MEMANCARKAN WAJAH KRISTUS MELALUI GEREJA YANG INKLUSIF DAN TRANSFORMATIF
TINJAUAN DARI PERSPEKTIF BIBLIS
(oleh
Mgr. DR. Silvester San)
Pendahuluan
Tema Sinode III Keuskupan Denpasar: “Memancarkan Wajah Kristus melalui Gereja Yang Inklusif Dan
Transformatif,”bukan merupakan
sesuatu yang baru, melainkan diinspirir/diilhami oleh tema-tema sebelumnya. Sinode I yang
diselenggarakan tahun 2001 mengambil tema: “Memberdayakan Komunitas Basis Gerejawi Yang Inklusif Dalam
Milenium Baru.” Melalui Sinode Pertama ini Gereja
Katolik Keuskupan Denpasar memproklamirkan dirinya sebagai sebuah Gereja yang terbuka (inklusif), Gereja yang tidak lagi “eksklusif” yang hanya bergerak di
seputar “altar,” yang hanya mengurus kepentingan
umatnya. Dengan kata lain Gereja mau bergerak ke luar, ke tengah masyarakat. Kendaraan yang dipakai sebagai ujung tombak gerakan
inklusif itu adalah Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Lalu, Sinode II yang digelar tahun 2006,mengambil tema: “Bertolak ke Tempat yang Dalam – Menuju Gereja yang
Transformatif.” Kini Sinode III melengkapi
keduanya. Jadi, tema-tema yang dicetuskan dalam tiga Sinode ini, mulai dari
Sinode I hingga Sinode III, memiliki kesinambungan dalam kesatuan alur gagasan yang
hendak menegaskan ke mana Keuskupan Denpasar ini diarahkan.
Dalam konteks abad 21 (mellenium baru), Gereja harus
mampu menghadapi tantangan maupun perubahan yang terjadi sangat cepat, seiring arus
globalisasi yang merasuki seluruh kehidupan manusia. KBG diyakini sebagai cara baru hidup menggereja pada
zaman ini. Namun KBG sebagai cara baru hidup menggereja, tidak bisa bergerak
sendiri dan bersifat eksklusif (tertutup). Sebaliknya KBG harus bersifat
inklusif (terbuka) dengan pihak lain dan mampu terlibat dan melibatkan diri di
tengah masyarakat yang multikultural dan sangat heterogen.
Karena itu, sangat keras bergaung dalam Sinode I bahwa pembentukan KBG sebagai basis kerasulan dengan jumlah anggotanya yang relatif kecil dan terbatas itu, bukan sekedar kelompok yang
berhenti pada doa bersama dan pendalaman Kitab Suci. Tetapi lebih dari itu, KBG harus menjadi komunitas yang “membumikan” isi doa dan Sabda dalam
Kitab Suci, menjadi komunitas perjuangan, komunitas pemberdayaan demi
perubahan, baik Gereja itu sendiri maupun lingkungan sosial yang lebih luas.
KBG harus menyentuh sampai pada bidang lain, yaitu bidang sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya.
Memasuki Sinode II, Gereja Keuskupan Denpasar yang
telah menegaskan kehadirannya di tengah masyarakat melalui KBG, berusaha agar
Keuskupan Denpasar ini “lebih dalam” lagi menebarkan jalanya di tengah
kehidupan bersama masyarakat lain. Dengan tema: “Bertolak ke Tempat yang
Dalam-Menuju Gereja yang Transformatif,” Gereja Keuskupan Denpasar memiliki cita-cita
agar KBG-KBG yang sudah ada harus tetap memiliki makna penting di tengah
masyarakat, sehingga kehadiran Gereja membawa sebuah perubahan yang lebih baik
(transformatif).
Setelah melalui proses pembentukan dan pemberdayaan
KBG yang inklusif (Sinode I), dan setelah Sinode II KBG semakin “bertolak ke
tempat yang dalam” menuju Gereja yang transformatif, maka pada Sinode III ini,
Gereja Keuskupan Denpasar hendak memancarkan “Wajah Kristus” (Kristus sebagai
kepala Gereja) – tentu wajah yang penuh simpatik oleh karena kemurahan hatinya,
kelemahlembutannya, belas kasihnya, kerahimannya solidaritasnya, toleransi
serta kemuliaan sikap-sikapnya yang tidak habis bisa kita sebutkan, yang diperuntukkan bagi semua orang
tanpa pandang bulu. Keutamaan-keutamaan Yesus ini yang hendak kita pancarkan ke
tengah masyarakat dengan kesiapan kita membuka diri (terbuka) bagi siapa saja
tanpa mengkotak-kotakkan. Nilai-nilai Kristiani yang kita bawa kiranya
berdampak positif dengan membawa perubahan ke arah lebih baik (transformatif)
dalam kehidupan. Tema Sinode III juga dilatarbelakangi pula oleh
hasil SAGKI 2010 yang berbicara juga mengenai Wajah Yesus yang hadir di tengah
keberagaman budaya, dialog dengan agama dan kepercayaan lain serta pergumulan
hidup kaum terpinggirkan.
