MEMANCARKAN WAJAH KRISTUS MELALUI GEREJA YANG INKLUSIF DAN TRANSFORMATIF


TINJAUAN DARI PERSPEKTIF BIBLIS
(oleh Mgr. DR. Silvester San)
 
Pendahuluan
Tema Sinode III Keuskupan Denpasar: Memancarkan Wajah Kristus melalui Gereja Yang Inklusif Dan Transformatif,”bukan merupakan sesuatu yang baru, melainkan diinspirir/diilhami oleh tema-tema sebelumnya. Sinode I yang diselenggarakan tahun 2001 mengambil tema: “Memberdayakan Komunitas Basis Gerejawi Yang Inklusif Dalam Milenium Baru.” Melalui Sinode Pertama ini Gereja Katolik Keuskupan Denpasar memproklamirkan dirinya sebagai sebuah Gereja yang terbuka (inklusif), Gereja yang tidak lagi “eksklusif” yang hanya bergerak di seputar “altar,” yang hanya mengurus kepentingan umatnya. Dengan kata lain Gereja mau bergerak ke luar, ke tengah masyarakat. Kendaraan yang dipakai sebagai ujung tombak gerakan inklusif itu adalah Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Lalu, Sinode II yang digelar tahun 2006,mengambil tema: “Bertolak ke Tempat yang Dalam – Menuju Gereja yang Transformatif.” Kini Sinode III melengkapi keduanya. Jadi, tema-tema yang dicetuskan dalam tiga Sinode ini, mulai dari Sinode I hingga Sinode III, memiliki kesinambungan dalam kesatuan alur gagasan yang hendak menegaskan ke mana Keuskupan Denpasar ini diarahkan.
Dalam konteks abad 21 (mellenium baru), Gereja harus mampu menghadapi tantangan maupun perubahan yang terjadi sangat cepat, seiring arus globalisasi yang merasuki seluruh kehidupan manusia. KBG diyakini sebagai cara baru hidup menggereja pada zaman ini. Namun KBG sebagai cara baru hidup menggereja, tidak bisa bergerak sendiri dan bersifat eksklusif (tertutup). Sebaliknya KBG harus bersifat inklusif (terbuka) dengan pihak lain dan mampu terlibat dan melibatkan diri di tengah masyarakat yang multikultural dan sangat heterogen. Karena itu, sangat keras bergaung dalam Sinode I bahwa pembentukan KBG sebagai basis kerasulan dengan jumlah anggotanya yang relatif kecil dan terbatas itu, bukan sekedar kelompok yang berhenti pada doa bersama dan pendalaman Kitab Suci. Tetapi lebih dari itu, KBG harus menjadi komunitas yang “membumikan” isi doa dan Sabda dalam Kitab Suci, menjadi komunitas perjuangan, komunitas pemberdayaan demi perubahan, baik Gereja itu sendiri maupun lingkungan sosial yang lebih luas. KBG harus menyentuh sampai pada bidang lain, yaitu bidang sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya.
Memasuki Sinode II, Gereja Keuskupan Denpasar yang telah menegaskan kehadirannya di tengah masyarakat melalui KBG, berusaha agar Keuskupan Denpasar ini “lebih dalam” lagi menebarkan jalanya di tengah kehidupan bersama masyarakat lain. Dengan tema: “Bertolak ke Tempat yang Dalam-Menuju Gereja yang Transformatif,” Gereja Keuskupan Denpasar memiliki cita-cita agar KBG-KBG yang sudah ada harus tetap memiliki makna penting di tengah masyarakat, sehingga kehadiran Gereja membawa sebuah perubahan yang lebih baik (transformatif).
Setelah melalui proses pembentukan dan pemberdayaan KBG yang inklusif (Sinode I), dan setelah Sinode II KBG semakin “bertolak ke tempat yang dalam” menuju Gereja yang transformatif, maka pada Sinode III ini, Gereja Keuskupan Denpasar hendak memancarkan “Wajah Kristus” (Kristus sebagai kepala Gereja) – tentu wajah yang penuh simpatik oleh karena kemurahan hatinya, kelemahlembutannya, belas kasihnya, kerahimannya solidaritasnya, toleransi serta kemuliaan sikap-sikapnya yang tidak habis bisa kita sebutkan, yang diperuntukkan bagi semua orang tanpa pandang bulu. Keutamaan-keutamaan Yesus ini yang hendak kita pancarkan ke tengah masyarakat dengan kesiapan kita membuka diri (terbuka) bagi siapa saja tanpa mengkotak-kotakkan. Nilai-nilai Kristiani yang kita bawa kiranya berdampak positif dengan membawa perubahan ke arah lebih baik (transformatif) dalam kehidupan. Tema Sinode III juga dilatarbelakangi pula oleh hasil SAGKI 2010 yang berbicara juga mengenai Wajah Yesus yang hadir di tengah keberagaman budaya, dialog dengan agama dan kepercayaan lain serta pergumulan hidup kaum terpinggirkan.

Dasar Biblis
Dari tema Sinode III ini akan dikemukakan 3 hal pokok dengan dasar biblisnya secara singkat, yang kiranya memberikan input dan inspirasi bagi diskusi-diskusi kita selanjutnya.

Memancarkan – Mewartakan 
Memancarkan Wajah Yesus erat kaitannya dengan pewartaan Gereja. Memang Gereja perlu membangun persaudaraan dan persekutuan ke dalam, yang disebut komunio. Tetapi komunio baru bermakna kalau Gereja mampu melaksanakan tugas perutusan atau missio. Dalam perutusan itu Gereja mempunyai tugas utama untuk mewartakan, sesuai dengan perintah Kristus sebelum naik ke surga: “… pergilah, jadikanlah segala bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:16-20). Perintah Kristus ini menjadi dasar perutusan Gereja. Oleh karena itu pewartaan menjadi bagian penting dan utama dalam tugas perutusan Gereja di dunia. Para Rasul mengangkat diakon agar tugas pewartaan mereka tidak terlalaikan (bdk. Kis. 6:2). Bahkan bagi St. Paulus karya pewartaan memiliki tempat yang utama dan penting, sehingga dia berkata: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9:16).
Pewartaan Injil itu harus dilaksanakan karena Gereja menyadari pentingnya pewartaan bagi muncul dan berkembangnya iman. Kepada umat di Roma St. Paulus menulis: “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus” (Rom. 10:17). Hal yang sama ditegaskan lagi oleh St. Paulus demikian: “Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakanNya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakanNya, jika mereka tidak diutus” (Rom. 10:14-15).
Kesadaran Gereja akan pentingnya karya pewartaan itu berlanjut. Paus Paulus VI dalam ajakan Apostolik Evangelii Nuntiandi menulis: Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil….” (EN. Art. 14). Demikian juga kesadaran Gereja akan pentingnya pewartaan terungkap dalam Kitab Hukum Kanonik: “Kepada Gereja dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman agar Gereja dengan bantuan Roh Kudus menjaga tanpa cela kebenaran yang diwahyukan, menyelidikinya secara lebih mendalam, mewartakandan menjelaskannya dengan setia.” (KHK Kan. 747 $ 1).

