PESAN DAN KESAN UMAT
Yohanes Tobi.
Bapak Yohanes Tobi asal Larantuka Flores sudah berdomisili di Paroki Ampenan pada tahun 1962. Ia mulai bekerja sebagai tukang kebun di Gereja Katolik Ampenan tahun 1980. Ia mengalami masa kegembalaan P.Gierlings,SVD sampai dengan pastor saat ini P.Yoseph Waryadi,SVD dan P. Fransiskus Sidok,SVD. Banyak kemajuan yang dicapai seperti jumlah umat yang bertambah, bangunan gereja dan fasilitas lainnya yang semakin baik. Sebagai umat, Anis juga mengalami masa-masa penuh tantangan dimana Gereja dianiaya.Sebagai umat ia berharap ada kedamaian antar umat beragama.”Harapan saya kiranya jangan lagi ada kerusuhan, jangan lagi ada kekerasan. Biarlah semua orang hidup dalam damai penuh persaudaraan” Ujar Anis yang mengaku sudah berusia 80-an tahun ini.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Petrus Selis Tokan
Tokoh umat Paroki Ampenan bapak Petrus Selis Tokan berharap, peristiwa kerusuhan seperti yang terjadi pada tahun 2000 silam jangan sampai terjadi lagi. Untuk itu umat katolik harus juga berinisiatif untuk membangun kerja sama dengan semua golongan agama. Maka tepat kiranya tema Yubileum Membangun gereja yang inklusif dan transformatif. “Kita yang harus aktif membangun pertemanan dengan sama saudara kita yang beragama lain” Ujar Selis Tokan.
Dikatakan Selis Tokan, ada kesan pertambahan umat di Ampenan sangat lamban. Hal ini bukan karena tidak ada karya pewartaan, tetapi karena lingkungan masyarakat yang mengharuskan umat katolik menjadi kelompok kecil atau minoritas. Sementara secara internal iman umat juga kurang kuat sehingga dengan mudahnya pindah agama, meskipun di saat yang sama juga ada yang bergabung ke pangkuan gereja katolik. Ia juga meminta para imam untuk tetap teguh dalam panggilan imamatnya dan berpegang teguh pada ajaran gereja.”Keuskupan kita kurang imam maka imam yang sekarang taat pada imamatnya, berarti taat pula pada Uskup sebagai pimpinan Gereja di keuskupan ini” Ujarnya.
Ia juga berharap agar umat harus mulai dewasa dalam hidup menggereja. Jika dulu para misionaris yang membangun gereja sekarang saatnya awam atau umat paroki yang harus membangun parokinya sendiri.” Kita sedang menuju paroki yang mandiri. Karena itu umat adalah tiang kokoh penopang tetap berkaryanya Gereja di Keuskupan denpasar, khususnya di Paroki Ampenan” Ujarnya.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Petrus Ngaga
Bapa Petrus Ngaga dan istrinya Elisabeth Nurina adalah dua dari sekian banyak umat katolik Mataram angkatan 1950 yang saat ini masih hidup. Petrus Ngaga asal Ende Flores sudah berdomisili di Mataram sejak tahun 1950. Ia menikah dengan gadis asli Sasak bernama Nurina.
Ibu Elisabeth Nurina menuturkan, di masa kecilnya ia sering lewat di depan gereja Mataram bila ke Pasar Cakranegara. Ia menyaksikan pastor yang merayakan misa membelakangi umat. Saat itu ia mulai tertarik. Nurina lalu tinggal bersama dengan Bapa Rofinus asal Flores yang adalah koster di Gereja Mataram. Bapa Rofinus pula yang mengurus pernikahannya dengan Petrus Ngaga.”Saya menjadi katolik bukan karena menikah dengan Petrus Ngaga tetapi karena memang saya sudah tertarik dengan katolik” Ujar Elisabeth Nurina.
Bapa Petrus Ngaga mengisahkan bahwa pada tahun 1950 umat belum banyak dan gereja belum megah seperti sekarang ini. Namun ia sangat kagum dengan kerja keras para misionaris SVD yang tak henti-hentinya mengunjungi Mataram dan melayani umat Mataram.” Para imam misionaris sudah kerja keras untuk Gereja di Mataram. Mereka tak pernah kenal lelah” Ujar Petrus yang diamini istrinya Elisabeth.
Kini Gereja Mataram sudah maju, umat sudah banyak dan gereja sudah dibangun dengan megah. Ia berharap agar umat terus berdoa agar tidak terjadi lagi musibah yang membawa kerugian baik secara moral maupun secara material. Ia juga berharap agar umat tetap teguh pada imannya. Bapa Petrus Ngaga dan mama Elisabeth rupanya belajar dari pengalaman dalam keluarga, bagaimana anak-anaknya ada yang memilih jalan hidup di luar gereja.”Ini pengalaman iman keluarga saya yang sangat menyedihkan” Ujar Petrus yang didampingi putrinya Kristin, aktifis Sekami Paroki Mataram. (Pewawancara: Agust G Thuru)
Selerinus Nurak
Bapa Selerinus Nurak berasal dari Maumere Flores dan sudah berdomisili di Praya sejak tahun 1958. Ia menikah dengan wanita asli suku Sasak putri dari almarhum Haji Lalu Muhammad. Tentang perkawinannya dengan putri seorang haji, Selerinus mengisahkan tak ada masalah. Orangtua dari istrinya sama sekali tak mempermasalahkan agama bahkan tak berkeberatan ketika istrinya masuk katolik.
Bagi Selerinus, hidup dan iman umat katolik di Praya ada dalam ujian. Ada tembok besar menghadang di depan seolah menghalangi setiap langkah untuk maju ke depan. Jumlah umat yang nyaris tak berkembang bahkan terus berkurang adalah masalah tersendiri bagi paroki Praya. Banyak umat yang akhirnya memilih meninggalkan Praya setelah peristiwa 7 September 1998 dimana bangunan gereja dibakar dan sampai saat ini berbagai upaya yang dilakukan untuk mendapat ijin membangun kembali rumah ibadat belum mendapatkan hasilnya.”Kami umat katolik Praya masih harus berdoa terus menerus untuk mohon penyertaan Tuhan sehingga terwujud kembali pembangunan gereja” Ujarnya.