Dasar Biblis
Dari tema Sinode III ini akan dikemukakan 3 hal pokok
dengan dasar biblisnya secara singkat, yang kiranya memberikan input dan
inspirasi bagi diskusi-diskusi kita selanjutnya.
Memancarkan Wajah Yesus erat kaitannya dengan pewartaan Gereja. Memang Gereja perlu membangun persaudaraan dan persekutuan ke dalam, yang disebut komunio. Tetapi komunio baru bermakna kalau Gereja mampu melaksanakan tugas perutusan atau missio. Dalam perutusan itu Gereja mempunyai tugas utama untuk mewartakan, sesuai dengan perintah Kristus sebelum naik ke surga: “… pergilah, jadikanlah segala bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:16-20). Perintah Kristus ini menjadi dasar perutusan Gereja. Oleh karena itu pewartaan menjadi bagian penting dan utama dalam tugas perutusan Gereja di dunia. Para Rasul mengangkat diakon agar tugas pewartaan mereka tidak terlalaikan (bdk. Kis. 6:2). Bahkan bagi St. Paulus karya pewartaan memiliki tempat yang utama dan penting, sehingga dia berkata: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9:16).
Pewartaan Injil itu harus dilaksanakan karena Gereja
menyadari pentingnya pewartaan bagi muncul dan berkembangnya iman. Kepada umat
di Roma St. Paulus menulis: “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh
Firman Kristus” (Rom. 10:17). Hal yang sama ditegaskan lagi oleh St. Paulus
demikian: “Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak
mendengar tentang Dia? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada
yang memberitakanNya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakanNya, jika mereka
tidak diutus” (Rom. 10:14-15).
Kesadaran Gereja akan pentingnya karya pewartaan itu
berlanjut. Paus Paulus VI dalam ajakan Apostolik Evangelii Nuntiandi
menulis: “Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan
panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja
ada untuk mewartakan Injil….” (EN. Art. 14). Demikian juga kesadaran Gereja
akan pentingnya pewartaan terungkap dalam Kitab Hukum Kanonik: “Kepada Gereja
dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman agar Gereja dengan bantuan Roh
Kudus menjaga tanpa cela kebenaran yang diwahyukan, menyelidikinya secara lebih
mendalam, mewartakandan menjelaskannya dengan setia.” (KHK Kan. 747 $ 1).
Ada aneka wajah atau gambaran tentang Kristus yang lahir dari pengalaman dan pemikiran manusia yang mengenalNya. Injil Sinoptik menceriterakan aneka gambaran Yesus Kristus tersebut (Mat. 16:13-16; Mrk. 8:27-30; Luk. 9:18-21). Kita membaca teks Mat. 16:13-16.
Setelah
Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-muridNya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada
yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula
yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus
bertanya kepada mereka” “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka
jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”
Siapakah
Anak Manusia itu? Pertanyaan ini bergema segala abad dan jawabannya pun
bervariasi di setiap zaman. Tiada tokoh yang begitu mempesona dunia dan
sedemikian kontroversial
seperti Yesus Kristus. Ada begitu banyak ide dan pikiran mulia yang mendorong
banyak orang untuk mengagumi, mengikuti dan mengimani Dia, namun ada juga yang
berniat meredusir hakekat Yesus Kristus ke dalam dimensi horisontal belaka dan
dengan demikian menghindarkan banyak orang dari Yesus.
Jawaban
para murid atas pertanyaan pertama dari Yesus “kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” bersifat copy paste dalam arti mengutip atau
mengulang kembali opini yang beredar di publik saat itu. Jawaban murid-murid
atas pertanyaan pertama dari Yesus lebih bersifat informatif. Jawaban para
murid atas pertanyaan kedua dari Yesus “tetapi, apa katamu, siapakah Aku
ini?” bersifat metafisis dalam arti Petrus melihat melampaui: dengan mata iman
Petrus melihat dan menemukan bahwa Yesus itu Mesias dan Anak Allah Yang Hidup.