Wajah Kristus 
Ada aneka wajah atau gambaran tentang Kristus yang lahir dari pengalaman dan pemikiran manusia yang mengenalNya. Injil Sinoptik menceriterakan aneka gambaran Yesus Kristus tersebut (Mat. 16:13-16; Mrk. 8:27-30; Luk. 9:18-21). Kita membaca teks Mat. 16:13-16.
Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-muridNya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus bertanya kepada mereka” “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”
Siapakah Anak Manusia itu? Pertanyaan ini bergema segala abad dan jawabannya pun bervariasi di setiap zaman. Tiada tokoh yang begitu mempesona dunia dan sedemikian kontroversial seperti Yesus Kristus. Ada begitu banyak ide dan pikiran mulia yang mendorong banyak orang untuk mengagumi, mengikuti dan mengimani Dia, namun ada juga yang berniat meredusir hakekat Yesus Kristus ke dalam dimensi horisontal belaka dan dengan demikian menghindarkan banyak orang dari Yesus.
Jawaban para murid atas pertanyaan pertama dari Yesus “kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” bersifat copy paste dalam arti mengutip atau mengulang kembali opini yang beredar di publik saat itu. Jawaban murid-murid atas pertanyaan pertama dari Yesus lebih bersifat informatif. Jawaban para murid atas pertanyaan kedua dari Yesus “tetapi, apa katamu, siapakah Aku ini?” bersifat metafisis dalam arti Petrus melihat melampaui: dengan mata iman Petrus melihat dan menemukan bahwa Yesus itu Mesias dan Anak Allah Yang Hidup. Jawaban Petrus atas pertanyaan kedua dari Yesus lebih bersifat kontemplatif. Pengakuan iman Petrus ini adalah juga pengakuan iman Gereja sepanjang masa. Marilah kita melihat jawaban para murid atas kedua pertanyaan itu.

Kata orang, siapakah Anak manusia ini?
Kata orang (orang Yahudi): Yesus adalah Yohanes Pembaptis, Yesus adalah Elia, Yesus adalah Yeremia, Yesus adalah salah seorang nabi. Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia adalah figur-figur berwibawa dan besar dalam sejarah keselamatan Israel. Yohanes Pembaptis mempersiapkan kedatangan Mesias. Elia membela iman akan Yahwe, Allah Israel dengan mematahkan supremasi Baal yang didukung oleh raja Ahab dan ratu Izebel. Yeremia meramalkan pembuangan bangsa Israel ke Babel bila Israel tidak bertobat. Kehebatan dan kebesaran itu yang dilihat oleh mata umat Yahudi. Dari sebab itu orang Yahudi menyamakan Yesus dengan mereka karena Yesus berkata dan bertindak dengan penuh wibawa seperti mereka.
Kehebatan Yesus itu pula diakui oleh orang-orang modern-sekular namun ke-Mesias-an dan ke-Allah-an Yesus Kristus justru tidak dilihat oleh mata iman orang Yahudi dan orang modern-sekular. Jadi boleh dikatakan baik kaum Yahudi maupun kaum  sekular sama-sama menegaskan “Yesus itu manusia unggul”, tetapi Yesus itu bukan Mesias dan Anak Allah Yang Hidup.”
  1. Menurut Kaum Yahudi anti Kristus, Yesus Kristus adalah seorang manusia aneh dan sesat sebab Dia itu “pelahap, peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa” (Mat 11:19), seorang yang tidak waras (Mrk 3:21), seorang penghujat Allah (Mrk 14:64), seorang penyesat (Mat 27:63). Sikap permusuhan itu sebegitu hebat sampai para anti Kristus itu mengatakan dalam Toledoth Jeshu (Sejarah tentang Yesus): “Yesus adalah putera ilegal Maria dan seorang serdadu romawi.”
  2. Menurut kaum pemikir Yahudi, Yesus itu pribadi yang luar biasa (kaya ide dan pengetahuan) seperti tertulis dalam Perjanjian Baru. DiriNya begitu “komplit” sehingga orang Yahudi berani berkata apa saja tentang Yesus sejauh kesanggupan melihat mereka. Namun hidup Yesus berakhir di salib. Inilah skandal besar yang merintangi kaum Yahudi untuk mengakui Yesus sebagai Putera Allah. Dia hebat, namun bukan Allah.
  3. Menurut Kaum Humanis sekular (K. Jaspers), bersama dengan Socrates, Buddha dan Confusius, Yesus masuk dalam kategori manusia normatif  terbesar. Keempat orang ini memiliki kesamaan: cintakasih universal, bebas dari keinginan duniawi, mengenal keheningan, berani menghadapi kematian demi sebuah kebenaran. Namun keistimewaan Yesus ialah mengasihi tanpa batas termasuk para musuh. Bagi mereka, walaupun ada keistimewaan, Yesus bukan Mesias, bukan pula Anak Allah seperti yang dipercayai dan diberitakan oleh orang Kristen berdasarkan apa yang tersurat di dalam Alkitab. Orang Kristen telah menjadikan Yesus Allah dan menyembah Dia. Menurut mereka, mengilahikan dan menyembah Dia, adalah hal yang sesungguhnya sangat tak disukai oleh Yesus.
Kesulitan yang dialami manusia sekular berhadapan dengan kristianisme ialah bagaimana mungkin seorang manusia (Yesus) bisa menjadi Allah. Kesulitan manusia humanis sekular ini disebut oleh Kierkegaard sebagai “skandal iman.” Dilema seorang manusia humanis sekular di hadapan Kristus adalah “ indiferen atau percaya.”
  1. Kata kaum Marxis, “Andaikata Yesus hidup di zaman ini, mungkin saja semua kategori perwajahan tak cocok untuk Dia. Besar kemungkinan kategori yang cocok baginya adalah Yesus itu figur  ateis sejati” (D. Sölle). Yesus adalah model manusia baru yang bebas dari siapa dan apa saja sambil mengajarkan manusia untuk menentang setiap otoritas dunia yang mengekang kebebasan. Yesus itu bukan anak domba penurut melainkan seorang revolusioner atau pendobrak yang datang untuk membawa api dan pedang. Oleh sebab itu Jesus is a rebel of love. Dia telah melakukan dedikasi total kepada sesama teristimewa mereka yang susah dan menderita, lemah dan tertindas.
  2. Menurut kaum antiborjuis, Yesus itu anti kemapanan. Gereja telah menjadikan Yesus yang santai dan rileks sebagai seorang borjuis sempurna: beri banyak gelar dan kehormatan kepada Yesus; Gereja menjadikan Yesus seorang  aristokrat “putera Allah” yang duduk di samping kanan Allah Yang Mahakuasa. Padahal, Yesus sesungguhnya seorang pemberontak, seorang revolusioner dalam soal tata religius dan moral yang membelenggu kesejatian hidup manusia; Yesus adalah seorang “yang bertingkahlaku mendobrak” norma moral dan religius yang munafik dan mapan dalam insitusi-institusi bergaya elit.
Kelompok antiborjuis menggambarkan Yesus sebagai sang superstar dan seorang hyppy. Gaya hidup Yesus menjadi sebuah kritikan keras terhadap mentalitas aristokrat  yang berfoya-foya dalam kemapanan. Yesus adalah manusia yang bebas dari apa saja. Yesus seperti Buddha, Socrates dan Confusius berjalan ke mana saja, hanya dengan bawaan ringan saja dan selalu siap untuk membantu orang lain. Ajarannya adalah ‘hiduplah secara sederhana. Kembalilah ke alam. Yesus hanya seorang manusia saja. Dia bukan Allah. Nyatanya Ia disalibkan. Allah membiarkan diriNya disalibkan. Yesus itu hanyalah manusia biasa saja, dan tentu seorang “manusia normatif” seperti Buddha, Socrates dan Confusius.

