PERISTIWA – PERISTIWA MENDEBARKAN DAN MENGHARUKAN
Peristiwa 1969
Peristiwa 1969 adalah sebuah peristiwa yang mendebarkan, terjadi di Donggo yang saat itu sebagai Stasi dari Paroki Raba Bima. Umat katolik dianiaya dan gereja di Tolonggeru, Mbawa dan Nggerukopa dibakar. Umat katolik dipaksa untuk masuk ke agama lain.
Menurut saksi sejarah Moses Pua Seda, peristiwa itu benar-benar mendebarkan. Pater Kuper,CssR nyaris dibunuh. Namun Tuhan masih melindunginya karena Moses Pua Seda dan beberapa umat katolik dapat menyelamatkannya.
Masalah itu dapat diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten Bima. Bahkan pemerintah menyediakan dana untuk membangun kembali kapela yang dibakar massa.
Rumah adat di Donggo
Sedangkan umat katolik yang dipaksa masuk agama lain dikembalikan ke pangkuan gereja Katolik atas upaya Bimas Katolik Nusa Tenggara Barat Paulus Boli.
Mgr. Dr. Paulus Sani Kleden, SVD Wafat
Tanggal 3 Januari 1961 Prefektur Apostolik Denpasar (Bali-Lombok) ditingkatkan menjadi Keuskupan Denpasar. Tahta suci mengangkat Mgr.Dr.Paulus Sani Kleden,SVD sebagai uskup Keuskupan Denpasar. Namur estela sepuluh tahun menggembalakan umat, Tuhan memanggilnya kembali ke pangkuanNya.Di tengah sidang Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI kini KWI) tanggal 28 November 1971 Mgr.Dr. Paulus Sani Kleden,SVD meninggal dunia di Jakarta. Beliau dimakamkan di Jakarta. Namun jasad Mgr. Paulus Sani Kleden kemudian dimakamkan kembali di Palasari pada tanggal 23 September 1980.
Peristiwa ‘Kulit Babi’ Raba Bima
Peristiwa kulit babi adalah peristiwa yang terjadi pada Jumat 27 September 1979. Ketika saudara-saudara umat Islam melaksanakan sholat Jumat di Mesjid Al Hikmah yang letaknya persis di belakang Gereja Katolik, umat Islam digegerkan dengan kulit babi yang diletakan di dekat mimbar imam. Temuan itu sontak menimbulkan amarah umat Islam sehingga pembakaran asrama pun tak terlehkan.
Atas peristiwa itu Kasdim Kodim Bima Kapten Samadi menangkap Moses Pua Seda dan seorang umat lainnya, juga menangkap dua anak yakni A Wahab Ismail (10 tahun) dan Saleh (6 tahun). Selama tiga bulan Moses yang waktu itu adalah karyawan sipil Kantor Polisi Bima disel dan dipaksa mengakui bahwa ia menaruh kulit babi itu di Mesjid Al-Hikmah. A.Wahab Ismail dan Saleh pun dipaksa bahwa mereka melihat Moses Pua Seda menaruh kulit babi di Mesjid.
Namun dalam kesaksian Moses dan anak-anak itu secara tegas mengatakan tidak melakukan atau melihat perbuatan Moses. Dari persidangan terungkap bahwa Kapten Samadi pada Jumat 27 September 1979 dini hari (pukul 02.00 Wita) memasuki mesjid dan menaruh kulit babi berukuran 45 cm x 30 cm yang terbungkus plastic dan diletakkan dekat mimbar tempat khatib berkotbah. Perbuatannya dilatarbelakangi oleh ketidaksukaannya pada Pangdam XVI Udayana (waktu itu) yang mengangkat Kapendam XVI Udayana Mayor E Permana diangkat menjadi Dadim Bima. Maka Samadi berusaha untuk membuat kerusuhan antar umat beragama di Bima kemudian ia tampil sebagai ‘pahlawan’ yang menyelesaikan kerusuhan itu sehingga Pangdam menilai bahwa ia berjasa dalam meredam aksi kerusuhan tersebut. Kaptem Samadi akhirnya dipenjara 20 tahun dan dipecat dari dinas militer.
