua Mendidik Anak
Pengalaman Mgr. Silvester San, Pr dalam keluarga, terutama masa kecil sampai tamat sekolah dasar masih terekam sampai sekarang. Menurut Bapa uskup, orang tua punya cara sendiri mendidik anak-anaknya. Tujuannya tentu saja positif, supaya anak-anak taat.
Cara mendidik antara bapa dan ibu juga berbeda. Bapa, kata Uskup, termasuk orang yang keras. Pendidikan yang diterapkan terhadap anak-anaknya memang bukan seperti militer tetapi cukup keras. “Dia tidak pernah mau bahwa kita tidak taat. Kalau bapa omong a yah a, b yah b. Kalau ia suruh a kita buat b itu pasti kena rotan” ungkap Bapa Uskup bernostalgia.
Seingat Bapa Uskup tidak ada satu pun anak dalam keluarganya yang tidak kena rotan dari bapa. Cara pendidikan bapa beda jauh dengan cara pendidikan mama Katharina. Menurut Bapa Uskup, mama Katharina termasuk halus dan hampir tidak pernah memukul. Paling-paling jewer telinga. Karena itu kalau bapa tidak ada anak-anak senang. “Kalau sama mama, dia suruh kita kerja, kita tidak ikut atau melawan paling-paling dia kejar kita. Kalau dengan bapak berani tidak ikut ya habis” ujar Bapa Uskup sambil tertawa.
Satu hal yang diingat, cara pendidikan yang keras diterapkan bapa adalah ketika anak-anaknya masih di sekolah dasar. Setelah anak-anaknya masuk SMP bapa tak pernah lagi mendidik dengan rotan kecuali marah-marah kalau anak-anaknya membuat kesalahan. “Bapa kalau marah meledak-ledak. Jadi pendidikan di rumah diimbangi dengan mama yang lembut”, ungkap Uskup.
Pendidikan yang keras bukan hanya di rumah tetapi juga di sekolah. Bapa Uskup menuturkan di SDK Maukeli para guru juga mendidik dengan keras. Kepala sekolahnya keras sekali, mendidik dengan rotan. Di hadapan guru-guru anak-anak tidak berani untuk bertanya. Kalau protes di belakang-belakang sedangkan di depan guru tidak berani.
Bapa Uskup menuturkan, orang tua mendukung atau tidak mendukung tidak jelas.Yang pasti mereka hanya mengatakan “Kalau kau mau masuk Seminari silahkan”. Orang tua memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih jalan hidup masing-masing. Dukungan orang tua terhadap anaknya masuk Seminari adalah dengan menyediakan biaya dan memberikan perhatian, mengantar pulang ke Mataloko naik kuda setelah masa liburan dan masih banyak lagi bentuk perhatian orang tua. Orang tua selalu memperhatikan perkembangan anaknya waktu di Seminari.
Diungkapkan Bapa Uskup, ada satu nama yang sangat berjasa dalam panggilan imamatnya. Nama itu adalah Elyas Uwa almarhum yang sangat bangga karena bekas muridnya Silvester San dan Philipus Tule (imam SVD, islamolog, mantan rektor Seminari Tinggi St.Paulus Ledalero) menjadi imam. Elyas pula yang mendaftarkan Silvester ke pastor paroki dan selanjutnya mengikuti testing masuk Seminari dan lulus.
Para penjasa lainnya adalah para guru di SDK Maukeli, para guru di Seminari Mataloko dan di Seminari Tinggi juga teman-teman satu angkatan karena saling mendukung dan saling menguatkan. Ketika mau ditahbiskan menjadi imam, tutur Bapa uskup, ia tak pernah menanyakan pada orang tua apakah mereka senang atau tidak. Tapi dari reaksi orang tua, tampaknya mereka senang anaknya ditahbiskan menjadi imam. Orang tua tidak melarang karena sudah tahu bahwa sejak awal Silvester mau menjadi imam.”Waktu saya terpilih sebagai Uskup saya tidak pernah tanya orang tua, mereka senang atau tidak. Tapi reaksinya, mereka memang senang “ Tutur Bapa Uskup.
Rasa senang dan bahagia orang tua itu diungkapkandengan datang ke Ritapiret menyalami Uskup San dan memeluknya. Orang tua tahu apa yang sudah dipilih oleh anak itu sangat mereka hargai. ”Yang paling mereka harapkan bahwa kita konsekwen dengan pilihan. Jika tidak konsekwen dengan pilihan, mereka marah.” Ungkap bapa Uskup.

Mengisi Hari Libur
Masa liburan bagi para Seminaris adalah saat yang ditunggu-tunggu. Sebab liburan berarti pulang ke rumah dan hidup bersama dengan keluarga selama masa liburan itu. Soal liburan para Seminaris juga dialami oleh Uskup Silvester saat masih belajar di Seminari Mataloko maupun setelah menjadi frater di Seminari Tinggi Ritapiret Maumere.
Banyak hal yang dikenang pada saat-saat liburan dulu. Bapa Uskup menuturkan, masa kecil tinggal di kampung dan ikut membajak sawah bersama dengan orang-orang kampung. Waktu liburan dari Seminari Mataloko, pulang ke kampung Maukeli dengan jalan kaki bersama teman-teman yang lain. Selama liburan membantu membajak sawah, menanam padi bersama masyarakat petani.
Tetapi ketika sudah menjadi frater para petani melarang ikut membajak sawah atau menanam padi saat liburan di kampung Maukeli. Kata petani “Kamu punya tempat bukan disini lagi”.Tetapi Frater Silvester menjawab bahwa ia datang libur dan mau membantu mereka mengerjakan sawah. Namun mereka tetap menolak dan melarang frater Silvester masuk sawah.”Jadi saat frater kalau libur di Maukeli saya lebih banyak di rumah atau ke Paroki membantu Pastor Paroki.” Ujar Bapa Uskup.
Tentang masa kecilnya bersama keluarga Bapa Uskup menuturkan, pada masa kecil tinggal di dua tempat yakni di Mauponggo dari tahun 1961 (tahun lahir Bapa Uskup) sampai tahun 1965 lalu pindah ke Maukeli karena orang tua pindah ke tempat itu. Bapa Uskup mengaku termasuk anak yang sangat dekat dengan ibu karena sejak kecil terus bersama-sama dengan ibunya.
Hal lain yang dikerjakan pada masa liburan adalah mencari kayu bakar, pokoknya cari-cari kesempatan untuk bisa membantu di rumah, memikul kayu api beramai-ramai, mendaki gunung, memberikan makanan pada hewan peliharaan, pokoknya saat liburan mencari kesibukan yang memungkinkan untuk membantu orang tua.Sedangkan pada hari Minggu membantu Pastor Paroki menjadi misdinar.”Kadang-kadang saya tanya pastor, apakah saya bisa khotbah?” Tutur Bapa uskup.

Memperkokoh Panggilan
Andaikata langkah menuju imamat berhenti di tengah perjalanan, apa yang akan dikerjakan. Ketika pertanyaan ini dilontarkan kepada Mgr.Silvester San,Pr dengan enteng ia menjawab, berdagang.
Menurut bapa Uskup, seandainya dirinya dikeluarkan dari Seminari sudah pasti akan mengikuti jejak orang tua yakni berdagang. Sebab berdagang sudah merupakan bakat yang tertanam apa lagi ada kecenderungan anak-anak biasanya akan mengikuti apa yang dibuat oleh orang tuanya. Yesus sendiri mengatakan; “Aku melakukan apa yang Bapa buat”. Anak melakukan apa yang bapaknya buat. Kalau bapanya pendidik pasti ada salah satu anaknya mengikuti jejak sang ayah karena ia melihat apa yang dibuat oleh bapaknya.
Bapa Uskup mengatakan ketertarikan untuk berdagang selalu ada karena ayahnya bergerak di dunia bisnis. Sejak kecil dirinya sudah melihat bagaimana tantangan-tantangan yang dihadapi. Karena itu seandainya tidak jadi imam maka sudah pasti menekuni dunia bisnis.
Tetapi dalam proses pembinaan di Seminari mulai muncul motivasi bahwa seorang calon imam dibimbing untuk menjadi imam yang melayani Tuhan dan sesama. Ini sesuatu yang sangat ideal Imam yang melayani Tuhan dan sesama itu tidak terikat pada kehidupan keluarga dan ia harus melepaskan keluarganya demi dan untuk melayani umat. “Pelayanan terhadap umat itu saya kira hal yang paling kuat memotivasi saya untuk terus di jalur panggilan ini” ungkap Bapa Uskup.
Diungkapkan Bapa uskup, dalam perjalanan panggilan ada banyak hal yang menyenangkan tetapi juga banyak yang menyedihkan. Menyenangkan karena ada kebersamaan dengan teman-teman.Bapa Uskup memberikan gambaran, ketika menjalani proses pendidikan di Seminari Mataloko selama enam tahun, soal makanansesungguhnya sangat tidak enak. ”Tapi saya heran bahwa banyak yang bertahan” ujar Uskup San sambil tertawa.
Meskipun makanan sehari-hari tidak enak, tetapi bisa bertahan dalam panggilan hal itu berkat kebersamaan dengan teman-teman sepanggilan, kebersamaan dalam olahraga, jalan-jalan bersama, pesiar sama-sama.Hal-hal yang sungguh menyenangkan adalah persahabatan, persaudaraan dengan teman-teman sepanggilan.
Kebersamaan itu semakin lebih menyenangkan ketika berada di Seminari Tinggi, karena di Seminari Tinggi bertemu dengan teman-teman lain yang berasal dari Seminari Kisol, Hokeng, Lalian dan dari Kalimantan. ”Angkatan kami besar jumlahnya lalu kebersamaan juga luar biasa semakin menyenangkan.” Ungkap Bapa Uskup.
Soal hidup yang sangat ketat baik di Seminari Menengah lebih-lebih di Seminari Tinggi di satu sisi memang mengekang kebebasan tetapi di sisi lain juga melatih diri untuk hidup penuh disiplin. Peraturan yang ketat ada nilai positifnya.