“Tetapi apa katamu: siapakah Aku ini?”
Orang lain boleh berkata ini dan itu tentang Aku, tetapi hai para murid“apa katamu”? Esensi dari pertanyaan ini ialah: pengenalan dan pengalaman pribadi serta penemuan pribadi Petrus dan kawan-kawan berkaitan dengan Yesus, Sang Guru.
Pertanyaan Yesus itu disampaikan menjelang momen krusial yakni saat mendekatnyaperistiwa salib. Hidup Yesus itu via crucis (jalan salib), menempuh jalan salib. Sebelum memasuki peristiwa salib itu Yesus mau mengecek apakah ada orang yang mengenal siapa DiriNya? Bila ada yang mengenal diriNya, itu pertanda karyaNya akan terus berlangsung sepanjang masa, dan kalau orang tidak mengenal DiriNya, itu pertanda karyaNya akan menjadi sia-sia.
Petrus atas nama rekan-rekannya menyimpulkan sesuatu yang melampaui segala kategori: “Engkaulah Mesias, Anak Allah Yang Hidup” – Yesus adalah Mesias, Yesus adalah Tuhan dan Yesus adalah Anak Allah.Penemuan Petrus akan hakekat Yesus Kristus itu tidak didasarkan pada informasi melainkan kontemplasi; bukan didasarkan pada “kata orang” melainkan pengalaman pribadi Petrus dengan Yesus, pertemuan pribadi Petrus dengan Yesus, percakapan pribadi Petrus dengan Yesus. Singkat kata: melihat Yesus, mengenal Yesus, mengalami Yesus (internal) dan memancarkan Wajah Yesus (eksternal). Meskipun kita tahu bahwa kemudian Petrus mengenal Yesus hanya sebagai Mesias politik yang jaya, Mesias raja yang akan mengusir penjajah Romawi dari bumi Israel. Maka ketika Yesus meramalkan tentang penderitaan dan kematianNya, Petrus menolak ramalan itu.
Namun demikian, Petrus telah melihat Yesus dan mewartakan penemuannya itu: “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup.” Petrus mewartakan apa yang ia lihat dan apa yang ia alami. Petrus mewartakan Yesus yang dikontemplasikannya dengan mata iman dan bukan Yesus yang diinformasikan kepadanya. Pertanyaan untuk kita: Apakah para pewarta, kita semua melihat, menemukan dan mengalami Kristus? Wajah Kristus macam mana yang kita temukan dalam doa, meditasi dan kontemplasi? Wajah Kristus yang dilihat dan dialami itulah yang kita beritakan, wartakan, katakan atau pancarkan kepada orang banyak. Menurut Paus Paulus VI: Yesus Kristus dan InjilNya harus diwartakan terutama melalui kesaksian hidup.

Inklusif dan Transformatif 
Situasi keanekaragaman bukan hanya terjadi di zaman ini tetapi terjadi pula sejak zaman Yesus. Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati(Luk 10-25-37) mengundang kita untuk memahami ajaran Yesus tentang bagaimana kita harus bertindak dan mengasihi sesama dengan benar tanpa membeda-bedakan. Masyarakat di zaman kita yang beranekaragam ini mudah dikotak-kotakkan berdasarkan agama, etnis, kedudukan, status sosial, kekayaan, pendidikan dan sebagainya. Situasi terkotak-kotak tersebut kerapkali membuat orang cenderung bertanya siapa lawan dan siapa kawan, serta dalam komunikasi menjadi tidak tulus karena selalu ada prasangka negatif. Dengan perumpamaan itu Yesus mengajak kita keluar dari pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?’ dan beralih ke pertanyaan “Bagaimana aku dapat menjadi sesama?”Bagi kita, semua manusia adalah sesama. Yang lebih penting adalah mencari cara agar kita dapat menjadi sesama yang baik bagi yang lain tanpa pandang bulu.
Teks biblis “perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati”mengandung unsur inklusif (orang Samaria menolong orang yang tidak dikenalnya sama sekali dan tidak peduli dari golongan mana, statusnya seperti apa, bahkan dia juga tidak peduli yang ditolong itu orang baik atau orang jahat) dan ada unsur transformatif (dengan perumpamaan itu Yesus mengajak kita keluar dari pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?’ dan beralih ke pertanyaan “Bagaimana aku dapat menjadi sesama?”. Orang Samaria adalah sosok yang memancarkan wajah Kristus yang penuh belas kasih terhadap sesamanya tanpa membeda-bedakan.