Menurut Selerinus, masyarakat di Praya tidak pernah mempersoalkan masalah beda agama. Ia memberi contoh dirinya menikah dengan putri seorang haji dan tidak ada masalah. Kesan adanya jurang perbedaan antar umat beragama justru muncul ditengah suasana reformasi.”Saya tidak tahu mengapa terjadi demikian, tetapi kenyataannya, sampai sekarang umat katolik Praya bagaikan domba-domba tanpa kandang, terus berkelana tanpa tempat berteduh yang pasti” Ujarnya lagi.
Dalam rangka Yubileum 75 tahun Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, Selerinus berharap agar ke depan ada upaya-upaya yang lebih konkrit lagi untuk mewujudkan impian umat paroki Praya memiliki gereja. Pendekatan-pendekatan baik kepada instansi yang berwenang maupun kepada masyarakat dan tokoh agama harus terus dilakukan secara intensif.”Kita tak boleh berputus asa untuk berusaha terus mewujudkan impian memiliki gereja di Praya. Saya yakin suatu saat pasti ada jalan keluarnya” Ujar pensiunan pegawai kejaksaan Kabupaten Praya ini.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Mikael Abang
Ketua Bidang Pembinaan Iman (BPI) Dewan Pastoral paroki Sang Penebus Sumbawa Mikael Abang menuturkan, Gereja Sang Penebus Sumbawa sudah mengalami banyak kemajuan. Mantan frater Keuskupan Denpasar yang kini PNS di Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa ini mengatakan, di masa kecilnya ia mendengar ceritera dari ayahnya Stanis Awang bahwa gereja katolik pada tahun 1955 masih merupakan bagunan darurat yang dindingnya dari gedek terletak di belakang kantor daerah sekarang ini. Gereja yang belum direnovasi dalam bentuk sekarang ini dibangun di atas tanah pemberian Sultan Kaharudin III, sultan terakhir dan Bupati pertama Kabupaten Sumbawa. Sedangkan kompleks persekolahan, susteran JMJ dan lapangan bola kaki dibeli oleh imam-imam CssR.
Bagi Mikael, perkembangan Gereja Sumbawa sungguh luar biasa. Setelah Romo Gede Adiamika menjadi pastor paroki, maka komplek gereja ditata, diberi pagar keliling agar terpisah dengan kompleks sekolah.”Saya merasa kini gereja benar-benar tempat yang sakral. Tak ada lagi binatang berkeliaran di halaman gereja, tak ada anak-anak bermain bola di halaman. Bagi saya, kesakralan gereja harus terjaga. Dan itu sudah dilakukan oleh Romo Gede”Ujarnya.
Dalam kaitan dengan 75 tahun Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, ia berharap agar umat tetap teguh dengan imannya apapun yang terjadi dan dalam situasi apapun. Ia juga berharap agar karya-karya pastoral lebih berpihak pada rakyat kecil tanpa memandang suku dan agamanya.
Karena keuskupan sangat kekurangan tenaga imam, maka banyak umat pasti berharap seperti dirinya yakni agar para imam setia pada panggilan imamatnya.”Sebagai umat kita terus berdoa agar para imam tetap setia pada panggilannya. Juga supaya mereka tetap setia pada pimpinan gereja” Ujarnya. .(Pewawancara: Agust G Thuru)
Melkisedek Ranggalehu
Sekretaris Dewan Pastoral Paroki Dompu Melkisedek Ranggalehu mengatakan sangat bersyukur karena Gereja Keuskupan Denpasar telah memasuki usianya yang ke-75 tahun. Sudah banyak kemajuan yang dicapai seperti jumlah umat yang bertambah, karya pastoral semakin beranekaragam, dan bangunan gereja secara fisik pun dapat dengan mudah dibangun.
Namun, ke depan perlu dipikirkan bersama-sama soal panggilan menjadi imam di keuskupan ini.”Menurut saya, minat anak-anak untuk masuk seminari sesungguhnya banyak. Tapi orang tua terpaksa mengurungkan niat mengirim anaknya ke seminari setelah tahu bahwa di seminari biayanya sangat tinggi” Ujar Melkisedek.
Ia mengatakan, mungkin perlu ada gerakan khusus atau ada kelompok-kelompok khusus yang dibentuk dan berkarya secara khusus dalam memfasilitasi anak-anak yang berminat ke seminari. “Saya berharap ke depan ada orang tua asuh untuk para seminaris” harapnya. Ia juga berharap agar para imam yang sekarang ini tetap setia pada panggilannya dan setia pada pimpinan gereja.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Fransiskus Jema
Bendahara Dewan Pastoral Paroki Dompu Fransiskus Jema juga berharap hal yang sama. Ia mengharapkan agar para imam memberikan teladan yang baik kepada umat terutama teladan untuk taat pada pimpinan gereja.
Harapan ini dilontarkan karena merasa sedih dengan sikap imam yang melawan uskup.”Para imam sudah berjanji untuk taat pada uskup. Jadi kami para awam ini berharap agar para imam mewujudnyatakan janji saat tabhisan itu dalam perbuatan dan perjalanan panggilan imamat mereka”Ujarnya.
Ia juga minta kepada umat untuk tetap tguh dalam imannya lebih-lebih di sat mereka hidup di tengah masyarakat mayoritas.” Di Paroki Dompu ini banyak umat tinggal di stasi-stasi yang jauh dari pusat paroki dan mereka adalah kelompok kecil. Kita terus memberikan semangat agar mereka tetap taat pada imannya” Ujarnya.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Moses Pua Seda
Bapak Moses Pua Seda, kelahiran desa Rega Wudu Boawae Kabupaten Nagekeo dan mulai berdomisili di Bima pada tahun 1955. Ia dan istrinya Maria Woga merupakan umat katolik tertua yang masih hidup. Ia menyampaikan kesan-kesannya selama menjadi umat Paroki St. Yusuf Raba Bima.Didampingi istrinya Maria Woga, Moses Pua Seda yang mengaku telah berusia 82 tahun ini mengaku lahir di Kampung Rega, Desa Wudu Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo. Ia lupa tanggal berapa tiba di Bima, tetapi yang ia ingat adalah tahun 1955.Ia bertugas di kepolisian Bima sebagai pegawai sipil. Ia menikah dengan Maria Woga pada 8 Agustus 1961 di Gereja Wudu.