Mgr. Anthon Tijisen,SVD Wafat
Tanggal 12 Januari 1973 Mgr.Antonius Tjisen,SVD diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Denpasar. Pada tahun 1981 ia mengundurkan diri dari jabatan Uskup Denpasar dengan alasan kesehatan tak memungkinkannya menjalankan tugas. Ia lalu digantikan oleh Mgr. Vitales Djebarus,SVD.Pada tanggal 7 Juni 1982 Mgr. Anton Tijsen,SVD meninggal di RKZ Vinsensius Surabaya. Jenasahnya diterbangkan ke Denpasar dan selanjutnya pada tanggal 9 Juni 1982 dimakamkan di Palasari.
Pembakaran Gereja Yohanes Pemandi Praya
Peristiwa itu terjadi pada 7 September 1998. Tanpa diketahui sebab atau apa kesalahan Gereja Katolik tiba-tiba saja ratusan orang melakukan aksi kekerasan dengan membakar Pastoran dan gudang yang saat itu difungsikan sebagai Gereja. Pastor Paroki waktu itu P. Thomas Tepho,SVD nyaris menjadi korban. Ia diselamatkan oleh seorang umat dengan cara melompat lewat tembok belakang dan digendong oleh umat lalu lari melalui persawahan. Nyaris menjadi korban juga katekis Mikael Nomite.
Sejak tahun 1998 sampai sekarang, Gereja Praya tak diijinkan lagi untuk dibangun. Umat terpaksa harus melakukan ibadah di Kodim, juga di Aula Depertemen Agama Kabupaten Lombok Tengah. Namun sejak beberapa tahun lalu umat tak bisa lagi menjalankan ibadah di kedua tempat tersebut. Sampai sekarang tak ada kegiatan perayaan ekaristi Minggu di Praya. Umat harus ke Gereja di Mataram.
Uskup Vitalis Djebarus,SVD Wafat
Tanggal 13 Januari 1981 Mgr. Vitalis Djebarus,SVD dilantik sebagai Uskup Keuskupan Denpasar menggantikan Mgr. Antonius Tijsen,SVD yang mundur karena alasan kesehatan. Sejak tahun 1996 kesehatan Mgr. Vitalis Djebarus,SVD mulai menurun.Tanggal 22 September 1998 Uskup Denpasar Mgr.Vitalis Djebarus,SVD wafat di RS Katolik Sint Carolus Jakarta. Jenasahnya diterbangkan ke Denpasar tanggal 23 September 1998 dan disemayamkan di Gereja Katolik St. Joseph Kepundung. Tanggal 24 September 1998 umat menghantarnya ke pemakaman rohaniawan di Palasari tempat dimana ia beristyirahat dengan damai.
Kerusuhan Mataram
Pada tahun 2000 terjadi peristiwa yang sangat memilukan. Pada tanggal 17 Januari 2000 terjadi kerusuhan yang berbau SARA di Mataram dimana umat kristiani dijadikan sasaran amuk masa. Sekelompok masyarakat Muslim mengadakan tablik akbar di lapangan Mataram untuk solidaritas Ambon. Pada kesempatan itu seorang penceramah memprovokasi masa dengan ceramahnya. Masyarakat yang terprovokasi itu setelah membubarkan diri mulai bergerak ke segenap penjuru kota dan melakukan kerusuhan. Bermula dari pelemparan gereja GPIB yang ada di samping kantor walikota dan pembakaran sebuah mobil yang di parkir di pinggir jalan depan gereja itu, masa bergerak menuju ke arah timur melalui jalan Pejanggik dan membakar baik gereja, pastoran dan aula Paroki Mataram. Semua bangunan dan segala perlengkapannya hangus terbakar. Umatpun mengungsi ke mana-mana untuk menyelamatkan diri. Setelah 3 hari kerusuhan yang dikenal dengan peristiwa 171 itu berhasil dikendalikan oleh aparat keamanan.
Kompleks gereja Mataram mulai dibangun kembali tgl 1 September 2002 dalam ibadat sabda yang ditandai dengan acara pemukulan gong yang dihadiri oleh pastor paroki P. Rosarius Geli, SVD, Panitia Pembangunan, para Pengurus Dewan Pastoral, para Ketua Lingkungan separoki dan tokoh-tokoh umat bertempat di aula paroki yang rusak yang berada di belakang gereja. Pembangunan gereja dimulai dengan upacara peletakan batu pertama pada pesta pelindung Paroki Maria dikandung tanpa noda yang dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 12 Desember 2004 setelah misa kudus meriah. Acara peletakan batu pertama dihadiri oleh umat dan undangan dari pemerintahan kota Mataram, walikota, kakandepag kota, dan para pimpinan lembaga keagamaan.