Dialog Awal
Perumpamaan diawali dengan dialog antara seorang Ahli Taurat dengan Yesus. Ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup kekal. Pertanyaan ini aneh karena dilontarkan oleh seorang Ahli Hukum Taurat. Bukankah Hukum Taurat sudah menjelaskan hal itu? Injil menjelaskan bahwa Ahli Taurat tersebut ingin mencobai Yesus (ayat 25).Apakah Ahli Taurat ini ingin mengajak Yesus beradu argumen? Mungkin pula dia sedang mencari-cari kesalahan atau sekedar menguji pengetahuan Yesus tentang Hukum Taurat.
Tanggapan Yesus cukup mengejutkan baginya. Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan tetapi balik bertanya kepadanya tentang perintah dasariah dari Hukum Taurat untuk memperoleh hidup kekal. Tentu saja Ahli Taurat itu dapat menjawabnya dengan mudah, katanya, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ahli Taurat itu dapat menjawab sendiri pertanyaannya dan jawabannya benar. Memang mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama merupakan dasar utama dari Hukum Taurat, bahkan menjadi inti ajaran agama Yahudi. Kedua perintah tersebut merupakan gabungan dari Ul. 6:5 (kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu) dan Im. 19:18 (kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri). Ahli Taurat dapat menyebut dengan benar syarat untuk memperoleh hidup kekal, tetapi mengapa masih bertanya? Bukankah Ahli Taurat itu tinggal melaksanakan apa yang sudah diketahuinya? Karena itu, Yesus berkata kepadanya, jawabmu itu benar, perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup”. Dengan lihainya Yesus memaksa dia untuk menjawab sendiri pertanyaan. Niatnya untuk mencobai Yesus ketahuan karena terbukti dia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya.
Ahli Taurat itu kemudian berupaya membenarkan dirinya. Ungkapan membenarkan diri bisa berarti mau menutup rasa malu. Untuk membenarkan dirinya, ia menanyakan definisi kata sesama. Siapakah sesamaku manusia? (ay 29). Kali ini ia yakin bahwa Yesus akan kesulitan menjawabnya. Definisi sesama di dalam teks ini menerjemahkan kata Yunani plesion yang berarti orang dekat. Ada berbagai pendapat yang berbeda tentang kriteria sesama. Bagi kita jawabannya jelas, sesama manusia adalah manusia. Namun, bagi orang Yahudi pada waktu itu ada manusia yang dapat disebut sesama, ada yang bukan sesama, bergantung status, kondisi dan relasinya dengan mereka.
Yang biasanya dianggap sesama oleh orang Yahudi pada waktu itu adalah mereka yang sebangsa atau sesuku. Meskipun begitu, kaum Farisi dan komunitas Eseni mempersempit definisi sesama hanya pada kelompok mereka sendiri. Bagi kaum Farisi, orang di luar kelompoknya dianggap sebagai anak negeri (am ha-ares) atau orang kebanyakan. Demikian pula kaum Eseni yang hidup dalam komunitas di pinggir Laut Mati, menganggap mereka yang ada di luar komunitasnya sebagai “anak-anak kegelapan”. Orang Yahudi pada umumnya tidak menganggap orang-orang Samaria dan bangsa asing sebagai sesama. Di kalangan masyarakat Yahudi sendiri ada orang banyak yang tidak dianggap sesama, antara lain: para pemungut cukai, kaum pendosa, dan orang kusta. Definisi sesama ini menjadi semakin rumit karena ditentukan pula menurut ukuran kawan dan lawan. Semua yang dianggap lawan, meskipun itu rekan sebangsanya, tidak dianggap sebagai sesama. Cara pandang yang rumit dan tidak konsisten inilah yang melatarbelakangi persoalan tentang sesama.
Bagi Yesus sendiri, sama dengan definisi menurut kita sekarang, semua manusia adalah sesama. Meskipun begitu, pendapat tersebut menimbulkan persoalan jika diajarkan begitu saja. Misalnya ada pertanyaan, apakah bangsa Romawi yang penjajah itu dapat disebut sebagaisesama orang Yahudi atau tidak? Jawaban “ya” atau “tidak” sama-sama membawa resiko. Jika dijawab “ya” pasti akan dianggap antek penjajah, jika dijawab “tidak” bisa dituduh anti Roma. Bisa jadi muncul ketegangan yang tiba-tiba ketika Ahli Taurat tersebut menanyakan “Siapakah sesamaku manusia?”. Ahli Taurat dan para pendengar Yesus tentu ingin mendengar apa jawabannya

Perumpamaan
Untuk menanggapi pertanyaan kedua, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan. Pada suatu hari ada seorang yang turun dari Yerusalem ke Yeriko. Tidak dijelaskan siapa orang itu. Jalan dari Yerusalem ke Yeriko menurun sekitar 1000 meter, panjangnya sekitar 27 km, melewati padang gurun dan bukit-bukit karang. Jalan yang sepi itu membahayakan karena ada banyak penyamun yang mencari mangsa. Bukan hal baru bila ada orang yang dirampok di jalan yang berbahaya itu. Perampok rupanya merampok orang itu habis-habisan, menyiksanya dan meninggalkannya setengah mati. Jika tidak ada yang menolongnya, kemungkinan orang itu akan benar-benar menemui ajalnya. Siapakah yang akan menolongnya

Seorang Imam dan Seorang Lewi
Tiba-tiba lewat seorang Lewi di jalan itu (ay 31). Dia melihat orang yang tergeletak di pinggir jalan, tetapi tidak menolongnya. Dia justru melewatinya dari seberang jalan, berarti berupaya untuk menghindarinya sejauh mungkin. Hal yang sama dilakukan oleh seorang Lewi yang sedang turun dari Yerusalem dan melewati jalan itu (ay 32). Diapun melihat orang yang dirampok, tetapi melewatinya dari seberang jalan.
Para imam dan kaum Lewi adalah tokoh-tokoh agamawan yang berpusat di Yerusalem. Merekalah pelaksana upacara kurban dan berbagai liturgi di Bait Allah. Mungkin imam dan orang lewi itu hendak pulang ke rumah mereka di Yerikho setelah selesai bertugas di Bait Allah Yerusalem. Pada waktu itu banyak imam dan kaum Lewi yang bertempat tinggal di Yerikho meskipun tugas pelayanan mereka di Yerusalem. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kedua tokoh agama itu tidak mau menolong orang yang dirampok? Tidak ada penjelasan di dalam teks. Pada umumnya ditafsirkan bahwa mereka terikat pada hukum ketahiran sehingga tidak boleh menyentuh barang najis. Mungkin mengira orang itu sudah mati. Menurut Kitab Bilangan (Bil 19:11-19) orang yang menyentuh (tersentuh) mayat dianggap najis selama tujuh hari (bdk. Bil. 19:16). Para imam dan Lewi tidak boleh melayani ibadat dalam keadaan najis.Mereka harus bersentuhan dengan barang-barang kudus di Bait Allah sehingga wajib menjaga ketahiran. Mungkin karena alasan itulah mereka tidak memberikan pertolongan. Begitu melihat orang itu, mereka justru melewatinya dari seberang jalan (menghindar sejauh mungkin supaya tidak najis).
Sikap serta tindakan imam dan orang Lewi itu menggambarkan orang-orang yang terhambat untuk menolong sesama karena alasan tugas dan status mereka. Sebenarnya kejadian tersebut dapat disebut ironi karena mereka adalah tokoh-tokoh agama yang seharusnya bisa memberi contoh dalam berbuat kebajikan. Namun, karena berpegang secara kaku pada tuntutan menjaga ketahiran, mereka kehilangan kepekaan hati pada orang menderita yang membutuhkan pertolongan. Jika ada kemauan dan masih mempunyai kepekaan hati, sebenarnya imam dan orang Lewi itu bisa saja menolongnya. Seandainya orang yang dirampok itu sudah menjadi mayat dan menyebabkan keduanya najis, toh mereka masih bisa melakukan pentahiran diri dari kenajisan seperti yang diatur dalam Kitab Bil. 19:11-19. Walaupun, mereka harus merepotkan diri dengan upacara pentahiran yang memakan waktu tujuh hari. Apa artinya menjadi najis selama tujuh hari demi suatu keutamaan belas kasih? Rupanya mereka memilih membungkam suara hati daripada merepotkan diri.