Imamat tanpa Goncangan
Uskup Silvester San, Pr ditahbiskan menjadi imam praja tanggal 29 Juli 1988 di Maumere oleh Mgr.Donatus Djagom, SVD. Setelah ditahbiskan maka mulailah ziarah sebagai seorang yang telah menjawab panggilan, menjadi imam.
Sejak ditahbiskan sebagai imam sampai sekarang, diakui Mgr. Silvester, tidak terlalu mengalami goncangan dalam imamatnya. Setelah ditahbiskan, ia bekerja sebagai pastor pembantu di Paroki Roh Kudus Mataloko tahun 1988-1989 dan mengajar di Seminari Mataloko. Di Mataloko ia bersama-sama dengan Romo Cyrilus lena, Pr sebagai pastor Paroki. Romo Cyrilus sangat terbuka, memperhatikan pastor pembantu dan selalu bertukar pikiran, tidak mengambil keputusan sendiri. Selama dua tahun di Paroki Mataloko mereka banyak menyelesaikan masalah-masalah di paroki. ”Kami jadi akrab sampai sekarang. Saya sering telpon dia dan dia juga sering telpon saya.” Ungkap Bapa uskup.
Tahun kedua di Paroki Roh Kudus Mataloko ia diminta untuk mengajar di Seminari Mataloko. Setelah itu pada tahun 1990 berangkat ke Roma melanjutkan studi dan selesai licensiat pada tahun 1992. Tahun 1993 – 1995 menjadi staf pembina di Seminari Tinggi Ritapiret dan mengajar pula di STFK Ledalero. Tahun 1995 kembali ke Roma untuk studi doktoral dan selesai tahun 1997. Setelah itu kembali ke Indonesia tahun 1998 dan kembali menjadi staf pembina di Seminari Tinggi Ritapiret dan pengajar di STFK Ledalero.
Tahun 2004 Rm. DR. Silvester San,Pr diberikan kepercayaan untuk menduduki jabatan sebagai Preses Seminari Ritapiret hingga akhirnya terpilih menjadi Uskup Denpasar. ”Sebenarnya saya masih menjabat sebagai Preses dua tahun lagi, tapi karena sudah terpilih menjadi Uskup maka kami membuat pemilihan baru dan presesnya harus diganti” Ungkapnya. Seperti diketahui serah terima jabatan preses Seminari Ritapiret telah dilaksanakan tanggal 15 Januari 2009 dihadapan Uskup Maumere Mgr. Kherumbin Pareira, SVD dan kini Rm. Hubert Leteng, Pr sebagai penggantinya.
Diakui Bapa uskup, setelah menjadi imam ia tak merasakan tantangan-tantangan yang serius. Tantangan terjadi justru waktu belajar ke Roma karena terkendala dengan bahasa.” Belajar bahasa Italia itu, bulan-bulan pertama penuh dengan tantangan tetapi pada akhirnya bisa bicara bahasa Italia, bisa memahami kuliah dan berjalan dengan baik.” Ungkap Bapa Uskup. Bapa Uskup mengaku belajar bahasa Italia sampai satu tahun baru bisa bicara.
Bapa Uskup menuturkan, setelah mulai akrab dengan bahasa Italia, Bapa Uskup Agung Ende memintanya pulang dulu untuk mengajar. Ketika tahun 1995 sibuk dengan tugas mengajar Bapa Uskup Agung Ende memintanya untuk kembali ke Roma melanjutkan pendidikan. Jadi sesungguhnya, menurut Bapa uskup, goncangan dalam panggilan imamat tidak ada tetapi