Dalam kata sambutannya walikota mataram mengungkapkan bahwa dia sendiri tak mendukung kegiatan tablig akbar dalam peristiwa 171 yang berbuntut perusakan beberapa tempat ibadat. Dan kehadirannya dalam upacara ini adalah wujud penghormatannya kepada semua agama. Memang gereja katolik mataram mencatat sejarah baru akan hadirnya seorang nomor satu kota mataram di kompleks gereja mataram.
Mgr. Dr. Benyamin Bria,Pr Wafat
Tanggal 18 April 2000 Paus Johanes Paulus II mengangkat Romo Benyamin Y Bria,Pr, imam praja dari Keuskupan Atambua menjadi Uskup Keuskupan Denpasar. Umat menyambutnya dengan sukacita meskipun sosok Mgr. Benyamin Belum dikenal. Selama tujuh tahun menggembalakan umat di keuskupan Denpasar, secara fisik kesehatan Mgr. Benyamin baik-baik saja. Ternyata Sejak tahun 2006 Mgr. Benyamin mengalami sakit dan karena itu iapun menjalani perawatan di RSK Sint Carolas lalu dirujuk ke RS Sint Elisabeth Singapura.Pada 18 September 2008 Mgr. Benyamin meninggal di Singapura dan jenasahnya diterbangkan ke Denpasar pada 19 September 2008. Ia disemayamkan di di Gereja Kathedral Denpasar dan ribuan umat serta para uskup datang melayat. Taggal 22 September 2008 umat menghantar Mgr. Benyamin ke Palasari dan di Taman Makam para rohaniawan Palasari yang mulia Mgr. Benyamin Bria beristirahat dalam damai.
Masalah Paroki Singaraja
Masalah paroki St. Paulus Singaraja berawal pada tahun 1996 ketika P. Yohanes Tanumiarja,SVD, pastor paroki St. Paulus Singaraja menolak untuk dipindahkan ke Paroki St. Petrus Monang Maning. Ia juga memperlihatkan sikap tidak taat pada SK maupun surat peringatan Uskup Denpasar waktu itu Mgr. Vitalis Djebarus,SVD. Dampak dari ketidaktaatan P. Yohanes Tanumiarja adalah umat terpecah menjadi dua kelompok. Yang tetap setia pada Uskup memilih menjalankan ibadat di luar Gereja jalan Kartini. Sedangkan umat yang taat pada P. Yan Tanumiarja tetap beribadat di Jalan Kartini.
Dalam perkembangannya, Uskup Denpasar mencabut yurisdiksinya dan bahkan dipecat dari keanggotaan di Serikat Sabda Allah.Meski demikian P. Yan Tanumiarja tetap bertahan di Paroki Singaraja, tidak mau pindah, dan tidak menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan masalah. Uskup Denpasar Mgr. Benyamin Bria,Pr sudah berulangkali melakukan pendekatan dengannya bahkan memintanya untuk menjadi imam praja di salah satu keuskupan di Indonesia namun hingga Uskup Benyamin wafat tak ada jawaban dari Yan Tanumiarja.
Setelah ditahbiskan sebagai Uskup Denpasar Mgr. Dr. Silvester San,Pr berulangkali melakukan pendekatan, bahkan meminta P. Yan Tanumiarja agar bersedia menjadi imam praja Keuskupan Denpasar. Namun P. Yan Tanumiarja tetap menunjukkan sikap keras kepalanya. Pada Selasa 24 Agustus 2010 ratusan umat katolik dari Denpasar mengangkut secara paksa P. Yan Tanumiarja dari Pastoran Paroki St. Paulus Singaraja untuk dikembalikan ke keluarga di Desa Tuka. Demikian juga dengan para pendukungnya terutama koster dan keluarganya yang selama ini tinggal di lingkungan Gereja St. Paulus.
Cara penyelesaian terakhir ini memang harus dilakukan sebab jika tidak, akan makin banyak umat yang statusnya secara sacramental tidak jelas. Sebab hhkum gereja (kitab hukum kanonik) tidak membolehkan seorang imam yang yurisdiksinya telah dicabut Uskup menjalankan tugas-tugas pastoral.