Seorang Samaria
Pilihan sikap dari imam dan orang Lewi dilawankan secara ekstrim dengan sikap dan tindakan seorang Samaria yang lewat di jalan itu. Yesus mengambil tokoh penolong adalah orang Samaria, kelompok yang dipandang hina bahkan dianggap kaum Kafir oleh orang Yahudi. Mereka dipandang hina bukan karena jahat tetapi karena keturunan bangsa campuran Israel-Asyur. Karena sudah tidak murni berdarah keturunan Abraham, mereka digolongkan sebagai bangsa Kafir. Jelas bahwa orang Samaria tidak dianggap sesama oleh orang Yahudi. Namun,justru orang yang dianggap rendah itu mempunyai hati untuk menolong orang yang dirampok. Dia tidak terhambat oleh peraturan agama; misinya adalah murni misi kemanusiaan. Ketika melihat orang yang dirampok itu tergeletak tak berdaya di pinggir jalan, rasa kemanusiaaanya tersentuh. Dia memandang korban sebagai sesama manusia. Sebenarnya tindakannya penuh resiko. Ketika dia mendekati orang yang dirampok itu, bisa jadi para penyamun masih ada di sekitar itu dan siap menyergapnya sebagai korban berikutnya. Namun, itu semua bukan alasan baginya untuk tidak memberi pertolongan. Rasa kemanusiaan lebih kuat dari pada sekat-sekat yang diciptakan oleh agama. Rasa kemanusiaan juga lebih membuatnya berani mengabaikan rasa takut akan bahaya.
Tindakan orang Samaria dalam menolong korban digambarkan secara rinci di dalam perumpamaan ini (ay. 33-35). Ketika sampai di tempat itu, dia melihat orang yang dirampok itu tergeletak setengah mati di pinggir jalan. Hatinya tergerak oleh belaskasihan, kemudian ia mendekatinya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, membalut luka-lukanya, menaikkan orang itu ke atas keledainya, membawanya ke tempat penginapandan merawatnya. Dia memberi pertolongan pertama dengan memberi minyak dan anggur, yang pada zaman sekarang serupa dengan salep dan antiseptik (penangkal infeksi). Karena si korban tidak dapat berjalan, orang Samaria itu menaikkannya ke atas keledainya sendiri. Itu berarti dia harus rela berjalan kaki sambil menuntun keledainya menuju ke penginapan. Sesampainya di penginapan, orang Samaria itu masih menunjukkan kebaikan hatinya dengan merawat si sakit. Akan tetapi dia rupanya ingat bahwa ia harus segera pergi untuk urusan tertentu. Karena ketulusan hatinya yang luar biasa, orang Samaria itu menyerahkan perawatan si sakit kepada pemilik rumah penginapan. Dia rela mengeluarkan uang pribadinya untuk pengganti biayanya. Uang dua dinar yang diserahkan kepada pemilik penginapan itu senilai dengan upah pekerja selama dua hari. Jika masih ada kekurangan, orang Samaria itu akan menggantinya setelah urusan bisnisnya selesai.
Rasanya lengkap sudah gambaran kebaikan orang Samaria itu. Dia melakukan pertolongan yang tulus dari awal sampai akhir, bukan demi tujuan pribadi melainkan karena belaskasihan. Orang Samaria itu bukan hanya rela meluangkan waktu dan tenaganya, tetapi juga rela mengeluarkan hartanya. Dia menolong tanpa membeda-bedakan siapa yang ditolong. Tampilnya orang Samaria yang menolong tanpa mempersoalkan “Siapakah sesamaku” merupakan sindiran tajam terhadap Ahli Taurat itu. Secara tidak langsung Yesus menjelaskan bahwa semua orang adalah sesama, sama seperti cara pandang orang Samaria itu. Mereka yang dipandang kaum agamawan oleh orang yahudi justru tidak menolong, sedangkan orang yang mereka anggap rendah justru mempunyai hati untuk menolong orang yang dirampok.

Dialog Akhir
Setelah selesai memberi perumpamaan, Yesus mengajukan pertanyaan yang tidak terduga:Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? (Ay 36). Dia tidak menarik suatu kesimpulan apapun, tetapi membiarkan Ahli Taurat itu membuat kesimpulannya sendiri. Tentu saja yang pantas disebut sesama adalah orang Samaria. Namun, dia tidak berani menyebutnya terus terang, hanya mengatakan bahwa sesama dari orang yang dirampok itu adalah “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (Ay. 37). Persis, jawaban itulah yang ditunggu oleh Yesus. Yang lebih penting bukan menanyakan “siapakah sesamaku manusia?, tetapi bagaimana aku dapat menjadi sesama bagi yang lain, seperti orang Samaria itu. Orang Samaria itu adalah teladan dari orang yang mampu bertindak sebagai sesama bagi orang lain. Dari tindakannya jelas orang Samaria itu menganggap semua orang sebagai sesama. Yesus memberi contoh bagaimana menjadi sesama bagi yang lain (seperti yang dilakukan oleh orang Samaria itu), sekaligus memberi jawaban secara tidak langsung bahwa semua orang adalah sesama (seperti cara pandang orang Samaria itu). Yang disebut sesama bukanlah “obyek yang harus dikasihi” tetapi sebagai”subyek yang harus mengasihi”. Dengan amat pandai Yesus membelokkan persoalan. AjaranNya tersampaikan jelas, tanpa resiko apapun.