Pada tahun 1955, saat ia datang ke Bima umat katolik belum banyak. Mungkin hanya sekitar 20 orang. Seingatnya,waktu itu belum ada gereja. Umat sembahyang dari rumah ke rumah saja. Imam pertama yang menetap di Bima adalah Pater Heribertus Kuper,CssR yang datang ke Bima pada tahun 1963. Selanjutnya para imam CssR, SJ, SVD dan imam praja bergantian melayani umat Raba Bima.
Bagi Moses Pua Seda, perjalanan waktu dari tahun 1955 sampai dengan 2010 ini adalah perjalanan sejarah gereja paroki Bima yang penuh dengan berkah dan karya Roh Kudus. Selama 45 tahun ia telah mengalami pengalaman suka maupun duka. Namun yang membanggakan adalah bahwa Gereja terus mengalami pertumbuhan. Tak terasa, dalam 45 tahun umat berkembang menjadi 1000 lebih.”Ini yang membuat saya bangga. Saya tahu Roh Kudus yang bekerja” Ujarnya saat ditemui di kediamannya Rabu 21 Juli 2010.
Bagi Bapa Moses dan Mama Maria Woga, pengalaman yang membahagiakan sungguh amat banyak, bahkan tak terhitungkan. Namun di tengah pengalaman yang membahagiakan itu terselip pengalaman yang penuh dengan tantangan.Pengalaman yang penuh tantangan itu, memang sudah lama berlalu. Tetapi seringkali terlintas kembali di masa tua saat ini.”Sungguh menantang namun mengharukan karena Tuhan campur tangan” Ujar Moses.
Pengalaman duka pertama yang dialami bapa Moses dan umat katolik Raba Bima (waktu itu masih bergabung Dompu dan Donggo) adalah masalah penganiayaan umat katolik di Donggo pada tahun 1969. Bapa Moses menjadi saksi sejarah yang menyelamatkan nyawa Pastor Kuper pada waktu itu yang diancam akan dibunuh. Akhirnya masalah itu bisa diselesaikan. Pengalaman kedua adalah peristiwa kulit babi pada tahun 1979, dimana ditemukan kulit babi di Mesjid Al Hikmah yang letaknya persis di belakang Gereja Katolik. Bapa Moses dituduh menaruh kulit babi tersebut sehingga ia mendekam dalam sel selama tiga bulan dan akhirnya bebas. Semua pengalaman itu dirasanya sangat manis karena demi Gereja dipenjara sekalipun ia tidak takut.
Kini Gereja Keuskupan Denpasar sudah berusia 75 tahun. Menurut Bapa Moses, umat sudah bertambah banyak. Namun kesadaran umat untuk hidup menggereja semakin luntur. Solidaritas dan kesetiakawanan antar umat semakin menipis. Ia berharap, semakin bertambah usia gereja, semakin kuat iman umat, semakin berakar Gereja di suatu wilayah.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Haji Ahmadi
Haji Ahmadi menuturkan, bersyukur karena Gereja di Donggo masih tetap hidup sampai sekarang meskipun dihadang oleh berbagai cobaan terutama peristiwa tahun 1969 yang meluluhlantakkan iman umat dan bangunan gereja.”Kalau saya ingat peristiwa tahun 1969, saya merasa sedih. Meskipun saya pindah agama tetapi rasa hormat saya pada katolik tak pernah berkurang”Ujar Ahmadi yang bernama asli Andreas Piter Benz ini.
Ia bersyukur bahwa Gereja Donggo masih bisa membangun kembali gereja-gerejanya pada tahun 1970. Ahmadi mengaku, dirinya adalah tukang batu yang membangun Gereja Tolonggeru pada tahun 1970-1974 yang kemudian diresmikan pemakaiannya oleh P.Thomas Tepho,SVD pada tahun 1975. Ia berharap tak ada lagi masalah sentimen antar umat beragama, sehingga gereja di Donggo boleh berkembang terus dan kerukunan umat beragama semakin erat.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Alfons Subu
Ketua Dewan Pastoral Quasi Paroki Donggo Alfon Subu yang adalah orang Tolonggeru asli mengatakan Gereja Katolik Donggo saat ini terus berkembang meskipun dihadapkan dengan masalah terutama masalah ekonomi. Mayoritas umat katolik Donggo yakni 90 persen adalah petani. Sebagian kecil bekerja sebagai pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan buruh di kota Bima.
Ia berharap agar masalah sentimen antar umat beragama tidak terjadi lagi dan kerukunan semakin menyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam rangka 75 tahun Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, Alfons berharap agar umat kembali meningkatkan semangat dalam menggereja dan para imam agar memberikan teladan yang baik kepada umatnya. Ia mengharapkan agar para imam tetap setia dalam panggilan dan menunjukkan iktikad baik untuk senantiasa taat pada pimpinan gereja.
Ia juga berharap agar umat di Quasi Paroki Donggo tetap memelihara kerukunan serta tetap mempertahankan sikap gotong royong dalam berbagai kegiatan. “ Umat di sini dari dulu sampai sekarang masih memelihara kebersamaan dan sikap gotong royong. Misalnya saat membangun rumah atau mengerjakan lading. Dan sikap ini harus terus dipelihara.” Ujarnya.
Menurut Alfons, dirinya memberikan hormat kepada para imam yang mempunyai karya-karya social dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap para gelandangan dan pembinaan kaum muda. Namun semua karya itu menjadi berkurang nilainya jika jalan yang ditempuh oleh para imam adalah dengan melawan pimpinan gereja dalam hal ini Uskup.”Secara pribadi saya berharap, para imam yang melawan itu supaya sadar, bahwa imamatnya sah karena ada tumpangan tangan seorang uskup. Jika ia melawan Uskup berarti satu bentuk pengkhianatan” Ujarnya.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Ignatius Ismail
Katekis Stasi Mbawa Ignatius Ismail mengatakan sangat bersyukur karena Gereja Katolik Keuskupan Denpasar sudah mencapai usia 75 tahun. Namun tentu saja di depan akan banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Demikian juga dengan umat di Stasi Mbawa, bersyukur karena Gereja Mbawa bisa melewati berbagai tantangan dan iman kepada Kristus masih tetap bertahan sampai sekarang meskipun dalam perjalanan terjadi banyak perpindahan agama. Kata dia, banyak orang katolik khususnya perempuan yang pindah ke agama lain namun di saat yang sama juga banyak dari agama lain yang masuk katolik.