Sub Secreto Pontificio
TAK ada firasat sedikitpun, bahwa hari itu akan menjadi hari bersejarah dalam hidupnya.Usai sarapan pagi, Romo San bergegas ke mobilnya. Ia hendak ke kota Maumere, mengurusi Seminari. Seperti biasa, Romo DR. Silvester San, Pr menjalani kesehariannya sebagai preses (rektor) Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret.
Selasa, 18 November 2008, waktu ada diantara pukul 10.00 dan 11.00 Wita. Mobil berjalan dengan kecepatan biasa. Jarak antara bukit Ritapiret dengan kota Maumere sekitar 10 kilometer. Di dalam perjalanan itu, telpon genggamnya berdering.”Saya Mgr Leopoldo Girelli, Apa kabar?,” begitu suara dari seberang. Sebuah peristiwa yang amat jarang. Biasanya ia tak mengangkat panggilan dari nomor yang belum terdata di ponselnya. Tapi, hari itu dengan santai ia menerima.
Mgr Girelli, mengucapkan salam dan bertanya dengan menggunakan bahasa Italia, “Engkau lagi dimana?”. Tanya Mgr Girelli. “Saya di dalam mobil, saat ini dalam perjalanan menuju Maumere”, jawab Romo San. “Anda sendiri?”, Kembali Mgr. Girelli bertanya, “Iya saya sendiri Monsignur, saya baru saja memarkir mobil di pinggir jalan”, Jawab Romo San. “Kalau engkau sendiri, sekarang saya mau sampaikan sesuatu yang penting”. Penuh rasa ingin tahu, Romo San bertanya, “Sesuatu yang penting itu apa Monsignur?,”. Dari seberang, penuh ketenangan Mgr. Girelli menyampaikan maksudnya, “Anda telah diangkat oleh Paus Benediktus XVI menjadi Uskup Denpasar”.
Mendadak Romo San terkejut.Bathinnya gundah, tak percaya .“Apa betul Monsignur?”. Mgr.Leopoldo menjawab , “Iya,sekarang saya sampaikan kepada Anda. Anda diberi kesempatan untuk memikirkan, merenungkan, mendoakan. Nanti malam sekitar jam sepuluh baru Anda berikan jawaban”, ucap Mgr. Girelli. Romo San terpaku, diam beberapa saat. Ia tak menyangka menerima tugas dan tanggung jawab ini. “Apakah saya bisa menjawab sekarang?”, tanya Romo San pelan. Dengan sadar ia merasa tak mampu dan tak layak menerima jabatan itu. “Tidak, Anda tak boleh jawab sekarang. Silahkan Anda berpikir, merenung dan berdoa. Saya tunggu jawaban Anda, malam nanti”, Mgr. Leopoldo kembali menegaskan maksudnya. “Ingat, Anda harus diam, tidak boleh bicara dengan siapapun. Biar itu betul-betul keputusan pribadimu, tak dipengaruhi oleh siapa-siapa”,ujar Mgr. Girelli mengakhiri pembicaraannya.
Dalam keadaan kalut, Romo Preses Seminari Tinggi Ritapiret itu melanjutkan perjalanan menuju kota Maumere. Sepanjang perjalanan itu, ia tak habis berpikir, telah diangkat menjadi Uskup, jabatan yang tak pernah ada dalam benaknya. Hal yang membuatnya bertambah gundah adalah menjadi Uskup di Keuskupan Denpasar, sebuah keuskupan yang tak dikenalnya. Usai menyelesaikan urusannya di Maumere ia kembali ke Ritapiret. Setelah makan siang bersama para staf pembina, ia menuju kamarnya. Romo San memadahkan doa, merenung dan mencari jawab perihal pengangkatannya menjadi Uskup. Waktu seolah pelan berjalan, malam pun tiba, jam sekitar pukul 22.00 Wita. ”Selamat malam Monsignur, saya sedang bingung”, ujar Romo San. “Apa yang kau bingungkan?”, tanya Mgr. Girelli. “Iya saya bingung untuk memberikan jawaban. Di satu pihak saya merasa tidak layak dan tidak mampu untuk menjadi Uskup Denpasar, tetapi di pihak lain, saya harus berpikir tentang ketaatan kepada Paus dan Tahta Suci, juga bagi kepentingan Gereja Universal. Karena terus terang Monsignur, ketika saya memilih menjadi imam projo, saya mau tinggal di Flores sini” Romo San memberikan alasan. “Ooo...Anda bingung, Anda gelisah, Anda terkejut itu biasa.Tetapi, Anda sebagai Rektor, terbiasa berhadapan dengan para Frater, yang juga bingung dalam menentukan pilihan, mau jadi imam atau berhenti dan pada waktu itu Anda selalu menyampaikan peneguhan, nasihat supaya orang bertahan dalam panggilan”,ujar Mgr. Leopoldo Girelli.
Romo San lalu menjawab, “Iya..memang benar Monsignur, tapi saat ini saya sendiri yang berhadapan dengan hal ini?”. Lalu dari seberang Mgr. Leopoldo berujar, “Baiklahkalau begitu saya berikan anda kesempatan sampai besok, dan kesempatan untuk berbicara dengan seorang teman dekat yang bisa Anda percayai, yang bisa memberikan peneguhan atau jalan keluar atau nasihat tertentu”. Romo San sedikit lega hati, karena memperoleh kesempatan untuk membicarakan kegelisahan hatinya dengan orang lain. Sesaat ia tersadar, “Tetapi, sahabat dekat saya, Romo Hubert Leteng, Pr saat ini di Italia. Saya mau bicara dengan siapa di sini Monsignur?” Mgr. Girelli kemudian berkata, “Baiklah kalau begitu tidak usah, tidak apa-apa.Engkau tidak usah bicara dengan siapapun, tetapi engkau harus pikirkan kembali malam ini, lalu besok engkau beri jawaban”. Dengan nada memohon Romo San berkata, “Apa tidak bisa lebih lama lagi Monsignur?”. Kembali Mgr. Leopoldo berkata, “Tidak bisa.Besok Anda harus memberi jawaban ya atau tidak. Tetapi ingat, Anda memberi jawaban selalu dalam referensi demi kepentingan pelayanan Gereja Universal” Mgr. Leopoldo Girelli menegaskan berulang-ulang “demi kepentingan pelayanan Gereja Universal”.
Malam terus bergerak. Kesunyian bukit Ritapiret semakin menambah gundah hatinya. Dalam kepasrahan ia tiada henti berdoa dan merenung. Malam itu ia terus bergulat dengan dirinya. Nyaris tak mampu pejamkan mata hingga menjelang subuh. Hari pun berganti, Rabu 19 November 2008. Aktivitas harian kembali dilakukannya. Namun suasana batinnya jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Dua puluh empat jam sudah, Romo Silvester San, Pr bergulat dengan dirinya sendiri.Waktu menunjuk pukul 11.00 Wita. Seusai memberi kuliah, Romo San pun mengambil telpon genggamnya. “Monsignor, kalau saya memperhatikan saya punya interes, saya sendiri, diri saya pribadi, saya tidak terima ini, pengangkatan Paus untuk menjadi Uskup Denpasar, karena saya merasa tidak mampu dan tidak layak.Tetapi karena dua hal, pertama demi kepentingan pelayanan Gereja di mana saja, dan ketaatan kepada Tahta Suci, saya dengan berat hati terima pengangkatan ini” Romo San akhirnya memberikan jawaban “Ya”, sebuah jawaban yang ditunggu-tunggu oleh Paus Benediktus XVI dan Tahta Suci melalui Mgr. Leopoldo Girelli.
Dalam kegembiraan, Mgr. Leopoldo berujar, “ Baiklah. Mulai saat ini Anda telah terima dan anda tidak boleh berbicara dengan siapapun. You should keep silence until the publication! Karena ini Sub Secreto Pontificio”. Lalu Mgr. Girelli menginformasikan bahwa dia akan mengumumkan berita pengangkatan itu pada Sabtu 22 November 2008, pukul 19.00 Wita.
Sub Secreto Pontificio terus ada dalam ingatannya. Sebuah titah dari Tahta Suci. Romo Silvester San, Pr terus memendam rahasia tersebut. Tak seorangpun tahu, termasuk sahabat-sahabatnya bahkan orang tuanya.Para penghuni Ritapiret tak tahu menahu bahwa terhitung sejak tanggal 19 hingga 22 November 2008, Romo San yang kerapkali bercanda, bercerita dan menghabiskan hari-hari bersama di bukit Ritapiret itu telah terpilih menjadi Uskup Denpasar. Tahta Suci akhirnya mengumunkan perihal pengangkatan tersebut, tanggal 22 November 2008, pukul 19.00 Wita.
Di bukit Ritapiret pesan tersebut sampai melalui Romo Herman Yoseph, Pr. Setelah itu Romo Herman mengumumkannnya di Kapela Ritapiret. Suasana pun sontak berubah. Para rekan imam di Ritapiret tak kuat menahan haru. Semua datang memberi selamat. Tapi nun jauh di sana, di Pulau Sejuta Pura, Pulau Dewata Bali, orang berdecak tanya ‘Siapa dia?” Hingga Paus Benediktus XVI menjatuhkan pilihan padanya? Tanya itu muncul ketika berita pengangkatan Uskup Denpasar itu diumumkan di Gereja Paroki seluruh Keuskupan Denpasar Minggu 23 November 2008.
Seiring berjalannya waktu, lembar demi lembar catatan perjalanan hidupnya tersingkap. Seperti ungkapannya, bahwa dalam proses perjalanannya di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi, ia baru temukan arah panggilannya menuju imamat. Maka, dalam perjalanan imamatnya pun, di tengah perjalanan menuju Maumere, Romo San diangkat menjadi Uskup.

Membangun Dialog dan Perkuat KBG
Mgr. DR. Silvester San, Pr, menyadari Keuskupan Denpasar ini unik. Umat tersebar di dua provinsi, Bali dan Nusa Tenggara barat (NTB). Secara kuantitas umat katolik di keuskupan ini minoritas di antara umat Hindu di Bali dan Islam di NTB. Berdasarkan data statistik di kantor Keuskupan Denpasar, total umat Katolik secara keseluruhan (Bali dan NTB) keadaan akhir tahun 2007 tercatat 34.974 jiwa.”Saya kira ada tantangan-tantangan berat karena kita umat katolik di Keuskupan Denpasar itu minoritas,” kata MgrSan, kepada Team Penulis Buku Kenangan yang khusus datang mewawancarai beliau di Ritapiret Maumere pertengahan Januari 2008.
Lantas bagaimana strategi pastoral yang akan dilakukan. Dalam konteks ini, kata Uskup San, mau tidak mau harus membangun dialog. Dialog kehidupan merupakan dialog yang paling tepat untuk dilakukan, antara lain berupa penghormatan atau penghargaan kepada kebiasaan-kebiasaan agama mayoritas. “Di pihak lain, kita juga harus menunjukan sebagai garam dan terang dunia,” imbuhnya. Untuk menunjukan sebagai garam dan terang dunia caranya antara lain Kelompok-kelompok Basis Gerejawi (KBG) perlu diperkuat supaya di antara anggota KBG itu punya rasa solider satu sama lain, lalu membangun dialog ke luar. “Situasi Gereja di Bali dan NTB itu diaspora (menyebar), pasti lain dengan situasi di Flores. Di Flores katolik mayoritas, jadi tidak pernah takut dengan tantangan luar, tapi justru katolik mayoritas ini buat orang terlena juga, tertidur. Tetapi saya yakin, biarpun di Keuskupan Denpasar itu katoliknya minoritas tetapi kita minoritas itu iman umat justru menjadi kuat, karena harus menunjukan identitas diri, jati diri,” ujar Bapa Uskup San.
Bapa Uskup mengakui Keuskupan Denpasar adalah wilayah pastoral yang baru baginya.”Saya memang belum pernah mengalami kehidupan di Keuskupan Denpasar, tetapi saya rasa begitu yang baik,” beliau menambahkan. Sesungguhnya, pengalaman berhubungan dengan umat Islam bukan hal baru bagi Mgr. San. “Kami ini hidup di pesisir wilayah selatan di Maukeli (tempat asal Mgr. San). Mau tidak mau mesti bergulat dengan umat Islam karena di Maukeli dan Mauponggo, cukup banyak umat Islam. Jadi pandai-pandai kita membawa diri. Umat Hindu di Bali juga saya pikir lebih tenang. Intinya, kita mesti membangun dialog kehidupan yang lebih baik, menghormati antar umat beragama sejauh mungkin.” ungkap Bapa Uskup.
Harapan lain dari Uskup San adalah terbangunnya solidaritas antar umat di KBG. KBG itu, menurut Bapa Uskup, tidak hanya tempat berkumpul untuk berdoa, tetapi harus menjadi kelompok perjuangan. “Kalau kelompok perjuangan, menurut saya tidak untuk menghantam orang lain tetapi bisa berjuang bersama-sama dalam solidaritas itu, saling membantu dalam kelompok-kelompok umat basis itu. Ya, harapan saya tidak terlalu muluk-muluk dan saya juga tidak menjanjikan apa-apa. Selain itu, sebagai umat minoritas, ya kita harus bisa berdialog dengan yang mayoritas.” ***