Membangun Gereja yang Inklusif dan Transformatif
Perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati sungguh-sungguh mewakili situasi Gereja Lokal Keukupan Denpasar yang diwarnai keanekaragaman dan sebagian umatnya masih hidup dalam kemiskinan –sesuai hasil penelitian dengan metode Focus Group Discussion (FGD).Gereja Keuskupan Denpasar menyadari kehidupannya di tengah-tengah keanekaragaman agama, suku, adat istiadat dan kebudayaan. Situasi keanekaragaman bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan bila tidak dikelola dengan baik. Keanekaragaman bisa menjadi pemicu konflik dan perpecahan. Namun keanekaragaman bisa menciptakan hal yang indah, apabila masing-masing mampu menjunjung tinggi asas toleransi, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Pengelolaan berbagai perbedaan pada intinya harus dimulai dengan niat baik dari semua pihak, dan selain itu hendaknya kenyataan pluralitas ini dilihat sebagai anugerah dan berkat Tuhan sehingga tidak perlu dipertentangkan. Bila kita beranjak dari pola pikir positif ini, yakinlah bahwa perbedaan-perbedaan menjadi sesuatu yang indah, sesuatu yang dapat saling memperkaya, menjadi modal untuk membangun serta mampu menghadirkan keharmonisanhidup. Seperti taman bunga menjadi tampak indah karena terdiri dari beragam-ragam jenis bunga. “Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm 145:9)
Menyadari potensi konflik di tengah perbedaan ini, Gereja katolik, selain harus membangun suatu kerja sama yang dialogis dan harmonis dengan semua umat beragama, juga harus mampu mengakomodir etnis-etnis yang ada sebagai kekuatan untuk menopang berdiri tegaknya Gereja dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini kita perlu mendengar nasihat Paulus yang menghimbau Jemaat Korintus yang minoritas dan heterogen (situasi ini identik dengan Gereja Keuskupan Denpasar), supaya bersatu. Di sana ada kelompok Paulus, Apolos, Kefas dan lain-lain. Karena terdiri dari beberapa kelompok maka sering terjadi kompetisi antarkelompok yang menjurus pada konflik dan perpecahan. Dalam situasi itu Paulus menghimbau untuk bersatu: “Aku (Paulus) yang menanam, Apolos yang menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan”. Baik Paulus maupun Apolos adalah rekan-rekan sekerja Allah yang harus bekerja keras untuk pertumbuhan jemaat. Paulus juga menggambarkan jika di hati masih ada iri hati dan perselisihan, maka jemaat itu digolongkan sebagai manusia-manusia duniawi yang bukan rohani (I Kor 3:1-7)
Menyadari keanekaragamini, maka suatu keharusan pula bagi Gereja Katolik di wilayah ini untuk membangun image sebagai komunitas yang inklusif . Dalam hal ini Gereja sadar berada dalam masyarakat yang heterogen, sehingga tidak bisa menutup diri dan harus membangun kerja sama lintas agama dan lintas kelompok. Mengutip pernyataan Mgr. Benyamin Bria dalam buku “Melintasi Sekat-Sekat perbedaan” dikatakan: “Saat ini bukan zamannya lagi untuk bekerja sendirian. Juga bukan zamannya lagi untuk hidup sebagai kelompok yang eksklusif atau tertutup untuk dunia luar. Banyak masalah hanya dapat diatasi dan diselesaikan kalau orang terbuka terhadap orang lain dan bersedia bekerja sama dalam semangat solidaritas dengan mereka”. Dengan pernyataan ini kita disadarkan terus menerus betapa pentingnya Gereja Katolik harus membuka diri di tengah kehidupan masyarakat.
Sadar kita hidup di tengah pluralitas, maka penting pula untuk membangun semangat dialog, baik itu melalui dialog kehidupan maupun dialog karya. Menghadapi kenyataan keanekaragaman agama, Konsili Vatikan II menganjurkan dialog dan kerjasama antarpemeluk agama yang berbeda: “...... Gereja mengajak putra-putrinya, agar dengan bijaksana dan cinta kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan penganut agama-agama lain, memberikan kesaksian iman dan kehidupan Kristen, lalu mengakui, mengabdi dan memajukan hal-hal baik di bidang rohani dan moral demikian pula nilai-nilai sosio kultural yang terdapat pada mereka” (Nostra Aetate no 2. Baca juga Redemptoris Missio no. 56).
Supaya dialog dengan agama-agama lain membawa hasil yang memuaskan setiap pihak, maka perlu memperhatikan norma-norma dialog:

·    Dialog bermula apabila manusia saling bertemu
Yang menjadi pusat perhatian dalam dialog adalah manusia dari agama lain sebagai partner, sebagai pribadi dan bukan sistem atau ajaran abstrak, teoritis dan tanpa relasi pribadi. Menerima partner dialog dari agama lain tanpa prasyarat, prasangka dan tidak mengkotakkan dia sebagai penganut agama tertentu. Prasyarat dialog semacam ini adalah: menghargai, menghormati cara berpikir dan konteks berpikir dari pihak lain, menghargai dan menghormati manusia lain sebagai manusia beriman.

·      Dialog hanya dapat berhasil atas dasar saling pengertian dan saling percaya
Melalui dialog akan tersingkir salah pengertian dan sebaliknya terjalin rasa persahabatan dan persudaraan. Maka perlu dijaga bahwa di dalam dialog ucapan-ucapan yang berbau merendahkan pihak lain, yang bersifat agresif untuk menyerang harus dihindari. Lewat saling pengertian dan saling percaya kita dapat mengatasi tembok yang sudah berabad-abad dibangun dan diwariskan, dan dengan itu kita belajar untuk memahami realitashidup agama lain, sehingga terciptalah satu hidup bersama yang bukan hanya disamping yang lain, tetapi hidup bersama dengan dan demi yang lain.

·      Dialog hanya dapat berhasil, apabila apologetisme dan sikap mau benar sendiri dihilangkan (perlu sikap toleransi)
Dalam perjumpaan dengan manusia dari agama lain, di satu pihak sikap absolutisme (yang menganggap sendiri memiliki kebenaran sedangkan pihak lain tidak) harus dihindarkan. Juga tidak diperkenankan hanya sekedar mempertahankan posisi yang eksklusivistis dan rasa superioritas. Di pihak lain, dialog tidak boleh menghantar orang kepada pandangan relativisme, pluralisme murahan, indeferentisme, liberalisme palsu dan toleransi palsu; yang dibutuhkan adalah toleransi/tenggangrasa yang tidak semu.

·      Dialog adalah ajang kesaksian yang otentik
Di sini dimaksudkan bahwa dalam dialog, orang Katolik berusaha bersikap sejati dan cinta, bukan tidak kritis dan terbawa kiri kanan oleh pengaruh ajaran bermacam-macam (bdk. Ef 4:14-15). Apabila orang Katolik memasuki ajang dialog dalam persekutuannya dengan Kristus, maka hubungan dialogal senantiasa merupakan kesempatan untuk memberi kesaksian yang patut dipercaya. Serentak juga kita dapat memberi kepastian kepada parter dialog bahwa kita bukan mau manipulasi mereka, melainkan mau berjumpa dengan mereka sebagai kawan seperjalanan dalam ziarah bersama, sehingga kita dapat berbicara dengan mereka tentang apa yang dilaksanakan oleh Allah di dalam diri Yesus Kristus menurut keyakinan iman kita.

Memancarkan Wajah Kristus
Sadar sebagai kawanan kecil maka kita harus memacu diri untuk menjadi orang-orang Katolik yang berkualitas, militan, unggul serta harus memiliki keutamaan-keutamaan kristiani seperti keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh orang Samaria, yang menolong sesama (sekalipun orang itu tidak dikenalnya) sampai tuntas. Keutamaan kristiani yang dimaksud adalah seluruh diri dan kepribadian Yesus harus mampu kita transfer dalam diri dan kehidupan kita. Sebab bila kita ingin memancarkan wajah Yesus dalam kehidupan kita, maka seluruh keutamaan-keutamaan Yesus harus kita miliki terlebih dahulu. Omong kosong, jika kita mengatakan bahwa kita mampu memancarkan wajah Kristus, namun kita tidak pernah berusaha untuk memiliki sikap-sikap dan keutamaan-keutamaan Yesus Kristus.
Maka tema “Memancarkan Wajah Kristus Melalui Gereja Yang Inklusif Dan Transformatif” hendaknya memacu kita untuk menghadirkan wajah Kristus yang semasa hidupya dikenal sebagai sosok yang selalu terbuka dan tidak pernah mengkotak-kotakkan. Kita perlu belajar dari sikap Yesus Kristus sebagai gembala sejati dan tidak eksklusif yang bukan hanya memperhatikan kawanan domba gembalaannya tetapi juga memperhatikan domba-domba lain yang bukan dari kawanannya (“Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” Yoh 10:16). Selain sebagai sosok yang inklusif Yesus juga memiliki segudang keutamaan-keutamaan yang nilainya sangat luhur dan tidak pernah usang dimakan waktu, beberapa contoh:

·           Murah hati (Mat 20:15: “....iri hatikah engkau  karena Aku murah hati? Rom.9:15: “Aku akan bermurah hati kepada siapa aku mau bermurah hati).
·           Berbelas kasih (Mat 9:36:  “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan telantar seperti domba yang tidak bergembala.” Mat 20:34: “maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu ia menjamah mata mereka dan seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti Dia”) 

·           Pengampun (Luk 5:19-20:“Karena mereka tidak dapat membawanya masuk berhubung dengan banyaknya orang di situ, naiklah mereka ke atap rumah, lalu membongkar atap itu, dan menurunkan orang itu dengan tempat tidurnya ke tengah-tengah orang banyak tepat di depan Yesus. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni.” Lukas 5:24: “Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa”– berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!”). Kisah Perempuan kedapatan berzinah, Yoh 8:11: “ Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.

·           Penolong dan peduli terhadap penderitaan sesama – Pembebas dan Pemberdaya (Luk 4:18-19:  “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”)

Keutamaan-keutamaan Yesus inilah yang hendak kita pancarkan dalam hidup harian kita dalam:

1.      Keluarga
2.      Komunitas Basis Gerejawi (KBG)
·           Hasil penelitian yang dipertajam dalam diskusi Pra Sinode di tingkat dekenat menunjukkan bahwa KBG yang ditetapkan sebagai kendaraan pastoral sejak Sinode I, masih belum dipahami dengan baik oleh semua paroki. Maka menjadi tugas kita semua untuk kembali menggairahkan KBG-KBG dengan pemahaman yang baik dan benar. Bila KBG dipahami secara baik dan benar, maka akan menjadi kekuatan bagi Gereja Katolik sebab KBG bukan hanya sebatas gerakan di dalam Gereja, tetapi adalah Gereja itu sendiri, yang sedang bergerak maju. KBG bukan untuk orang-orang tertentu (kaum ibu dan anak-anak, kaum profesional, atau malah hanya bagi orang yang rajin dan saleh saja), melainkan untuk semua orang, yang mau mengambil bagian, entah dia anggota Gereja, entah dia berada dalam pinggiran Gereja, atau malah di luar Gereja sama sekalipun. KBG merupakan paguyuban terapan mendasar gerejani, merupakan satuan basis gerejani itu sendiri.
·           Sebuah anjuran: Program pendampingan dan pemberdayaan KBG harus terus menerus dilakukan sampai KBG sungguh-sungguh dipahami dengan baik dan mampu mencapai tujuannya yakni sebagai komunitas perjuangan untuk mencapai kesejahteraan rohani dan jasmani.

3.      Sekolah Katolik
Bagi Gereja, lembaga pendidikan Katolik merupakan jalur strategis untuk mewartakan kabar gembira bagi setiap orang. Ciri-ciri Lembaga Pendidikan Katolik adalah: 1. Bersumber pada Kristus artinya segala kegiatan terarah kepada Kristus sebagai teladan dan model hidup. 2. Sarana kerasulan mewartakan kabar gembira. 3. Unggul dalam pembentukan manusia yang utuh meliputi aspek-aspek intelektualitas, emosional, psiko-motorik, humaniora dan religiositas. 4. Memihak kepada kaum lemah. 5. Menekankan kerjasama internal dan eksternal. 6. Dan luwes dalam mencapai tujuan.
Hasil penelitian di tiga dekenat menunjukkan bahwa Sekolah Katolik dikeluhkan oleh umat Katolik karena biayanya yang mahal, sehingga banyak anak Katolik tidak dapat mengenyam pendidikan di Sekolah Katolik. Hasil penelitian ini kiranya menjadi masukan berharga bagi Sekolah Katolik untuk kembali pada misinya yang memihak kepada kaum lemah (ciri ke 4). Tidak dipungkiri bahwa operasional pendidikan memang mahal, tetapi untuk anak-anak Katolik yang kurang mampu tetapi ingin masuk di Sekolah Katolik bisa dicarikan jalan keluar dengan bijaksana.
Dengan demikian Sekolah Katolik juga menjadi komunitas yang memancarkan wajah Yesus yang penuh belas kasih kepada setiap orang khususnya bagi mereka yang kurang mampu.

  1. Rumah Sakit
Rumah Sakit juga merupakan tempat yang strategis sebagai sarana pewartaan nilai-nilai Kristiani. Kita memiliki Yesus sebagai teladan dalam melayani. Semasa hidupNya di Palestina, Yesus telah melayani dan menyembuhkan banyak orang sakit baik fisik maupun spirituil dengan semangat kasih. Dan untuk menyelamatkan manusia Ia telah mengorbankan diri sehabis-habisnya sampai wafat di salib. Hendaknya wajah Yesus yang semasa hidupnya suka menolong dan menyembuhkan banyak orang juga memancar di rumah Sakit/Poliklinik Katolik yang kita miliki.
Poliklinik yang kita miliki keberadaannya tidak secerah dulu, kita perlu memikirkan nasibnya di masa mendatang dan perlu dicarikan jalan keluar yang terbaik. Ini sebuah karya sosial yang inklusif sehingga perlu dipertahankan.

5.    Karya-karya sosial yang dibangun oleh kelompok kategorial
Karya-karya sosial karitatif lainnya yang muncul dari kesadaran umat untuk membantu meringankan beban penderitaan sesama baik secara jasmani maupun rohani adalah perwujudan konkrit wajah Kristus yang senantiasa berpihak kepada orang miskin dan menderita. Kita bersyukur bahwa ada gerakan umat peduli sesama yang bersifat inklusif yang diprakasai oleh kaum awam seperti: Komunitas Cinta Kasih (KCK), Komunitas Tritunggal Maha Kudus (KTM), Sant Egidio, Pancaran Kasih Bunda (PKB), Legio Maria, Serikat Sosial St. Vincensius (SSV), PD Kharismatik, ME, Kelompok Kerahiman Ilahi dan lain-lainl. Dengan kekhasan masing-masing mereka berusaha untuk menjadi “orang-orang Samaria di zaman ini”. Mereka ini melaksanakanSabda Yesus di Sinagoga Nazareth (Luk 4:18-19).