Masalah yang sering muncul adalah jika umat tidak suka dengan pastor atau dengan katekis maka ia akan mogok ke gereja. Ia berharap agar iman umat tidak boleh luntur hanya karena tidak suka dengan sosok seseorang. Selain itu sikap gotong royong antara umat juga mulai semakin pudar. Ia berharap agar solidaritas dan rasa kesetiakawanan social antar umat tetap terpelihara.
Dalam kaitan dengan 75 tahun Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, ia berharap agar aspek pembinaan iman anak-anak dan remaja harus lebih menjadi focus. Dewasa ini banyak anak dan remaja yang bersekolah di sekolah negeri dan mereka tidak mendapat pendidikan agama. Ini bias menjadi sebuah masalah.”Gereja ke depan harus benar-benar memperhatikan aspek pembinaan iman anak-anak ini. Gereja harus berani mempekerjakan lagi tenaga katekis khususnya di paroki yang tidak ada sekolah katolik.” Harapnya.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Vinsentius Made Sandiarta
Tertarik dengan agama katolik dari teman-teman. Ia mengaku masuk gereja pertama kali pada Natal 1980 di Gereja St. Yoseph Kepundung. Setelah pindah ke Singaraja ia belajar agama katolik pada opa Aliandu dan Sr. Katrin Kumanireng. Pada tahun 1984 ia menerima baptisan dan komuni pertama dari P.Robert Rewu,SVD.
Sebagai umat yang berkomitmen untuk taat pada Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik, ia berharap dengan usia Gereja Keuskupan Denpasar yang sudah menginjak 75 tahun, umat kiranya lebih meningkatkan ‘ketaatan’ pada pimpinan Gereja. Ia juga berharap agar para imam tetap taat pada panggilannya karena saat ini panggilan sangat kurang.”Kita harus terus berdoa tiada henti untuk kesetiaan panggilan para imam.” Ujarnya.
Kerinduan yang masih terus ada dalam dirinya adalah melihat Gereja Katolik di Singaraja kembali seperti sebelum tahun 1995 dimana umat bersatupadu. Karena itu harapannya adalah supaya Gereja di Singaraja kembali bersatu. Ia mengaku tak henti-hentinya berdoa agar Roh Kudus memberikan jalan yang terbaik agar semua masalah bisa diselesaikan dan umat di Singaraja menjadi satu tubuh Kristus dan tak terceraiberaikan.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Matheus Yoseph Sarsito
Mantan Kepala SMP dan SMAK St. Paulus Singaraja ini menyatakan rasa syukur karena Gereja Keuskupan Denpasar telah menginjak usianya yang ke-75 tahun. Ibarat manusia maka usia 75 tahun adalah usia senja, tapi sebagai Gereja ini adalah usia matang dalam berkarya menyelamatkan jiwa-jiwa umatnya.
Suami dari Yustina Veronica Suharmipartiwi ini tetap optimis bahwa Gereja katolik akan terus tumbuh dan berkembang dan melakukan banyak hal yang berguna bagi umatnya bukan saja hanya secara rohaniah tetapi juga secara jasmaniah. Misalnya, Gereja kini terus berupaya menyejahterakan umat dengan berbagai program pemberdayaan, salah satunya melalui koperasi kredit.
Menurutnya, dalam usia 75 tahun ini, pertumbuhan koperasi kredit di kalangan gereja katolik sudah sangat berkembang dan mewarnai lingkungan di luar Gereja. “Koperasi kredit,sudah menjadi salah satu karya kerasulan yang turut memperkenalkan Gereja ke tengah para anggota non katolik dan mereka pun memahami Gereja Katolik secara baik dan benar bahwa Gereja sama sekali tidak mengkristenkan orang, tetapi bekerja untuk orang-orang yang berkehendak baik membangun tata dunia baru” Ujarnya.
Soal keberadaan koperasi yang diprakarsai oleh umat katolik, ia mengatakan ada kekhawatiran bahwa koperasi lalu berkembang menjadi semata-mata sebagai lembaga perekonomian dan kehilangan semangat kekatholikannya.”Saya berharap cirri khas kekatholikan dalam koperasi harus tetap dipertahankan. Dengan demikian koperasi yang diprakarsai oleh umat katholik akan tetap menjadi sarana efektif dalam memperkenalkan iman katholik kepada masyarakat umum” Ujarnya lagi.
Sama seperti semua umat katolik di Singaraja, Matehus Yoseph Sarsito juga mengharapkan agar masalah Gereja Singaraja bias diselesaikan dan umat boleh kembali menjadi satu kawanan yang sama-sama berziarah ke rumah Bapa di surga. Menurutnya, harus ada waktunya dimana semua umat belajar untuk setia lagi bukan saja kepada pimpinan Gereja, tetapi juga pada amanat Yesus; “Hendaklah kamu semua menjadi satu, sama seperti Aku dan Bapa adalah satu”. (Pewawancara: Agust G Thuru)
I Made Kembarika,SPd
Meskipun bukan seorang katolik, I Made Kembarika,SPd mengaku sangat kagum dengan Gereja Katolik, terutama karya-karya yang dilakukan oleh umat katolik. Salah satu contoh adalah bagaimana umat katolik di Paroki Negara menjadi motivator bagi umat beragama lain untuk berhimpun dalam wadah koperasi.
Kepala Operasional Koperasi Kredit Bali Arta Mandiri Negara ini menuturkan pengalamannya dalam mendirikan koperasi. Ia diajak oleh Drs. Yohanes Budi Nurseto, salah satu tokoh gereja katolik Negara untuk bersama-sama mendirikan koperasi Bali Arta Mandiri. Ia mengaku, niat baik ini tentu saja disambutnya. Dan ternyata, koperasi Bali Arta Mandiri kini berkembang dan anggotanya dari lintas agama.”Saya percaya setiap apa yang diprakarsai oleh umat katholik adalah perwujudan dari nilai cinta kasih yang diyakinya” Ujarnya.