Belajar Bahasa Bali Mengapa Tidak?
Belajar Bahasa Bali? “Saya dalam memulai karya pastoral, ya mungkin saya kenal dulu Keuskupan Denpasar. Kira-kira di mana saja umat kita tersebar. Pada tahun-tahun awal, ya meski pelan-pelan mulai buat kunjungan ke berbagai paroki berupa kunjungan pastoral.” Bapa Uskup San menjanjikan hal tersebut dalam rangka periode awal tugas penggembalaannya di Keuskupan Denpasar. Dari pernyataan itu tersirat suatu kerinduan besar Sang Gembala baru untuk mau belajar dan mengetahui wilayah perutusannya terlebih dahulu sebelum melaksanakan tindakan pastoral. “Dengan umat yang begitu tersebar, ya mau tidak mau sebagai Gembala ya harus mengunjungi, tidak bisa tidak.”
Kunjungan itu, kata Doktor Kitab Suci ini memiliki arti penting bagi umat dan juga dirinya. “Kunjungan itu penting, bertemu saja dengan umat ya mereka sudah senang. Biarpun kita tidak bicara terlalu banyak tetapi kehadiran sudah memberikan umat suatu kekuatan karena mereka tidak dilupakan. Tahun-tahun awal ya..pergi bertemu dan sebaiknya ya jangan terlalu formal, hehehe...” janjinya sambil tertawa lepas.
Bapa Uskup bertekad untuk mempelajari bahasa Bali. “Yang mungkin dipelajari di Bali itu adalah bahasa Bali,” kata Mgr. San. Uskup menceritakan beberapa umat dari Bali pernah SMS beliau supaya setelah di Bali bisa belajar bahasa Bali.”Menurut saya bahasa Bali itu memang penting sekali untuk dipelajari tanpa mengecilkan untuk mempelajari bahasa Sasak di Lombok. Paling tidak kalau saya pergi ke Tuka, Palasari atau Singaraja saya bisa menggunakan bahasa Bali juga, karena umat di sana mayoritas juga orang Bali.” .
Selama tujuh tahun penggembalaan mendiang Mgr. Dr. Benyamin Y. Bria,Pr di Keuskupan Denpasar, sudah dua kali menyelenggarakan Sinode Keuskupan, tahun 2001 dan 2006. Melalui Sinode itu ditetapkan Arah Karya Pastoral, berikut Visi dan Misi Keuskupan Denpasar untuk lima tahun. Lantas, bagaimana pandangan Mgr. San? “Saya juga belum tahu ya, Sinode yang sudah dibuat itu isinya apa? Yang pasti Sinode itu dia lebih tinggi dari musyawarah pastoral. Dan itu mesti kita lihat kembali, kalau bagusmenurut saya ya memang harus dibuat, karena di situkan penyusunan program, dibuat visi, misi dan arah karya pastoral selama lima tahun. Saya kira ya, bisa dilanjutkan, kita bisa usahakan untuk melanjutkan itu. Karena apa yang telah dibuat uskup terdahulu itu tentu saja mewakili kemauan atau kehendak umat di keuskupan itu. Dan kalau memang itu kehendak dari umat, itu harus dilaksanakan,” tegas Bapa Uskup.

Uskup yang Jago Badminton
Mau tahu hobi Bapa Uskup, apa olahraga, selera seni, makanan dan film favorit? “Kalau disuruh olahraga yang lain tidak peduli lagi, hehehe..” Sambil tertawa lepas, Uskup San menceritakan hobi utamanya ketika masih sekolah dulu di bidang olaharaga kepada Team Buku Kenangan. Hobi itu tetap dipeliharanya hingga kini.
Hobi Bapa Uskup kita memang olahraga. Olahraga favoritnya adalah badminton alias bulutangkis. Beliau tidak hanya jago tetapi sering menjadi juara bila bertanding badminton di lingkup Seminari. Jadi, kalau ada para imam atau umat yang mau melawan main badminton dengan Bapa Uskup, harap siap-siap menelan kekalahan!
Selain badminton, jago bola kaki juga. “Saya punya hobi itu olahraga, olahraga favorit badminton. Saya dulu pernah jago sekali, di S eminari saya juara terus sampai di Seminari Tinggi,” katanya sambil tertawa. “Tetapi saya senang main bola kaki juga. Kalau, bola voli ya, hanya untuk pele angin, untuk ramai-ramai. Sepak bola itu memang senang, pernah jadi pemain kelas,” akunya.
Tentang olahraga badminton ini, Mgr. San punya kenangan tersendiri. Dalam olahraga tepok bulu ini beliau pernah memenangkan beberapa piala di Seminari Tinggi Ritapiret. Malahan saat studi di Roma, tahun 1996 ada pertandingan bulutangkis antara masyarakat Indonesia di sana dan Bapa Uskup bersama temannya dari Larantuka, Rm. Don Frida, keluar sebagai juara di nomor ganda. Teman-temannya yang berasal dari Jawa merasa heran. “Koq orang Flores bisa juara badminton, belajarnya di mana?” kata mereka. “Saya bilang kepada mereka, saya belajar di Seminari, kami banyak aula di sana, baik di Mataloko (Seminari Menengah) kemudian di Seminari Tinggi.” Selain itu Bapa Uskup juga suka lari-lari kecil demi badan yang sehat. “Saya juga suka lopas (lari-lari kecil) biar supaya sehat.” Semua olahraga itu dilakukan Bapa Uskup sampai sekarang, walaupun sudah agak berkurang karena banyak kesibukan.
Tentang kegemaran Bapa Uskup dalam olahraga, ternyata mendapat “olokan” teman kelasnya di Seminari Mataloko dulu, namanya Embu Lanto. “Dia olok saya, mengatakan penggemar olahraga itu jadi Uskup. Embu Lanto ini teman saya di Seminari Mataloko, dari kelas satu sampai kelas tiga. Tiap hari kami main bola kaki. Kalau tidak ada kerja atau bebas pasti di lapangan bola kaki atau bermain basket. Kalau voli itu jarang, hehehe…” cerita Mgr. San sambil terkekeh.
Bagaimana dengan kesenian? “Saya suka nyanyi saja, tetapi saya tidak tahu main alat musik. Saya sudah latih di Seminari itu tapi tidak pernah mahir-mahir, hehehe.. Saya hanya bisa main suling saja. Saya pernah latih gitar, tetapi tidak mahir-mahir. Tapi, kalau disuruh olahraga yang lain tidak peduli lagi,hehehe…”
Soal makanan, Bapa Uskup kita ini bisa makan apa saja, tidak ada masalah. Sedangkan film, bapa Uskup suka film-film action. “Film-film action itu saya lebih suka. Saya bisa nonton film apa saja, tetapi tidak ketagihan. Pas ada kesempatan nonton ya nonton. Kalau tidak juga tidak apa-apa. Tetapi kalau berita itu memang perlu dan wajib. Setiap pagi nonton berita. Jadi kalau berita itu harus, nonton film itu untuk rileks saja di tengah kesibukan.” ***

Para Imam Bersatu
Ketika ditanya harapan Bapa Uskup ketika resmi menjadi Gembala di keuskupan ini, harapan utamanya adalah persatuan diantara Imam Keuskupan Denpasar. “Satu hal yang saya harap bahwa Imam-imam di Keuskupan Denpasar itu bisa bersatu karena itu bisamenjadi satu kekuatan bagi Keuskupan Denpasar. Saya tidak tahun berapa persis banyaknya imam di Keuskupan ini, baik projo maupun tarekat. Kalau imam-imam ini bisa bersatu maka menjadi kekuatan dalam membangun Keuskupan Denpasar. Harapan saya begitu, para imam bersatu untuk membangun Keuskupan Denpasar. Ya, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” harap Bapa Uskup.

Kemiskinan,Keprihatinan Bersama
Menyinggung soal angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi di Indonesia ini, harus diakui menjadi keprihatinan Gereja juga. Karena itu, Gereja sebagai bagian integral dari bangsa ini, harus ikut berjuang bagaimana menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran yang ada, minimal di kalangan umat katolik sendiri yang juga menjadi bagian dari rakyat Indonesia.
Uskup menegaskan, harus menjadi tugas Keuskupan melalui Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dalam penyusunan program yang bisa membantu umat untuk mau keluar dari kemiskinan mereka. “Bagaimana mereka bisa dibantu untuk membantu dirinya sendiri. Jadi, program PSE yang dicanangkan Keuskupan Denpasar saya tidak tahu seperti bagaimana. Tapi, kalau di Keuskupan Agung Ende itu mereka biasa memberikan penyadaran ke mana-mana dulu. Karena kadang orang tidak menyadari bahwa dia miskin. Bagaimana kita bisa membantu dia untuk keluar dari kemiskinan kalau dia tidak mengatakan dia miskin. Orang harus disadarkan dulu sehingga ia merasa miskin, baru pelan-pelan diajak keluar dari kemiskinan itu dengan tindakan kongkret,” urai Bapa Uskup.
Menurut Mgr. San, tentang kemiskinan ini memang perlu perhatian khusus dengan membuat program bersama dan bisa dimulai dari KBG-KBG. “KBG-KBG itu bisa digerakan untuk membangun solidaritas. Saya yakin tidak mungkin dalam satu KBG itu semua orangnya miskin. Jadi bagaimana kita membangun solidaritas dan bagaimana mereka (yang mampu secara ekonomi) bisa membantu teman-teman lain yang miskin. Mereka tidak harus dengan memberikan uang tetapi bisa pikiran-pikiran atau bisa memberikan peluang-peluang, kesempatan juga transfer pengetahun-keahlian-teknologi.”
Upaya pemberdayaan lainnya adalah mengoptimalkan pengembangan koperasi-koperasi karena ada semangat solidaritas di dalamnya. “Ada seorang imam namanya Rm. Blino dari Kalimantan yang sangat konsern memberikan perhatian terhadap masalah ini. Dia biasa jalan terus ke mana-mana untuk mempromosikan koperasi atau Kopdit. Jadi, ini menjadi salah satu kemungkinan untuk pengembangan sosial ekonomi umat,” katanya menyebut nama seorang imam yang mungkin bisa diajak kerjasama di kemudian hari.