Rekomendasi SAGKI
Tema Sinode III mengajak kita untuk memancarkan wajah Kristus kepada sesama tanpa membeda-bedakan, sementara itu rekomendasi hasil SAGKI 2010 yang mengangkat tema: “Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup Dalam Kelimpahan”(bdk Yoh 10:10), mengajak umat Katolik untuk melihat wajah Yesus Kristus dalam:

1.      Keberagaman budaya
·         Keberagaman budaya yang ada di Indonesia adalah suatu kenyataan dan kekayaan yang patut disyukuri. Di dalam keberagaman budaya, Allah hadir dan disapa dengan pelbagai macam nama. Kehadirannya dikenali melalui orang dan unsur-unsur kebudayaan yang menghormati dan mencintai kehidupan. KehadiranNya itu dimengerti oleh para pendukung setiap kebudayaan.
·         Gereja sebagai umat Allah yang percaya akan Yesus Kristus menampilkan sikap hormat dan kasih terhadap kebudayaan. Gereja memperhatikan dan menjunjung tinggi setiap bentuk kebaikan, kasih persaudaraan dan kebenaran yang terdapat dalam kebudayaan. Gereja mengungkapkan diri dalam unsur-unsur kebudayaan setelah dilakukan refleksi teologis yang sesuai dengan Injil, Tradisi dan Magisterium. Dalam perjumpaan dengan kebudayaan setempat, Gereja diperbarui dan sekaligus memperbarui beberapa unsur kebudayaan dengan kekuatan Injil.

2.      Dialog dengan agama dan kepercayaan lain
·         Peserta SAGKI menyadari bahwa Gereja mampu menemukan nilai-nilai injili dari para penganut agama dan kepercayaan lain. Maka Gereja perlu keluar dari dirinya, menjumpai para pemeluk agama dan penganut kepercayaan, sebagaimana yang diperlihatkan dan diajarkan oleh Yesus yang berani terbuka dan mengambil inisiatif untuk menyeberangi batas-batas agama dan budaya (bdk. Yoh 4). Melalui perjumpaan tersebut, Gereja ditantang untuk menilai kembali imannya akan Yesus Kristus.
·         Gereja mendengarkan ajakan Yesus untuk dengan rendah hati belajar beriman dari setiap orang yang berkepercayaan (bdk Mat 8:10; Luk 7:9). Gereja disadarkan akan pentingnya mewujudkan iman yang mendalam akan Kristus dalam tindakan-tindakan kemanusiaan dan mengungkapkannya dalam ibadat. Dengan belajar dari Yesus yang berwajah lembut, penuh empati dan pendoa, Gereja mengembangkan kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik yang berasal dari pelbagai agama dan kepercayaan untuk mengembangkan dialog dan aksi-aksi kemanusiaan demi terwujudnya perdamaian (bdk Mat 9:13).

3.      Pergumulan hidup kaum terpinggirkan dan terabaikan.
·         Gereja harus mengakui proses pemiskinan merupakan pencideraan manusia yang adalah citra Allah yang luhur, mulia dan kudus (bdk. Kej 1:26-27). Gereja memandang pribadi si miskin sebagai ”pewahyu” wajah Yesus yang sedang menderita, yang terluka, tabah, menangis, karena Yesus hadir dalam dirinya yang miskin, menderita, tertekan dan susah (bdk Mat 25:31-46).
·         Meneladani Yesus Sang Penyelamat, Pembebas, Penolong, Pembawa Harapan, Gereja wajib solider dengan orang miskin. Solidaritas itu dinyatakan melalui keberpihakan dan pemberdayaan orang miskin, tindakan berbagi serta keterlibatan secara aktif dalam memperbaiki struktur atau sistem yang tidak adil, dan memelihara lingkungan hidup.

Penutup
·           Memancarkan Wajah Kristus berkaitan erat dengan tugas perutusan Gereja untuk mewartakan Injil. Wajah Kristus yang diwartakan bukan berasal dari informasi melainkan dari kontemplasi. Dengan kata lain wajah Kristus yang dilihat dan dialami itulah yang kita beritakan, wartakan atau pancarkan kepada orang banyak. Menurut Paus Paulus VI: Yesus Kristus dan InjilNya harus diwartakan terutama melalui kesaksian hidup.
·           Keuskupan Denpasar menghadapi kenyataan keanekaragaman, minoritas dan sebagian umat hidup dalam garis kemiskinan.Berdasarkan kenyataan ini kita perlu membangun Gereja yang terbuka (inklusif) dan kehadiran Gereja hendaknya mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik (transformatif) dan bukan larut dengan situasi yang ada.
·           Keuskupan Denpasar yang menghadapi kenyataan, sebagian umatnya hidup dalam garis kemiskinan, maka perlu adanya solidaritas antara si kaya dan simiskin dan juga program-program pemberdayaan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinannya. Tidak mudah memang tetapi kita harus berjuang.
·           Keuskupan Denpasar menghadapi kenyataan bahwa KBG yang sejak tahun 2001 dicanangkan sebagai kendaraan berpastoral, hingga saat ini belum dipahami dengan baik dan benar oleh semua paroki. Tetapi ada juga berita yang membahagiakan karena ada paroki yang sudah memahami dengan baik dan benar sehingga KBG itu mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Maka perlu kembali diadakan sosialisai KBG khususnya bagi paroki-paroki yang belum memiliki KBG atau sudah memiliki KBG tetapi belum berfungsi dengan baik dan benar.
·           Dari berbagai persoalan yang dihadapi Gereja Lokal Keuskupan Denpasar kita perlu belajar dari sosok “Orang Samaria yang baik hati sebagai cerminan sosok Yesus sendiri”. Dua kali Ahli Taurat itu menelan pil pahit dan harus menjawab sendiri pertanyaannya dan dua kali Yesus mengatakan, “perbuatlah demikian.” Tidak relevan lagi bagi umat kristiani untuk bertanya siapakah sesamaku manusia? Karena sesama bagi kita adalah semua manusia tanpa pandang bulu. Yesus mengajarkan bahwa fokus perhatian kita hendaknya berupaya menjadi sesama yang baik bagi semua orang. Yesus dalam Mat. 5:46-47 mengatakan: “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?”
Upaya menjadi sesama bagi semua orang rupanya tidak selalu mudah. Jika meneladan orang Samaria itu berarti kita perlu menolong semua yang membutuhkan pertolongan tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih. Kesediaan menolong sesama biasanya disertai juga dengan kesediaan untuk mengorbankan perhatian, waktu, tenaga, harta dan siap mengambil resiko.Orang Samaria adalah sosok yang memancarkan wajah Yesus yang penuh belas kasih, memberikan pertolongan tanpa melihat siapa yang ditolong, tanpa pamrih dan tuntas. Perikop ini cocok dengan wajah Keuskupan Denpasar yang beranekaragam, kawanan kecil di tengah-tengah agama mayoritas serta sebagian umat masih terbelit oleh situasi kemiskinan yang senantiasa membutuhkan uluran tangan dari “orang-orang Samaria” di zaman ini.
Semoga paparan ini dapat memberi input untuk melangkah menuju perumusan visi misi Keuskupan Denpasar dan arah karya pastoral Keuskupan Denpasar 2012-2016. Kiranya Sinode ini juga mampu merumuskan program-program konkrit yang mampu menjawabi persoalan mendasar di Keuskupan kita.

Comments

Popular posts from this blog

PROFIL KONGREGASI/BIARA YANG BERKARYA DI KEUSKUPAN DENPASAR

Romo Hubertus Hady Setiawan,Pr

Rm. Benediktus Deni Mary