Peristiwa 1969 adalah sebuah peristiwa yang mendebarkan, terjadi di Donggo yang saat itu sebagai Stasi dari Paroki Raba Bima. Umat katolik dianiaya dan gereja di Tolonggeru, Mbawa dan Nggerukopa dibakar. Umat katolik dipaksa untuk masuk ke agama lain.
Menurut saksi sejarah Moses Pua Seda, peristiwa itu benar-benar mendebarkan. Pater Kuper,CssR nyaris dibunuh. Namun Tuhan masih melindunginya karena Moses Pua Seda dan beberapa umat katolik dapat menyelamatkannya.
Masalah itu dapat diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten Bima. Bahkan pemerintah menyediakan dana untuk membangun kembali kapela yang dibakar massa.
Rumah adat di Donggo
Sedangkan umat katolik yang dipaksa masuk agama lain dikembalikan ke pangkuan gereja Katolik atas upaya Bimas Katolik Nusa Tenggara Barat Paulus Boli.
Mgr. Dr. Paulus Sani Kleden, SVD Wafat
Tanggal 3 Januari 1961 Prefektur Apostolik Denpasar (Bali-Lombok) ditingkatkan menjadi Keuskupan Denpasar. Tahta suci mengangkat Mgr.Dr.Paulus Sani Kleden,SVD sebagai uskup Keuskupan Denpasar. Namur estela sepuluh tahun menggembalakan umat, Tuhan memanggilnya kembali ke pangkuanNya.Di tengah sidang Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI kini KWI) tanggal 28 November 1971 Mgr.Dr. Paulus Sani Kleden,SVD meninggal dunia di Jakarta. Beliau dimakamkan di Jakarta. Namun jasad Mgr. Paulus Sani Kleden kemudian dimakamkan kembali di Palasari pada tanggal 23 September 1980.
Peristiwa ‘Kulit Babi’ Raba Bima
Peristiwa kulit babi adalah peristiwa yang terjadi pada Jumat 27 September 1979. Ketika saudara-saudara umat Islam melaksanakan sholat Jumat di Mesjid Al Hikmah yang letaknya persis di belakang Gereja Katolik, umat Islam digegerkan dengan kulit babi yang diletakan di dekat mimbar imam. Temuan itu sontak menimbulkan amarah umat Islam sehingga pembakaran asrama pun tak terlehkan.
Atas peristiwa itu Kasdim Kodim Bima Kapten Samadi menangkap Moses Pua Seda dan seorang umat lainnya, juga menangkap dua anak yakni A Wahab Ismail (10 tahun) dan Saleh (6 tahun). Selama tiga bulan Moses yang waktu itu adalah karyawan sipil Kantor Polisi Bima disel dan dipaksa mengakui bahwa ia menaruh kulit babi itu di Mesjid Al-Hikmah. A.Wahab Ismail dan Saleh pun dipaksa bahwa mereka melihat Moses Pua Seda menaruh kulit babi di Mesjid.
Namun dalam kesaksian Moses dan anak-anak itu secara tegas mengatakan tidak melakukan atau melihat perbuatan Moses. Dari persidangan terungkap bahwa Kapten Samadi pada Jumat 27 September 1979 dini hari (pukul 02.00 Wita) memasuki mesjid dan menaruh kulit babi berukuran 45 cm x 30 cm yang terbungkus plastic dan diletakkan dekat mimbar tempat khatib berkotbah. Perbuatannya dilatarbelakangi oleh ketidaksukaannya pada Pangdam XVI Udayana (waktu itu) yang mengangkat Kapendam XVI Udayana Mayor E Permana diangkat menjadi Dadim Bima. Maka Samadi berusaha untuk membuat kerusuhan antar umat beragama di Bima kemudian ia tampil sebagai ‘pahlawan’ yang menyelesaikan kerusuhan itu sehingga Pangdam menilai bahwa ia berjasa dalam meredam aksi kerusuhan tersebut. Kaptem Samadi akhirnya dipenjara 20 tahun dan dipecat dari dinas militer.