Pandangan Mengenai Orang Muda
Bagi Bapa Uskup kondisi orang muda itu bisa positif, bisa negatif tergantung bagaimana mengarahkan mereka. Bali dan NTB dengan kemajuan pariwisatanya, dapat memanfaatkan pariwisata itu ke arah yang positif terutama untuk menghidupi dirinya sendiri dan bukan malah untuk merusak dirinya. “Orang muda itu generasi pelanjut masa depan bangsa, negara dan Gereja. Kita punya Komisi Kepemudaan itu harus memberi perhatian khusus. Saya tidak tahu kesulitan apa yang dialami Keuskupan Denpasar.”
Secara spesifik, Mgr. San mengaku belum mengetahui secara pasti masalah yang paling krusial terkait dengan orang muda di Keuskupan ini, tetapi ia berharap apapun masalahnya harus ada upaya pendampingan terhadap orang muda. “Terus terang, saya tidak tahu masalah krusial di Bali dan NTB dengan banyak turis dan macam-macam. Mungkin sudah ada masalah HIV/AIDS, narkoba, prostitusi, drugs. Apakah orang-orang muda kita bisa dibina, masih bisa didampingi menghadapi tantangan zaman seperti sekarang. Ini kerja berat, biasanya di paroki juga ada Seksi OMK (orang muda katolik), memang tidak mudah mengumpulkan mereka, tetapi kita akan berusaha.”

Ibu yang Lembut
Mama Katharina No’o Nere ibunda dari Mgr. Silvester San,Pr boleh mengalami bahagia berlipat ganda. Bahagia ketika 20 tahun lalu anaknya ditahbiskan sebagai imam praja Keuskupan Agung Ende. Bahagia karena salah satu putranya diangkat oleh Sri Paus Benediktus XVI menjadi Uskup Denpasar.
Kebahagiaan itu tersirat ketika berbincang-bincang dengan Faris Wangge salah seorang tim penulis buku kenangan tahbisan uskup Denpasar yang menemui keluarga ini di kediaman Km 3 Jl.Gatot Subroto Ende Flores pertengahan Januari 2009 lalu. Kala itu, mama Katharina No’o Nere sambil membawa dua gelas teh di tangannya tampak sehat dan kuat. Dari raut wajah, Ibu Katharina adalah ibu yang lembut.Kelembutan itu diakui oleh Mgr. Silvester Sa,Pr. “Ibu mendidik anak-anaknya dengan lembut” demikian ungkap uskup tentang ibundanya.
Tentang putranya yang sekarang menjadi Uskup Denpasar ibu Katharina mengisahkan Mgr.Silvester waktu kecil adalah anak yang manja dan nakal. “Dulu dia nakal betul, kita omong dia tidak ikut, waktu kecil minta digendong terus. Tapi kalau sekolah, otaknya cepat” Ujar Mama Katharina mengenang. Nakal dimaksud dalam arti nakal sebagai anak-anak dalam masa pertumbuhan. Otak cepat, sebuah istilah yang menunjukan bahwa Mgr San kecil adalah anak yang cerdas dan selalu berprestasi di Sekolahnya. “Ada saya punya anak kerja,namanya Thomas yang tiap hari gendong dia. Kalau cari gurita di laut, dia ikut, tunggu di pinggir pantai. Itu anak jalan ke mana, dia ikut terus” tambah Mama Katharina.
Ibu Katharina tidak pernah membayangkan putranya menjadi uskup. Yang dibayangkannya adalah lagi lima tahun putranya akan merayakan 25 tahun imamat atau pesta perak. Ibu Katharina menyatakan sukacitanya atas terpilihnya Romo San menjadi Uskup. “Dia masih muda, baru 47 tahun.Kami tidak menyangka dia akan jadi Uskup.Kami justru sedang mempersiapkan pesta peraknya yang tinggal lima tahun lagi” tambah Mama Katharina. Ibu Katharina mengatakan akan mendukung karya pastoral Uskup Silvester dengan doa “Kami dukung dengan doa dari belakang”. Maksudnya doa dari keluarga di rumah.

Ayah yang Keras Penuh Cinta
Ketika tim penulis buku kenangan berkunjung ke kediaman di kilometer 3 kota Ende, Baba Robe, ayah Mgr.Silvester San,Pr sedang sibuk membolak-balik beberapa catatan dagang di tangannya. Ia tak menyangka jika hari itu ia akan diwawancarai. Setelah tim memperkenalkan diri, Baba Robe lalu memanggil Istrinya. Baba Robe pun bercerita “Dulu saya beragama Protestan, tapi tidak tahu sembayang. Saya dipermandikan menjadi Katolik, satu minggu menjelang tahbisan Romo San. Kemudian saya menerima Komuni pertama langsung dari Romo San” kisah bapa Roben Robo.
Dikisahkan Baba Robe, mereka menikah dengan perjanjian oleh Pastor Both tahun 1955. Dalam perjanjian nikah seluruh anak-anak mengikuti Agama dari Ibu yakni Katolik. Menurut Baba Robe, sebetulnya yang paling rajin sembahyang itu Istrinya. “Saya dulu tidak tahu berdoa” ungkapnya.Tentang kabar diangkatnya Romo San, menjadi Uskup Denpasar diketahuinya dari beberapa kerabat yang mendengar pengumuman tersebut di Gereja dan Radio.
Hal yang tak diduga ketika berita pengangkatan Mgr San, kedua orang tua dan seluruh sanak kerabatnya sedang berada di Maumere. “Kami waktu itu, ikut masuk minta (tunangan) cucu, anak yang punya Toko Go di Maumere. Anak-anak bilang Romo San sudah jadi uskup. Kami kaget, karena jadi Uskup itu tidak gampang” Ujar Baba Robe. Diungkapkan setelah mendengar kabar, mereka ke Ritapiret untuk memberi selamat. “Saya pegang tangan dan memeluknya” ungkapnya.
Dimata Mgr.Silvester San,Pr ayahnya adalah pekerja keras yang mendidik anak-anaknya dengan keras, dengan rotan. Namun pendidikan itu dengan tujuan supaya anak-anak menjadi patuh, sebuah pendidikan yang keras namun penuh cinta. Mgr.San juga mengalami didikan ayahnya dengan rotan, namun hanya sampai Sekolah Dasar. Semua anak-anak dididik dengan rotan hanya sampai sekolah dasar. Setelah SMP tidak lagi dididik dengan rotan tetapi hanya marah saja.

Jago Komputer Jadi Uskup Denpasar
(Rm. Huber Leteng, Pr, kini Mgr. Hubert Leteng,Pr, Uskup Ruteng))

Siapa sangka mereka mesti berpisah karena tugas.Yang satu ke pulau Dewata. Yang lain tetap di Puri Ritapiret.Terpisah oleh ruang dan waktu.Namun persahabatan yang bertahun-tahun lamanya dibangun tidak sirna begitu saja.Malah mampu mengatasi ruang dan waktu.
Rasa Kehilangan seorang sahabat dan rekan kerja akan selalu ada, tetapi pengabdian dan komitmen tidak boleh tidak ada.Rm.Hubertus Leteng,Pr adalah orang ‘dekat’ Mgr.Silvester San,Pr.Selain sebagai wakil Praeses, Rm.Hubert juga teman satu angkatan Mgr.San selama masa pendidikan di Seminari Tinggi dan pendidikan di Roma.Bersama-sama pula sebagai rekan pembina dan dosen di Ritapiret dan STFK Ledalero.Sejak Terpilihnya Mgr.San sebagai Uskup Denpasar,maka berdasarkan Surat Keputusan Uskup Maumere, tertanggal 5 Januari 2009, Rm.Hubert ditetapkan sebagai Praeses Seminari Tinggi St.Petrus Ritapiret untuk masa jabatan 2009–2012.Ternyata benih persahabatan itu sudah jauh ditabur di tanah yang subur ketika siswa Seminari St. Yohanes Berchmans Mataloko mengunjungi Seminari Kisol. Waktu itu Hubert dan San masih siswa kelas 3 SMP.
Rm. Hubert mengungkapkan perasaan hatinya ketika mendengar Rm.Silverster San, Pr diangkat menjadi Uskup Denpasar. “Saya bangga Rm.San bisa diangkat menjadi Uskup, karena beliau itu teman kelas saya dan juga warga komunitas Ritapiret. Ini berkat Tuhan untuk Seminari Ritapiret , karena salah satu warga komunitas kita mendapat kepercayaan untuk menjadi Gembala”. Menurut Rm.Hubert,menjadi uskup adalah karya Roh.Ia sulit ditebak, karena pilihan ini merupakan Providentia Dei, R ahmat Allah, bukan bayangan atau prediksi manusia. Walaupun demikian secara pribadi Rm.Hubert sangat merasakan kehilangan besar. “Dia itu teman dekat saya selama bertahun-tahun. Beliau itu jago komputer. Saya tidak tahu, mau minta bantuan pada siapa”, demikian aku Rm.Hubert dalam sambutannya pada upacara pelepasan Mgr.San oleh komunitas Ritapiret.
Di mata Rm.Hubert,Rm.San adalah seorang yang siap setiap saat untuk membantu.Rm. San juga seorang yang bertanggung jawab terhadap tugasnya.Ia seorang yang tegas, tepat waktu dan memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi.Ke Bali dan di Keuskupan Denpasar Mgr.Silvester San,Pr akan melabuhkan perahunya.Rm.Hubert berharap beliau harus bisa membangun dialog dan kerja sama dengan masyarakat.Mgr.San perlu membangun hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah setempat.Misi Kristen dapat bertumbuh dengan cara-cara seperti itu.Rm.Hubert menegaskan,“Misi Kristen bukan suatu yang samar-samar. Misi Kristen harus diwartakan dengan jelas dan tegas. Walaupun orang Kristen merupakan kaum minoritas, kesaksian hidup menjadi sangat penting.”