Ia berharap agar Gereja Katolik terus berkiprah dalam membangun perekonomian rakyat, bukan saja untuk kalangan gereja saja tetapi untuk semua lapisan masyarakat. Kata dia, sekarang ini, semua umat beragama harus menyatukan semangat dan komitmen untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. (Pewawancara: Agust G Thuru)
Bapak Yohanes Tobi asal Larantuka Flores sudah berdomisili di Paroki Ampenan pada tahun 1962. Ia mulai bekerja sebagai tukang kebun di Gereja Katolik Ampenan tahun 1980. Ia mengalami masa kegembalaan P.Gierlings,SVD sampai dengan pastor saat ini P.Yoseph Waryadi,SVD dan P. Fransiskus Sidok,SVD. Banyak kemajuan yang dicapai seperti jumlah umat yang bertambah, bangunan gereja dan fasilitas lainnya yang semakin baik. Sebagai umat, Anis juga mengalami masa-masa penuh tantangan dimana Gereja dianiaya.Sebagai umat ia berharap ada kedamaian antar umat beragama.”Harapan saya kiranya jangan lagi ada kerusuhan, jangan lagi ada kekerasan. Biarlah semua orang hidup dalam damai penuh persaudaraan” Ujar Anis yang mengaku sudah berusia 80-an tahun ini.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Petrus Selis Tokan
Tokoh umat Paroki Ampenan bapak Petrus Selis Tokan berharap, peristiwa kerusuhan seperti yang terjadi pada tahun 2000 silam jangan sampai terjadi lagi. Untuk itu umat katolik harus juga berinisiatif untuk membangun kerja sama dengan semua golongan agama. Maka tepat kiranya tema Yubileum Membangun gereja yang inklusif dan transformatif. “Kita yang harus aktif membangun pertemanan dengan sama saudara kita yang beragama lain” Ujar Selis Tokan.
Dikatakan Selis Tokan, ada kesan pertambahan umat di Ampenan sangat lamban. Hal ini bukan karena tidak ada karya pewartaan, tetapi karena lingkungan masyarakat yang mengharuskan umat katolik menjadi kelompok kecil atau minoritas. Sementara secara internal iman umat juga kurang kuat sehingga dengan mudahnya pindah agama, meskipun di saat yang sama juga ada yang bergabung ke pangkuan gereja katolik. Ia juga meminta para imam untuk tetap teguh dalam panggilan imamatnya dan berpegang teguh pada ajaran gereja.”Keuskupan kita kurang imam maka imam yang sekarang taat pada imamatnya, berarti taat pula pada Uskup sebagai pimpinan Gereja di keuskupan ini” Ujarnya.
Ia juga berharap agar umat harus mulai dewasa dalam hidup menggereja. Jika dulu para misionaris yang membangun gereja sekarang saatnya awam atau umat paroki yang harus membangun parokinya sendiri.” Kita sedang menuju paroki yang mandiri. Karena itu umat adalah tiang kokoh penopang tetap berkaryanya Gereja di Keuskupan denpasar, khususnya di Paroki Ampenan” Ujarnya.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Petrus Ngaga
Bapa Petrus Ngaga dan istrinya Elisabeth Nurina adalah dua dari sekian banyak umat katolik Mataram angkatan 1950 yang saat ini masih hidup. Petrus Ngaga asal Ende Flores sudah berdomisili di Mataram sejak tahun 1950. Ia menikah dengan gadis asli Sasak bernama Nurina.
Ibu Elisabeth Nurina menuturkan, di masa kecilnya ia sering lewat di depan gereja Mataram bila ke Pasar Cakranegara. Ia menyaksikan pastor yang merayakan misa membelakangi umat. Saat itu ia mulai tertarik. Nurina lalu tinggal bersama dengan Bapa Rofinus asal Flores yang adalah koster di Gereja Mataram. Bapa Rofinus pula yang mengurus pernikahannya dengan Petrus Ngaga.”Saya menjadi katolik bukan karena menikah dengan Petrus Ngaga tetapi karena memang saya sudah tertarik dengan katolik” Ujar Elisabeth Nurina.
Bapa Petrus Ngaga mengisahkan bahwa pada tahun 1950 umat belum banyak dan gereja belum megah seperti sekarang ini. Namun ia sangat kagum dengan kerja keras para misionaris SVD yang tak henti-hentinya mengunjungi Mataram dan melayani umat Mataram.” Para imam misionaris sudah kerja keras untuk Gereja di Mataram. Mereka tak pernah kenal lelah” Ujar Petrus yang diamini istrinya Elisabeth.
Kini Gereja Mataram sudah maju, umat sudah banyak dan gereja sudah dibangun dengan megah. Ia berharap agar umat terus berdoa agar tidak terjadi lagi musibah yang membawa kerugian baik secara moral maupun secara material. Ia juga berharap agar umat tetap teguh pada imannya. Bapa Petrus Ngaga dan mama Elisabeth rupanya belajar dari pengalaman dalam keluarga, bagaimana anak-anaknya ada yang memilih jalan hidup di luar gereja.”Ini pengalaman iman keluarga saya yang sangat menyedihkan” Ujar Petrus yang didampingi putrinya Kristin, aktifis Sekami Paroki Mataram. (Pewawancara: Agust G Thuru)
Selerinus Nurak
Bapa Selerinus Nurak berasal dari Maumere Flores dan sudah berdomisili di Praya sejak tahun 1958. Ia menikah dengan wanita asli suku Sasak putri dari almarhum Haji Lalu Muhammad. Tentang perkawinannya dengan putri seorang haji, Selerinus mengisahkan tak ada masalah. Orangtua dari istrinya sama sekali tak mempermasalahkan agama bahkan tak berkeberatan ketika istrinya masuk katolik.
Bagi Selerinus, hidup dan iman umat katolik di Praya ada dalam ujian. Ada tembok besar menghadang di depan seolah menghalangi setiap langkah untuk maju ke depan. Jumlah umat yang nyaris tak berkembang bahkan terus berkurang adalah masalah tersendiri bagi paroki Praya. Banyak umat yang akhirnya memilih meninggalkan Praya setelah peristiwa 7 September 1998 dimana bangunan gereja dibakar dan sampai saat ini berbagai upaya yang dilakukan untuk mendapat ijin membangun kembali rumah ibadat belum mendapatkan hasilnya.”Kami umat katolik Praya masih harus berdoa terus menerus untuk mohon penyertaan Tuhan sehingga terwujud kembali pembangunan gereja” Ujarnya.