Mgr. Anthon Tijisen,SVD Wafat
Tanggal 12 Januari 1973 Mgr.Antonius Tjisen,SVD diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Denpasar. Pada tahun 1981 ia mengundurkan diri dari jabatan Uskup Denpasar dengan alasan kesehatan tak memungkinkannya menjalankan tugas. Ia lalu digantikan oleh Mgr. Vitales Djebarus,SVD.Pada tanggal 7 Juni 1982 Mgr. Anton Tijsen,SVD meninggal di RKZ Vinsensius Surabaya. Jenasahnya diterbangkan ke Denpasar dan selanjutnya pada tanggal 9 Juni 1982 dimakamkan di Palasari.
Pembakaran Gereja Yohanes Pemandi Praya
Peristiwa itu terjadi pada 7 September 1998. Tanpa diketahui sebab atau apa kesalahan Gereja Katolik tiba-tiba saja ratusan orang melakukan aksi kekerasan dengan membakar Pastoran dan gudang yang saat itu difungsikan sebagai Gereja. Pastor Paroki waktu itu P. Thomas Tepho,SVD nyaris menjadi korban. Ia diselamatkan oleh seorang umat dengan cara melompat lewat tembok belakang dan digendong oleh umat lalu lari melalui persawahan. Nyaris menjadi korban juga katekis Mikael Nomite.
Sejak tahun 1998 sampai sekarang, Gereja Praya tak diijinkan lagi untuk dibangun. Umat terpaksa harus melakukan ibadah di Kodim, juga di Aula Depertemen Agama Kabupaten Lombok Tengah. Namun sejak beberapa tahun lalu umat tak bisa lagi menjalankan ibadah di kedua tempat tersebut. Sampai sekarang tak ada kegiatan perayaan ekaristi Minggu di Praya. Umat harus ke Gereja di Mataram.
Uskup Vitalis Djebarus,SVD Wafat
Tanggal 13 Januari 1981 Mgr. Vitalis Djebarus,SVD dilantik sebagai Uskup Keuskupan Denpasar menggantikan Mgr. Antonius Tijsen,SVD yang mundur karena alasan kesehatan. Sejak tahun 1996 kesehatan Mgr. Vitalis Djebarus,SVD mulai menurun.Tanggal 22 September 1998 Uskup Denpasar Mgr.Vitalis Djebarus,SVD wafat di RS Katolik Sint Carolus Jakarta. Jenasahnya diterbangkan ke Denpasar tanggal 23 September 1998 dan disemayamkan di Gereja Katolik St. Joseph Kepundung. Tanggal 24 September 1998 umat menghantarnya ke pemakaman rohaniawan di Palasari tempat dimana ia beristyirahat dengan damai.
Kerusuhan Mataram
Pada tahun 2000 terjadi peristiwa yang sangat memilukan. Pada tanggal 17 Januari 2000 terjadi kerusuhan yang berbau SARA di Mataram dimana umat kristiani dijadikan sasaran amuk masa. Sekelompok masyarakat Muslim mengadakan tablik akbar di lapangan Mataram untuk solidaritas Ambon. Pada kesempatan itu seorang penceramah memprovokasi masa dengan ceramahnya. Masyarakat yang terprovokasi itu setelah membubarkan diri mulai bergerak ke segenap penjuru kota dan melakukan kerusuhan. Bermula dari pelemparan gereja GPIB yang ada di samping kantor walikota dan pembakaran sebuah mobil yang di parkir di pinggir jalan depan gereja itu, masa bergerak menuju ke arah timur melalui jalan Pejanggik dan membakar baik gereja, pastoran dan aula Paroki Mataram. Semua bangunan dan segala perlengkapannya hangus terbakar. Umatpun mengungsi ke mana-mana untuk menyelamatkan diri. Setelah 3 hari kerusuhan yang dikenal dengan peristiwa 171 itu berhasil dikendalikan oleh aparat keamanan.
Kompleks gereja Mataram mulai dibangun kembali tgl 1 September 2002 dalam ibadat sabda yang ditandai dengan acara pemukulan gong yang dihadiri oleh pastor paroki P. Rosarius Geli, SVD, Panitia Pembangunan, para Pengurus Dewan Pastoral, para Ketua Lingkungan separoki dan tokoh-tokoh umat bertempat di aula paroki yang rusak yang berada di belakang gereja. Pembangunan gereja dimulai dengan upacara peletakan batu pertama pada pesta pelindung Paroki Maria dikandung tanpa noda yang dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 12 Desember 2004 setelah misa kudus meriah. Acara peletakan batu pertama dihadiri oleh umat dan undangan dari pemerintahan kota Mataram, walikota, kakandepag kota, dan para pimpinan lembaga keagamaan.