Tidak Kaget tapi Cemas
(Rm. Martoni Tangi, Pr.)

Rm.Martoni tidak pernah membayangkan bahwa Rm.San akan menjadi Uskup, tapi yakin bahwa setiap angkatan akan menjadi “generasi emas” untuk keuskupannya masing-masing. Ada yang terpilih sebagai petinggi keuskupan, regio Nusa Tenggara dan dosen. Sebagai teman seangkatan sejak seminari kecil sampai dengan seminari tinggi,Rm.Martoni tidak telalu kaget atas pengangkatan Rm.San sebagai Uskup Denpasar, karena beliau orangnya tekun dengan tugas dan belajar, mengerjakan sesuatu sampai tuntas dan disiplin.
Terpilihnya Rm.San sebagai Uskup Denpasar disambut gembira oleh Rm. Martoni. Tetapi dalam hati kecilnya ada rasa cemas karena Denpasar itu wilayah ‘orang’, sekalipun ada banyak imam yang menjadi bekas muridnya.Namun dia berharap agar Mgr.San maju terus dalam mengerjakan karya pastoral. Apa yang baik di Keuskupan Agung Ende dan Keuskupan Maumere dapat dilanjutkan dan diteruskan di Keuskupan Denpasar. Mencontohi Mgr. Kherubim Pareira, SVD, Uskup Maumere, Rm.Martoni mengatakan bahwa doa itu perlu dalam pelayanan pastoral.Intelektual tidak ada masalah,tetapi pada saat kritis, doa menjadi sangat penting. Menurut Rm.Martoni,jabatan Uskup harus dilihat sebagai Providentia Dei,Rahmat Allah. Kalau ia hanya dipandang sebagai ‘jabatan’, maka stres dan frustrasi akan muncul, terutama di saat-saat kritis.

Cocok dan Pas Menjadi Uskup
(Rm. Fransiskus Eduard Byre, Pr)

Rm.Fransiskus Eduard Byre, Pr (Rm. Petty) punya kesan dan perasaan tersendiri terhadap Mgr.Silvester San,Pr, sahabat dan rekan kerjanya. Kebersamaan mereka berlangsung sejak Seminari Menengah berlanjut pada Seminari Tinggi dan kemudian menjadi formatur pada Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret dan dosen di STFK.
Ada dua perasaan Rm.Petty waktu mendengar pengangkatan Rm.Silvester San,Pr menjadi Uskup Denpasar. Di satu pihak bangga dan gembira karena seorang sahabat,rekan kerja dan Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret terpilih menjadi Uskup. Di lain pihak Rm. Petty merasa kehilangan karena kebersamaan dengan Rm.San bukan waktu yang singkat tetapi panjang sejak Seminari Menengah Mataloko dan Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret baik sebagai frater maupun staf pembina.
Ada bersama dengan Rm. San dalam waktu yang cukup lama membuat Rm. Petty memiliki kesan dan perasaan istimewa tentang beliau. Rm.Petty mengatakan bahwa beliau memiliki sejumlah keutamaan untuk bisa menjalankan tugasnya sebagai Uskup. Dia sangat sederhana, menampilkan diri apa adanya, tekun, pintar, semangat belajar dan membaca yang tinggi.Beliau juga adalah orang yang suka membantu, peka terhadap kebutuhan umum, mengerjakan sesuatu sampai tuntas,jujur,terbuka,berani mengatakan kebenaran,merangkul siapa saja, prinsipil dengan tetap menjunjung tinggi kemanusiaan dan kepentingan banyak orang.Ia sangat bijaksana dan bertanggung jawab dalam memimpin.Ia selalu membuat pertimbangan yang matang dan melibatkan rekan-rekankerja dalam mengambil keputusan, jika hal itu diperlukan.
Berdasakan kualitas dan kapasitas pribadinya ini,Rm.Petty mengakui,“Dia sangat cocok dan pas untuk menjadi seorang uskup”. Rm.Petty berharap agar Mgr. San menjadi figur seorang gembala dan sahabat bagi semua.Rm.Petty yakin bahwa Allah yang memberi pertumbuhan, pasti akan menyempurnakan apa yang masih kurang dalam diri Uskup.

Jadilah Gembala yang Baik
(Rm. Yakobus Soba,Pr)

Pastor Paroki St. Thomas Morus Maumere, Rm.Yakobus Soba,Pr,mengungkapkan kebanggaannya karena sahabatnya,Rm.San dipercayakan untuk tugas dan tanggung jawab dalam perkara yang besar untuk menjadi Uskup Denpasar justru karena ia sudah setia dalam perkara-perkara kecil. Kesetiaannya ini sudah nampak sejak dia belajar di SMP Seminari St.Yohanes Berchmans Mataloko. Di mata Rm.Yakobus,Rm.San adalah seorang pribadi yang sederhana,khususnya dalam hal menu makanan dan pakaian. Beliau seorang yang tekun, teliti,tidak gampang menyerah,pintar dan rasional.Karena itu ada kesan sepertinya beliau kurang menjaga perasaan lawan bicaranya. Tapi sebenarnya beliau tak ada niat untuk itu.
Rm.Yakous menitipkan harapan agar Mgr.San menjadi gembala yang baik.

Persahabatannya Berbobot
(Rm. Benediktus Daghi, Pr.)