Menurut Selerinus, masyarakat di Praya tidak pernah mempersoalkan masalah beda agama. Ia memberi contoh dirinya menikah dengan putri seorang haji dan tidak ada masalah. Kesan adanya jurang perbedaan antar umat beragama justru muncul ditengah suasana reformasi.”Saya tidak tahu mengapa terjadi demikian, tetapi kenyataannya, sampai sekarang umat katolik Praya bagaikan domba-domba tanpa kandang, terus berkelana tanpa tempat berteduh yang pasti” Ujarnya lagi.
Dalam rangka Yubileum 75 tahun Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, Selerinus berharap agar ke depan ada upaya-upaya yang lebih konkrit lagi untuk mewujudkan impian umat paroki Praya memiliki gereja. Pendekatan-pendekatan baik kepada instansi yang berwenang maupun kepada masyarakat dan tokoh agama harus terus dilakukan secara intensif.”Kita tak boleh berputus asa untuk berusaha terus mewujudkan impian memiliki gereja di Praya. Saya yakin suatu saat pasti ada jalan keluarnya” Ujar pensiunan pegawai kejaksaan Kabupaten Praya ini.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Mikael Abang
Ketua Bidang Pembinaan Iman (BPI) Dewan Pastoral paroki Sang Penebus Sumbawa Mikael Abang menuturkan, Gereja Sang Penebus Sumbawa sudah mengalami banyak kemajuan. Mantan frater Keuskupan Denpasar yang kini PNS di Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa ini mengatakan, di masa kecilnya ia mendengar ceritera dari ayahnya Stanis Awang bahwa gereja katolik pada tahun 1955 masih merupakan bagunan darurat yang dindingnya dari gedek terletak di belakang kantor daerah sekarang ini. Gereja yang belum direnovasi dalam bentuk sekarang ini dibangun di atas tanah pemberian Sultan Kaharudin III, sultan terakhir dan Bupati pertama Kabupaten Sumbawa. Sedangkan kompleks persekolahan, susteran JMJ dan lapangan bola kaki dibeli oleh imam-imam CssR.
Bagi Mikael, perkembangan Gereja Sumbawa sungguh luar biasa. Setelah Romo Gede Adiamika menjadi pastor paroki, maka komplek gereja ditata, diberi pagar keliling agar terpisah dengan kompleks sekolah.”Saya merasa kini gereja benar-benar tempat yang sakral. Tak ada lagi binatang berkeliaran di halaman gereja, tak ada anak-anak bermain bola di halaman. Bagi saya, kesakralan gereja harus terjaga. Dan itu sudah dilakukan oleh Romo Gede”Ujarnya.
Dalam kaitan dengan 75 tahun Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, ia berharap agar umat tetap teguh dengan imannya apapun yang terjadi dan dalam situasi apapun. Ia juga berharap agar karya-karya pastoral lebih berpihak pada rakyat kecil tanpa memandang suku dan agamanya.
Karena keuskupan sangat kekurangan tenaga imam, maka banyak umat pasti berharap seperti dirinya yakni agar para imam setia pada panggilan imamatnya.”Sebagai umat kita terus berdoa agar para imam tetap setia pada panggilannya. Juga supaya mereka tetap setia pada pimpinan gereja” Ujarnya. .(Pewawancara: Agust G Thuru)
Melkisedek Ranggalehu
Sekretaris Dewan Pastoral Paroki Dompu Melkisedek Ranggalehu mengatakan sangat bersyukur karena Gereja Keuskupan Denpasar telah memasuki usianya yang ke-75 tahun. Sudah banyak kemajuan yang dicapai seperti jumlah umat yang bertambah, karya pastoral semakin beranekaragam, dan bangunan gereja secara fisik pun dapat dengan mudah dibangun.
Namun, ke depan perlu dipikirkan bersama-sama soal panggilan menjadi imam di keuskupan ini.”Menurut saya, minat anak-anak untuk masuk seminari sesungguhnya banyak. Tapi orang tua terpaksa mengurungkan niat mengirim anaknya ke seminari setelah tahu bahwa di seminari biayanya sangat tinggi” Ujar Melkisedek.
Ia mengatakan, mungkin perlu ada gerakan khusus atau ada kelompok-kelompok khusus yang dibentuk dan berkarya secara khusus dalam memfasilitasi anak-anak yang berminat ke seminari. “Saya berharap ke depan ada orang tua asuh untuk para seminaris” harapnya. Ia juga berharap agar para imam yang sekarang ini tetap setia pada panggilannya dan setia pada pimpinan gereja.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Fransiskus Jema
Bendahara Dewan Pastoral Paroki Dompu Fransiskus Jema juga berharap hal yang sama. Ia mengharapkan agar para imam memberikan teladan yang baik kepada umat terutama teladan untuk taat pada pimpinan gereja.
Harapan ini dilontarkan karena merasa sedih dengan sikap imam yang melawan uskup.”Para imam sudah berjanji untuk taat pada uskup. Jadi kami para awam ini berharap agar para imam mewujudnyatakan janji saat tabhisan itu dalam perbuatan dan perjalanan panggilan imamat mereka”Ujarnya.
Ia juga minta kepada umat untuk tetap tguh dalam imannya lebih-lebih di sat mereka hidup di tengah masyarakat mayoritas.” Di Paroki Dompu ini banyak umat tinggal di stasi-stasi yang jauh dari pusat paroki dan mereka adalah kelompok kecil. Kita terus memberikan semangat agar mereka tetap taat pada imannya” Ujarnya.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Moses Pua Seda
Bapak Moses Pua Seda, kelahiran desa Rega Wudu Boawae Kabupaten Nagekeo dan mulai berdomisili di Bima pada tahun 1955. Ia dan istrinya Maria Woga merupakan umat katolik tertua yang masih hidup. Ia menyampaikan kesan-kesannya selama menjadi umat Paroki St. Yusuf Raba Bima.Didampingi istrinya Maria Woga, Moses Pua Seda yang mengaku telah berusia 82 tahun ini mengaku lahir di Kampung Rega, Desa Wudu Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo. Ia lupa tanggal berapa tiba di Bima, tetapi yang ia ingat adalah tahun 1955.Ia bertugas di kepolisian Bima sebagai pegawai sipil. Ia menikah dengan Maria Woga pada 8 Agustus 1961 di Gereja Wudu.