Dalam kata sambutannya walikota mataram mengungkapkan bahwa dia sendiri tak mendukung kegiatan tablig akbar dalam peristiwa 171 yang berbuntut perusakan beberapa tempat ibadat. Dan kehadirannya dalam upacara ini adalah wujud penghormatannya kepada semua agama. Memang gereja katolik mataram mencatat sejarah baru akan hadirnya seorang nomor satu kota mataram di kompleks gereja mataram.
Mgr. Dr. Benyamin Bria,Pr Wafat
Tanggal 18 April 2000 Paus Johanes Paulus II mengangkat Romo Benyamin Y Bria,Pr, imam praja dari Keuskupan Atambua menjadi Uskup Keuskupan Denpasar. Umat menyambutnya dengan sukacita meskipun sosok Mgr. Benyamin Belum dikenal. Selama tujuh tahun menggembalakan umat di keuskupan Denpasar, secara fisik kesehatan Mgr. Benyamin baik-baik saja. Ternyata Sejak tahun 2006 Mgr. Benyamin mengalami sakit dan karena itu iapun menjalani perawatan di RSK Sint Carolas lalu dirujuk ke RS Sint Elisabeth Singapura.Pada 18 September 2008 Mgr. Benyamin meninggal di Singapura dan jenasahnya diterbangkan ke Denpasar pada 19 September 2008. Ia disemayamkan di di Gereja Kathedral Denpasar dan ribuan umat serta para uskup datang melayat. Taggal 22 September 2008 umat menghantar Mgr. Benyamin ke Palasari dan di Taman Makam para rohaniawan Palasari yang mulia Mgr. Benyamin Bria beristirahat dalam damai.
Masalah Paroki Singaraja
Masalah paroki St. Paulus Singaraja berawal pada tahun 1996 ketika P. Yohanes Tanumiarja,SVD, pastor paroki St. Paulus Singaraja menolak untuk dipindahkan ke Paroki St. Petrus Monang Maning. Ia juga memperlihatkan sikap tidak taat pada SK maupun surat peringatan Uskup Denpasar waktu itu Mgr. Vitalis Djebarus,SVD. Dampak dari ketidaktaatan P. Yohanes Tanumiarja adalah umat terpecah menjadi dua kelompok. Yang tetap setia pada Uskup memilih menjalankan ibadat di luar Gereja jalan Kartini. Sedangkan umat yang taat pada P. Yan Tanumiarja tetap beribadat di Jalan Kartini.
Dalam perkembangannya, Uskup Denpasar mencabut yurisdiksinya dan bahkan dipecat dari keanggotaan di Serikat Sabda Allah.Meski demikian P. Yan Tanumiarja tetap bertahan di Paroki Singaraja, tidak mau pindah, dan tidak menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan masalah. Uskup Denpasar Mgr. Benyamin Bria,Pr sudah berulangkali melakukan pendekatan dengannya bahkan memintanya untuk menjadi imam praja di salah satu keuskupan di Indonesia namun hingga Uskup Benyamin wafat tak ada jawaban dari Yan Tanumiarja.
Setelah ditahbiskan sebagai Uskup Denpasar Mgr. Dr. Silvester San,Pr berulangkali melakukan pendekatan, bahkan meminta P. Yan Tanumiarja agar bersedia menjadi imam praja Keuskupan Denpasar. Namun P. Yan Tanumiarja tetap menunjukkan sikap keras kepalanya. Pada Selasa 24 Agustus 2010 ratusan umat katolik dari Denpasar mengangkut secara paksa P. Yan Tanumiarja dari Pastoran Paroki St. Paulus Singaraja untuk dikembalikan ke keluarga di Desa Tuka. Demikian juga dengan para pendukungnya terutama koster dan keluarganya yang selama ini tinggal di lingkungan Gereja St. Paulus.
Cara penyelesaian terakhir ini memang harus dilakukan sebab jika tidak, akan makin banyak umat yang statusnya secara sacramental tidak jelas. Sebab hhkum gereja (kitab hukum kanonik) tidak membolehkan seorang imam yang yurisdiksinya telah dicabut Uskup menjalankan tugas-tugas pastoral.
Comments
Post a Comment