Pertama kali diberitahu diangkat sebagai Uskup Denpasar tepatnya tanggal 18 November 2008 bukannya menjadi sebuah kabar gembira bagi Rm.Silverster San,Pr.Begitu pula saat pertama kali diumumkan oleh Tahta Suci Vatikan tanggal 22 November 2008.Hari-hari sebelum dan sesudah diumumkannya secara resmi Rm.San menjadi Uskup Denpasar adalah hari-hari yang diliputi perasaan terkejut,kalut,bingung dan gelisah.Makan tak enak tidur pun tak nyenyak. Begitulah kira-kira perasaan hati Rm.San di antara keterkejutan, kegelisahan dan kenyataan yang yang sedang dan akan dia hadapi.
Ia lalu ke Seminari Mataloko untuk bertemu dengan rekan-rekan imam dan awan untuk mengungkapkan perasaan hatinya,setelah lama disuruh diam dalam keheningan doa,bagi Rm.San,sedikit tidaknya mengurangi kebingungan dan kegelisahannya.Rekan-rekan imam menjadi semacam tempat Rm.San menumpahkan semua bebannya karena disadarinya bahwa kekuatan panggilan itu justru tumbuh dalam kebersamaan,tidak bertumbuh sendiri. Memory akan kebersamaan di masa lalu seakan mengalir seperti air,menerobos batas waktu dan tempat untuk menegaskan bahwa rencana Tuhan indah pada waktunya sekalipun harus dilewati dalam kegelisahan dan kebingungan.
Rm.Bene Daghi,Pr, Praeses Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko saat ini,ketika diwawancarai oleh team, menuturkan perasaan dan pengalaman serta pendapatnya tentang terpilihnya Rm.San menjadi Uskup Denpasar.“Saya patut berbangga sewaktu mendengar bahwa Vatikan mengangkat San menjadi Uskup”, ungkap Rm.Bene.Tentu kebanggaan Rm.Bene ini tidak lepas dari pengalaman kerja sama dengan Rm.San selama masih sebagai calon imam projo dan sebagai staf pembina di Seminari St.Petrus Ritapiret.Sebagai imam senior,Rm. Bene biasanya berkelakar,“Saya sangat berbangga dengan adik-adik yang punya potensi gemilang sebagai imam projo...seperti kamu,San.Kalau mendengar ini,San biasanya senyum-senyum saja”.
Bagi Rm.Bene,Seminari St.Yohanes Berkhmans Mataloko dan Seminari Tinggi St.Petrus Ritapiret ternyata menyimpan segudang pengalaman berarti.Rm.Bene menceritakan bahwa tahun 1974,saat dia di kelas 7 (kelas 3 SMA),dia mengetahui bahwa ada anak keturunan China dari Paroki Maukeli masuk kelas I SMP.Beberapa tahun setelah berada di Seminari Tinggi Ritapiret,San ternyata memilih menjadi imam projo Keuskupan Agung Ende.“Kami merasa satu arah, dalam arti sama-sama mempersiapkan diri menjadi pelayan umat Allah di Keuskupan yang sama”,demikian ungkap Rm. Bene.
Rm.Bene ditabiskan sebagai imam pada tahun 1984 dan dikirim untuk studi Islamologi di Roma.Kembali dari Roma tahun 1988, Rm.Bene masih mengikuti tahbisan Rm.San dan kawan-kawannya di Maumere.Sebagai rekan imam se-Keuskupan Rm.Bene merasa bahwa San adalah orang yang bisa diajak untuk berbicara dan merupakan rekan se-imamat yang bisa diharapkan untuk masa depan Gereja Lokal Keuskupan Agung Ende.Kerekanan dalam imamat dengan Rm.San berlanjut terus.Setelah menyelesaikan licenciat dalam bidang studi Teologi Biblis di Universitas Urbanianum Roma tahun 1993, Rm.San kembali ke Ritapiret dan bertugas sebagai staf pembina calon imam projo sekaligus dosen pengajar pada STFK Ledalero.Tahun 1995 Rm.San melanjutkan studi di bidang yang sama, di Universitas yang sama, untuk program doktoralnya dan selesai pada tahun 1997. Awal tahun 1998, Rm.San kembali lagi ke Ritapiret dengan tugas sabagai staf pembina calon imam projo dan staf pengajar STFK Ledalero.Ia menjabat sebagai wakil praeses bersamadengan Rm.Bene sebagai Praesesnya hingga tahun 2004.Sejak tahun 2004 sampai waktu pengangkatannya sebagai Uskup Denpasar, Rm.San menjabat sebagai Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret.
Kerekanan yang dibangun dari waktu ke waktu itu mematangkan sosok seorang pemimpin dan Gembala umat.Rm.Bene mengatakan,“San memiliki rasa persaudaraan yang cukup kental dan berbobot. Sekalipun dia orangnya diam, tetapi dia kenal orang dengan rasa persaudaraan yan gcukup baik. Dia bukan tipe orang yang memilih-milih dalam pergaulan atau relasi dengan teman-teman”. Dalam soal kepemimpinan itu, saya melihat San seorang pemimpin yang memperhatikan orang lain dengan penuh kasih, tegas dan disiplin pada waktu bukan demi kepentingan dirinya sendiri tapi demi kepentingan pihak-pihak lain. San tidak sekedar mengatakan ya..ya, tetapi dia punya ide demi teman dan anak binaannya. Kalau di tengah umat, pasti dia buat demi kepentingan mereka.
Rm.Bene melihat San adalah orang yang bisa membangun kerekanan dengan imam-imam,biarawan-biarawati,agen-agen pastoral dan awam demi pelayanan umat.Kerekanan tersebut harus merangkul semua pihak agar tercipta semangat persaudaraan yang kuat. Bertolak dari semangat tersebut Rm. Bene meyakini Rm. San bisa menyusun program-program pastoralnya. “Karena di Keuskupan Agung Ende, San punya pengalaman pastoral, terlibat langsung dalam berbagai pertemuan pastoral dan musyawarah pastoral, maka saya yakin dia tidak akan keluar dari apa yang dialaminya. Tinggal menyesuaikannya dengan situasi dan kebutuhan umat Keuskupan Denpasar”, demikian harapan Rm. Bene. Sebagai pembina yang lama berkecimpung di dunia pendidikan calon imam, Rm.Bene melihat Mgr.San bukan orang baru dan yakin dia akan memberi perhatian yang besar pada Seminari Tuka.
Sejumlah harapan dititipkan oleh Rm.Bene kepada Uskup terpilih Mgr.San, para imam, biarawan-biarawati dan umat. Keberhasilan karya pastoral tidak melulu mengandalkan pengalaman kerja dan ijazah, tapi membangun sikap saling pengertian dengan semua rekan imam dan agen-agen pastoral. Rm.Bene mengharapkan agar umat Katolik dan non Katolik bisa menerima Mgr.San dengan segala keunggulan dan kelemahannya sebagai seorang manusia, apalagi dia adalah orang yang baru masuk di Denpasar. “Terimalah dia sebagaimana adanya dan siap untuk membantu kerja sama dengan dia”, titip Rm.Bene dalam nada harapan.

Bukan Superman, tapi Tokoh Panutan
(Bapak Petrus Jelalu)

Yang menyenangkan adalah pengalaman lari pagi dan sore hari bersama-sama.Keliling kompleks seminari bebebera putaran. Kadang berlari di tengah ramainya lalu lintas kendaraan jurusan Maumere, Nita dan Lela. Bertemu dengan ibu-ibu yang membawa hasil kebun dalam bakul yang menggelantung di punggung mereka, sementara kaum lelaki menuntun kuda yang sarat beban.Sesekali terdengar suara orang-orang kampung memanggil frater yang sedang berlari. Panorama senja hari inilah yang diingat oleh bapak Petrus Jelalu, anggota DPRD Kabupaten Sikka yang adalah teman seangkatan Mgr.San sewaktu masih frater.
Kedua-duanya adalah pemimpin yang diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk menghadirkan kerajaanNya sesuai dengan panggilan hidup masing-masing.Bapak Petrus Jelalu melihat pada diri Rm.San ada jiwa kepemimpinan. Hal ini nampak dalam kepribadiannya yang tegas, disiplin,terbuka dan merangkul orang lain serta penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya.
Bapak Petrus Jelalu berharap agar Rm.San menjadi Uskup sampai kekal.Ia bukan seorang superman, tetapi tokoh panutan untuk imam-imamnya dan juga tidak kalah pentingnya menjadi panutan bagi umat. Berkarya di tengah kultur Bali diharapkan agar Mgr.San melakukan inkulturasi yang arif untuk bisa mewartakan Kabar Gembira berakar dalam kebudayaan setempat.Sebagai pemimpin Mgr.San diharapkan agar bisa membina hubungan yang baik dengan pemimpin-pemimpin duniawi,pemerintah.Dan yang tidak kalah pentingnya adalah jangan lupa teman-teman lama karena kekuatan panggilan bertumbuh dalam kebersamaan dengan teman-teman.

Tenang, Kritis dan Teliti
(Fr. Roberthus Gaga NaE Mahasiswa Seminari Ritapiret-Frater TOP di Seminari Tuka, kini Rm. Robertus Gaga NaE,Pr,)

Beliau ini seorang yang tenang, tidak banyak ngomong atau kalau ngomong seperlunya saja.Kalau mengajar atau aktivitas apapun sangat kritis dan teliti. Sebagai Praeses beliau pekerja keras.Bila sedang tidak mengajar jarang rileks dan lebih banyak dalam kamar kerja untuk membaca atau pekerjaan lainnya.”Saya sendiri cukup segan dengan beliau dan sebagai mahasiswa di Ritapiret saya pernah ditegur beliau. Tetapi dalam menegur para frater tidak dengan ekspresi marah, justru sifat kebapakan beliau yang muncul. Ini yang membuat kita gugup bila berhadapan dengan beliau.”
Kesan lainnya adalah Bapa Uskup seorang yang sederhana.Selama di Ritapiret,bila sore-sore beliau suka bercelana pendek dan baju kaus saja,sesekali pakai sarung.Beliau suka memakai bajuolahraga putih bergaris merah.Bapa Uskup juga jago badminton dan jago program komputer sekaligus memperbaiki komputer rusak. Bila ada komputer rusak, termasuk kepunyaan frater beliau dengan senang hati mau memperbaikinya.Beliau memang suka membantu.Seringkali para frater bila berpapasan di jalan dan beliau lagi bawa mobil para frater dipersilahkan ikut numpang.Atau saat pulang kuliah, kita biasanya menunggu beliau di pinggir jalan supaya bisa ikut numpang di mobilnya.”Dalam mobil juga kita biasa cerita-cerita rileks dengan beliau. Jadi Bapa Uskup ini sangat memahami ruang dan waktu bila berhadapan dengan mahasiswa atau para frater.” Ini yang membuat segan dan terkadang gugup berhadapan dengan beliau.

Pohon Kenangan
(John, sopir Rm.San,Pr)

Pemuda gagah ini tak kuasa menahan haru ketika mengetahui bahwa Romo San yang sangat dikenalnya itu terpilih menjadi Uskup Denpasar.”Sebagai sopir pribadi,saya sering menemani monsignur terutama ke luar kota.Jika hendak menempuh perjalanan jauh, romo tak terbiasa makan di warung.Romo kerapkali bilang kita cari nasi bungkus dulu, di mana kita rasa lapar, kita berhenti makan” kenangnya.
John, pemuda asal Kabupaten Nagekeo NTT mengisahkan kepada Faris Wangge tim penulis buku kenangan saat dijumpai di Ritapiret beberapa pekan silam.”Saya diajak untuk menjadi sopir romo setelah beliau kembali dari tugas belajar di Roma tahun 1996.Jadi saya telah bersama romo selama 13 tahun ini”, ungkapnya. Lanjutnya, romo pernah mengajaknya ke kampung di Maukeli,dua minggu bersama beliau liburan disana. Keluarga romo, sangat sederhana. “Bapa mama dorang sederhana, padahal kaya raya. Orang tua pagi-pagi iris batang pisang untuk kasi makan babi, pelihara ayam, hanya pake sarung saja”, kisah John.
Hal yang membuatnya terkenang terus adalah sebatang pohon,tempat yang biasa mereka singgahi makan. Ada dua pohon yang ada diantara kota Maumere dan Ende juga kota Maumere dengan Larantuka. “Saya sudah hafal pohon mana yang dia suka, di situ kami berhenti untuk makan” pungkasnya.