Pada tahun 1955, saat ia datang ke Bima umat katolik belum banyak. Mungkin hanya sekitar 20 orang. Seingatnya,waktu itu belum ada gereja. Umat sembahyang dari rumah ke rumah saja. Imam pertama yang menetap di Bima adalah Pater Heribertus Kuper,CssR yang datang ke Bima pada tahun 1963. Selanjutnya para imam CssR, SJ, SVD dan imam praja bergantian melayani umat Raba Bima.
Bagi Moses Pua Seda, perjalanan waktu dari tahun 1955 sampai dengan 2010 ini adalah perjalanan sejarah gereja paroki Bima yang penuh dengan berkah dan karya Roh Kudus. Selama 45 tahun ia telah mengalami pengalaman suka maupun duka. Namun yang membanggakan adalah bahwa Gereja terus mengalami pertumbuhan. Tak terasa, dalam 45 tahun umat berkembang menjadi 1000 lebih.”Ini yang membuat saya bangga. Saya tahu Roh Kudus yang bekerja” Ujarnya saat ditemui di kediamannya Rabu 21 Juli 2010.
Bagi Bapa Moses dan Mama Maria Woga, pengalaman yang membahagiakan sungguh amat banyak, bahkan tak terhitungkan. Namun di tengah pengalaman yang membahagiakan itu terselip pengalaman yang penuh dengan tantangan.Pengalaman yang penuh tantangan itu, memang sudah lama berlalu. Tetapi seringkali terlintas kembali di masa tua saat ini.”Sungguh menantang namun mengharukan karena Tuhan campur tangan” Ujar Moses.
Pengalaman duka pertama yang dialami bapa Moses dan umat katolik Raba Bima (waktu itu masih bergabung Dompu dan Donggo) adalah masalah penganiayaan umat katolik di Donggo pada tahun 1969. Bapa Moses menjadi saksi sejarah yang menyelamatkan nyawa Pastor Kuper pada waktu itu yang diancam akan dibunuh. Akhirnya masalah itu bisa diselesaikan. Pengalaman kedua adalah peristiwa kulit babi pada tahun 1979, dimana ditemukan kulit babi di Mesjid Al Hikmah yang letaknya persis di belakang Gereja Katolik. Bapa Moses dituduh menaruh kulit babi tersebut sehingga ia mendekam dalam sel selama tiga bulan dan akhirnya bebas. Semua pengalaman itu dirasanya sangat manis karena demi Gereja dipenjara sekalipun ia tidak takut.
Kini Gereja Keuskupan Denpasar sudah berusia 75 tahun. Menurut Bapa Moses, umat sudah bertambah banyak. Namun kesadaran umat untuk hidup menggereja semakin luntur. Solidaritas dan kesetiakawanan antar umat semakin menipis. Ia berharap, semakin bertambah usia gereja, semakin kuat iman umat, semakin berakar Gereja di suatu wilayah.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Haji Ahmadi
Haji Ahmadi menuturkan, bersyukur karena Gereja di Donggo masih tetap hidup sampai sekarang meskipun dihadang oleh berbagai cobaan terutama peristiwa tahun 1969 yang meluluhlantakkan iman umat dan bangunan gereja.”Kalau saya ingat peristiwa tahun 1969, saya merasa sedih. Meskipun saya pindah agama tetapi rasa hormat saya pada katolik tak pernah berkurang”Ujar Ahmadi yang bernama asli Andreas Piter Benz ini.
Ia bersyukur bahwa Gereja Donggo masih bisa membangun kembali gereja-gerejanya pada tahun 1970. Ahmadi mengaku, dirinya adalah tukang batu yang membangun Gereja Tolonggeru pada tahun 1970-1974 yang kemudian diresmikan pemakaiannya oleh P.Thomas Tepho,SVD pada tahun 1975. Ia berharap tak ada lagi masalah sentimen antar umat beragama, sehingga gereja di Donggo boleh berkembang terus dan kerukunan umat beragama semakin erat.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Alfons Subu
Ketua Dewan Pastoral Quasi Paroki Donggo Alfon Subu yang adalah orang Tolonggeru asli mengatakan Gereja Katolik Donggo saat ini terus berkembang meskipun dihadapkan dengan masalah terutama masalah ekonomi. Mayoritas umat katolik Donggo yakni 90 persen adalah petani. Sebagian kecil bekerja sebagai pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan buruh di kota Bima.
Ia berharap agar masalah sentimen antar umat beragama tidak terjadi lagi dan kerukunan semakin menyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam rangka 75 tahun Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, Alfons berharap agar umat kembali meningkatkan semangat dalam menggereja dan para imam agar memberikan teladan yang baik kepada umatnya. Ia mengharapkan agar para imam tetap setia dalam panggilan dan menunjukkan iktikad baik untuk senantiasa taat pada pimpinan gereja.
Ia juga berharap agar umat di Quasi Paroki Donggo tetap memelihara kerukunan serta tetap mempertahankan sikap gotong royong dalam berbagai kegiatan. “ Umat di sini dari dulu sampai sekarang masih memelihara kebersamaan dan sikap gotong royong. Misalnya saat membangun rumah atau mengerjakan lading. Dan sikap ini harus terus dipelihara.” Ujarnya.
Menurut Alfons, dirinya memberikan hormat kepada para imam yang mempunyai karya-karya social dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap para gelandangan dan pembinaan kaum muda. Namun semua karya itu menjadi berkurang nilainya jika jalan yang ditempuh oleh para imam adalah dengan melawan pimpinan gereja dalam hal ini Uskup.”Secara pribadi saya berharap, para imam yang melawan itu supaya sadar, bahwa imamatnya sah karena ada tumpangan tangan seorang uskup. Jika ia melawan Uskup berarti satu bentuk pengkhianatan” Ujarnya.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Ignatius Ismail
Katekis Stasi Mbawa Ignatius Ismail mengatakan sangat bersyukur karena Gereja Katolik Keuskupan Denpasar sudah mencapai usia 75 tahun. Namun tentu saja di depan akan banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Demikian juga dengan umat di Stasi Mbawa, bersyukur karena Gereja Mbawa bisa melewati berbagai tantangan dan iman kepada Kristus masih tetap bertahan sampai sekarang meskipun dalam perjalanan terjadi banyak perpindahan agama. Kata dia, banyak orang katolik khususnya perempuan yang pindah ke agama lain namun di saat yang sama juga banyak dari agama lain yang masuk katolik.