Telah Merasa Rm. San jadi Uskup
(Sr.Savera,OSF)

Pimpinan Komunitas Susteran Ordo St.Fransiskus (OSF) Detusoko Ende NTT itu,tampak begitu bersemangat ketika mengetahui bahwa Rm.San telah terpilih menjadi Uskup Denpasar.“Saya memang kaget waktu mendengar berita itu,namun sejak dulu saya telah merasa bahwa dirinya akan menjadi Uskup,tapi kapan saya belum tahu” Sr.Savera,OSF demikian namanya, ditemui Faris Wangge tim penulis buku kenangan di Wolowaru Ende, pertengahan januari 2009 lalu. Ia menuturkan bahwa dirinya sering membantu Seminari,sejak beliau masih bertugas di Semarang, lalu selama 3,5 tahun bertugas di Ritapiret.Jadi cukup mengenal kepribadian Uskup San dan kehidupan rohaninya.
Saat pertama mengenal Romo San ia melihat kepribadiannya yang luar biasa. Dalam kerjasama beliau sangat memperhatikan kolega, tidak pernah membeda-bedakan orang, pikirannya sangat bijaksana dan sangat jauh ke depan. Dia juga lebih memperhatikan kepentingan umum,bukan kepentingan dirinya sendiri.Menurut suster kelahiran Semarang ini, “Dulu saya paling sering berkelakar dengan beliau bahwa ia pantas jadi uskup”, ucapnya sambil tertawa.
Harapannya semoga Mgr.Silvester San,Pr dapat merangkul para rohaniwan di Keuskupan Denpasar. Suster yang pernah bertugas sepuluh tahun di Keuskupan Denpasar ini dimasa mendiang Mgr. Antonius Thijssen,SVD.

Apresiasi dan Harapan Mereka


Tak perlu menunggu terlalu lama, hanya kurang lebih satu tahun Tuhan berkenan menganugerahi salah seorang putra terbaik dari Seminari Tinggi Ritapiret menjadi Uskup Denpasar.Kabar gembira ini tentu disambut dengan sukacita.Berikut ini beberapa apresiasi dan harapan bagi Mgr.DR.Silvester San,Pr.

Chris Wisnu Sridana
(Denpasar)

Berita pengangkatan Mgr.Silvester San seperti matahari yang terbit dari timur, kita bergembira karena diberi cahaya baru.Terpilihnya Mgr. San adalah wujud karya agung Tuhan yang mempersembahkan putra terbaiknya dari daratan Flores. Sebagai pribadi saya sangat apresiatif kepada Bapa Uskup yang datang ke tanah Bali, Lombok dan Sumbawa dengan penuh ketulusan, kesederhanaan, kelembutan hati untuk mempersembahkan dirinya bagi umat Keuskupan Denpasar. Kerinduan mendalam seluruh umat adalah hadirnya seorang gembala yang berdiri di atas semua kelompok dan golonganKeahlian beliau di bidang Kitab Suci, menurut saya merupakan pilihan Tuhan yang mau berbicara kepada umat Keuskupan Denpasar untuk hidup sesuai kehendakNya sebagaimana difirmankanNya dalam Kitab Suci. Tuhan pasti menghendaki umat bersatu dan bergandengan tangan untuk membangun Keuskupan Denpasar bersama gembala kita yang baru. Kita bangga bahwa ini pilihan terbaik karena Tuhan menjawabi doa-doa umatNya.
Seluruh umat pasti merindukan kunjungan Bapa Uskup untuk menyapa mereka sampai kepada umat yang ada di pedesaan di Bali maupun NTB.”Saya yakin beliau pasti dengan senang hati datang dan menyapa seluruh umatnya yang tersebar di mana-mana di tiga pulau besar Keuskupan Denpasar ini. Beliau juga pasti sangat memahami apa yang mesti dilakukan di daerah yang majemuk seperti ini, melalui sikap keterbukaan dan dialog dengan semua kelompok agama termasuk membangun hubungan baik dengan pemerintah setempat.” Profisiat Buat Bapa Uskup.

Bernardus I Gusti Ngurah Wisnu Purwadi
(Paroki Palasari)

Secara pribadi saya gembira dengan pengangkatan Bapa Uskup dan sangat percaya bahwa ini merupakan pilihan Roh Kudus melalui keputusan terbaik pimpinan Gereja di Vatican. Tentu Bapa Suci mengangkat beliau dengan pertimbangan yang sangat matang dan dalam bimbingan Roh Kudus.”Harapan saya, semoga beliau dapat mengakar pada budaya setempat paling tidak dapat memahami budaya Bali sehingga keuskupan ini dapat berkembang dengan mengakar pada budaya setempat. Saya yakin dengan bantuan Roh Kudus dan kerjasama yang baik dengan seluruh umat beliau mampu melaksanakan karya-karyanya.” Doa Kami Menyertai Bapa Uskup.

Novita Rani Sulistyo
(Kaum Muda-Denpasar)

Saat pengangkatan Bapa Uskup, secara pribadi saya senang karena keuskupan kita akhirnya kembali memiliki seorang gembala, sehingga ke depan arah karya pastoral kita jelas mau dibawa ke mana. Sebagai orang muda saya pastinya mengharapkan Bapa Uskup mau membaur dan mencintai orang muda dengan perhatian-perhatiannya yang tulus, ramah dan mendengarkan. Orang muda Katolik sendiri juga saya mengajak supaya lebih maju lagi baik dalam pelayanan maupun tekun dalam doa. “Saya juga berharap para Imam di Keuskupan Denpasar supaya boleh saling bekerjasama untuk memajukan keuskupan ini, tidak saling bersaing.” Kerjasama yang baik antara imam tentu sangat mendukung karya Bapa Uskup. Demikian pula sebagai umat kita dapat mendukung setiap kebijakan Bapa Uskup agar keuskupan kita menjadi lebih baik di masa mendatang.”Semoga Bapa Uskup juga lebih memperhatikan umat di wilayah terpencil yang memang perlu diperhatikan seperti di Donggo atau stasi-stasi di pedesaan di Bali.” Selamat dan Sukses Buat Bapa Uskup.

Selly Ester Sembiring
(Paroki Mataram-NTB)

Mendengar Pastor Paroki kami mengumumkan telah terpilihnya uskup baru bulan Desember 2008 lalu, terus terang saya senang dan terharu.Rasanya Tuhan begitu cepat mendengarkan doa-doa umatNya. Pikiran saya paling cepat dua tahun,ternyata hanya satu tahun.Semoga Bapa Uskup San dapat menyatu dan bekerjasama dengan umat dalam membangun keuskupan tercinta ini, dapat melanjutkan karya Bapa Uskup Benyamin serta tidak ada jarak dengan umat. Yang paling dirindukan juga adalah dapat menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan pemerintah di Bali dan NTB serta menyatu dengan budaya di Uskup baru dapat membawa umat semakin dewasa dalam iman dan semua umat juga menerima Bapa Uskup dengan sukacita. Juga Bapa Uskup dapat menerima tugas penggembalaan sebagai Uskup Denpasar ini dengan sukacita dan menjadi gembala yang baik bagi domba-dombanya. Sebagai karyawan keuskupan kami selalu siap mendukung setiap gerakan dan karya pastoral Bapa Uskup. Semoga Tuhan Selalu Menolong.

Caecilia Riyanti 
(Pendamping Mudika Mataram-NTB)

Mendengar terpilihnya Uskup baru tentu merasa gembira karena jawaban atas doa-doa umat keuskupan ini begitu cepat, karena biasanya cukup lama. Saya yakin ini berkat doa-doa umat. Harapan untuk Bapa Uskup, semoga bisa melanjutkan agenda hasil Sinode II yang telah diwariskan Bapak Uskup sebelumnya dan tentunya lebih maksimal lagi. Saya juga berharap Bapa Uskup San dekat dengan umat, mendengarkan langsung harapan-harapan umat.”Saya bangga memiliki Bapa Uskup yang masih muda dan energik.Saya yakin Bapa Uskup pasti lebih care dan memahami orang muda agar orang muda lebih menemukan jati dirinya, peduli terhadap Gereja, Negara dan masyarakat sekitarnya. Kepada seluruh umat, mari kita menerima Bapa Uskup kita dengan hati terbuka dan bisa bekerjasama dengan beliau demi kebaikan keuskupan kita tercinta.” Selamat Berkarya Bapa Uskup.**

Comments

Popular posts from this blog

PROFIL KONGREGASI/BIARA YANG BERKARYA DI KEUSKUPAN DENPASAR

Romo Hubertus Hady Setiawan,Pr

Rm. Benediktus Deni Mary