Masalah yang sering muncul adalah jika umat tidak suka dengan pastor atau dengan katekis maka ia akan mogok ke gereja. Ia berharap agar iman umat tidak boleh luntur hanya karena tidak suka dengan sosok seseorang. Selain itu sikap gotong royong antara umat juga mulai semakin pudar. Ia berharap agar solidaritas dan rasa kesetiakawanan social antar umat tetap terpelihara.
Dalam kaitan dengan 75 tahun Gereja Katolik Keuskupan Denpasar, ia berharap agar aspek pembinaan iman anak-anak dan remaja harus lebih menjadi focus. Dewasa ini banyak anak dan remaja yang bersekolah di sekolah negeri dan mereka tidak mendapat pendidikan agama. Ini bias menjadi sebuah masalah.”Gereja ke depan harus benar-benar memperhatikan aspek pembinaan iman anak-anak ini. Gereja harus berani mempekerjakan lagi tenaga katekis khususnya di paroki yang tidak ada sekolah katolik.” Harapnya.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Vinsentius Made Sandiarta
Tertarik dengan agama katolik dari teman-teman. Ia mengaku masuk gereja pertama kali pada Natal 1980 di Gereja St. Yoseph Kepundung. Setelah pindah ke Singaraja ia belajar agama katolik pada opa Aliandu dan Sr. Katrin Kumanireng. Pada tahun 1984 ia menerima baptisan dan komuni pertama dari P.Robert Rewu,SVD.
Sebagai umat yang berkomitmen untuk taat pada Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik, ia berharap dengan usia Gereja Keuskupan Denpasar yang sudah menginjak 75 tahun, umat kiranya lebih meningkatkan ‘ketaatan’ pada pimpinan Gereja. Ia juga berharap agar para imam tetap taat pada panggilannya karena saat ini panggilan sangat kurang.”Kita harus terus berdoa tiada henti untuk kesetiaan panggilan para imam.” Ujarnya.
Kerinduan yang masih terus ada dalam dirinya adalah melihat Gereja Katolik di Singaraja kembali seperti sebelum tahun 1995 dimana umat bersatupadu. Karena itu harapannya adalah supaya Gereja di Singaraja kembali bersatu. Ia mengaku tak henti-hentinya berdoa agar Roh Kudus memberikan jalan yang terbaik agar semua masalah bisa diselesaikan dan umat di Singaraja menjadi satu tubuh Kristus dan tak terceraiberaikan.(Pewawancara: Agust G Thuru)
Matheus Yoseph Sarsito
Mantan Kepala SMP dan SMAK St. Paulus Singaraja ini menyatakan rasa syukur karena Gereja Keuskupan Denpasar telah menginjak usianya yang ke-75 tahun. Ibarat manusia maka usia 75 tahun adalah usia senja, tapi sebagai Gereja ini adalah usia matang dalam berkarya menyelamatkan jiwa-jiwa umatnya.
Suami dari Yustina Veronica Suharmipartiwi ini tetap optimis bahwa Gereja katolik akan terus tumbuh dan berkembang dan melakukan banyak hal yang berguna bagi umatnya bukan saja hanya secara rohaniah tetapi juga secara jasmaniah. Misalnya, Gereja kini terus berupaya menyejahterakan umat dengan berbagai program pemberdayaan, salah satunya melalui koperasi kredit.
Menurutnya, dalam usia 75 tahun ini, pertumbuhan koperasi kredit di kalangan gereja katolik sudah sangat berkembang dan mewarnai lingkungan di luar Gereja. “Koperasi kredit,sudah menjadi salah satu karya kerasulan yang turut memperkenalkan Gereja ke tengah para anggota non katolik dan mereka pun memahami Gereja Katolik secara baik dan benar bahwa Gereja sama sekali tidak mengkristenkan orang, tetapi bekerja untuk orang-orang yang berkehendak baik membangun tata dunia baru” Ujarnya.
Soal keberadaan koperasi yang diprakarsai oleh umat katolik, ia mengatakan ada kekhawatiran bahwa koperasi lalu berkembang menjadi semata-mata sebagai lembaga perekonomian dan kehilangan semangat kekatholikannya.”Saya berharap cirri khas kekatholikan dalam koperasi harus tetap dipertahankan. Dengan demikian koperasi yang diprakarsai oleh umat katholik akan tetap menjadi sarana efektif dalam memperkenalkan iman katholik kepada masyarakat umum” Ujarnya lagi.
Sama seperti semua umat katolik di Singaraja, Matehus Yoseph Sarsito juga mengharapkan agar masalah Gereja Singaraja bias diselesaikan dan umat boleh kembali menjadi satu kawanan yang sama-sama berziarah ke rumah Bapa di surga. Menurutnya, harus ada waktunya dimana semua umat belajar untuk setia lagi bukan saja kepada pimpinan Gereja, tetapi juga pada amanat Yesus; “Hendaklah kamu semua menjadi satu, sama seperti Aku dan Bapa adalah satu”. (Pewawancara: Agust G Thuru)
I Made Kembarika,SPd
Meskipun bukan seorang katolik, I Made Kembarika,SPd mengaku sangat kagum dengan Gereja Katolik, terutama karya-karya yang dilakukan oleh umat katolik. Salah satu contoh adalah bagaimana umat katolik di Paroki Negara menjadi motivator bagi umat beragama lain untuk berhimpun dalam wadah koperasi.
Kepala Operasional Koperasi Kredit Bali Arta Mandiri Negara ini menuturkan pengalamannya dalam mendirikan koperasi. Ia diajak oleh Drs. Yohanes Budi Nurseto, salah satu tokoh gereja katolik Negara untuk bersama-sama mendirikan koperasi Bali Arta Mandiri. Ia mengaku, niat baik ini tentu saja disambutnya. Dan ternyata, koperasi Bali Arta Mandiri kini berkembang dan anggotanya dari lintas agama.”Saya percaya setiap apa yang diprakarsai oleh umat katholik adalah perwujudan dari nilai cinta kasih yang diyakinya” Ujarnya.
Ia berharap agar Gereja Katolik terus berkiprah dalam membangun perekonomian rakyat, bukan saja untuk kalangan gereja saja tetapi untuk semua lapisan masyarakat. Kata dia, sekarang ini, semua umat beragama harus menyatukan semangat dan komitmen untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. (Pewawancara: Agust G Thuru)
Comments
Post a Comment