Jawaban Petrus atas pertanyaan kedua dari Yesus lebih bersifat kontemplatif.
Pengakuan iman Petrus ini adalah juga pengakuan iman Gereja sepanjang masa.
Marilah kita melihat jawaban para murid atas kedua pertanyaan itu.
Kata orang, siapakah Anak manusia
ini?
Kata
orang (orang Yahudi): Yesus adalah Yohanes Pembaptis, Yesus adalah Elia, Yesus
adalah Yeremia, Yesus adalah salah seorang nabi. Yohanes Pembaptis, Elia,
Yeremia adalah figur-figur berwibawa dan besar dalam sejarah keselamatan
Israel. Yohanes Pembaptis mempersiapkan kedatangan Mesias. Elia membela iman
akan Yahwe, Allah Israel dengan mematahkan supremasi Baal yang didukung oleh
raja Ahab dan ratu Izebel. Yeremia meramalkan pembuangan bangsa Israel ke Babel
bila Israel tidak bertobat. Kehebatan dan kebesaran itu yang
dilihat oleh mata umat Yahudi. Dari sebab itu orang Yahudi menyamakan Yesus
dengan mereka karena Yesus berkata dan bertindak dengan penuh wibawa seperti
mereka.
Kehebatan
Yesus itu pula diakui oleh orang-orang
modern-sekular namun ke-Mesias-an dan ke-Allah-an Yesus Kristus justru
tidak dilihat oleh mata iman orang Yahudi dan orang modern-sekular. Jadi boleh
dikatakan baik kaum Yahudi maupun kaum sekular sama-sama menegaskan “Yesus itu
manusia unggul”, tetapi Yesus itu bukan
Mesias dan Anak Allah Yang Hidup.”
- Menurut Kaum Yahudi anti Kristus, Yesus Kristus adalah seorang manusia aneh dan sesat sebab Dia itu “pelahap, peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa” (Mat 11:19), seorang yang tidak waras (Mrk 3:21), seorang penghujat Allah (Mrk 14:64), seorang penyesat (Mat 27:63). Sikap permusuhan itu sebegitu hebat sampai para anti Kristus itu mengatakan dalam Toledoth Jeshu (Sejarah tentang Yesus): “Yesus adalah putera ilegal Maria dan seorang serdadu romawi.”
- Menurut kaum pemikir Yahudi, Yesus itu pribadi yang luar biasa (kaya ide dan pengetahuan) seperti tertulis dalam Perjanjian Baru. DiriNya begitu “komplit” sehingga orang Yahudi berani berkata apa saja tentang Yesus sejauh kesanggupan melihat mereka. Namun hidup Yesus berakhir di salib. Inilah skandal besar yang merintangi kaum Yahudi untuk mengakui Yesus sebagai Putera Allah. Dia hebat, namun bukan Allah.
- Menurut Kaum Humanis sekular (K. Jaspers), bersama dengan Socrates, Buddha dan Confusius, Yesus masuk dalam kategori manusia normatif terbesar. Keempat orang ini memiliki kesamaan: cintakasih universal, bebas dari keinginan duniawi, mengenal keheningan, berani menghadapi kematian demi sebuah kebenaran. Namun keistimewaan Yesus ialah mengasihi tanpa batas termasuk para musuh. Bagi mereka, walaupun ada keistimewaan, Yesus bukan Mesias, bukan pula Anak Allah seperti yang dipercayai dan diberitakan oleh orang Kristen berdasarkan apa yang tersurat di dalam Alkitab. Orang Kristen telah menjadikan Yesus Allah dan menyembah Dia. Menurut mereka, mengilahikan dan menyembah Dia, adalah hal yang sesungguhnya sangat tak disukai oleh Yesus.
Kesulitan yang dialami manusia sekular
berhadapan dengan kristianisme ialah bagaimana mungkin seorang manusia (Yesus) bisa menjadi Allah. Kesulitan manusia
humanis sekular ini disebut oleh Kierkegaard sebagai “skandal iman.” Dilema
seorang manusia humanis sekular di hadapan Kristus adalah “ indiferen atau
percaya.”
- Kata kaum Marxis, “Andaikata Yesus hidup di zaman ini, mungkin saja semua kategori perwajahan tak cocok untuk Dia. Besar kemungkinan kategori yang cocok baginya adalah Yesus itu figur ateis sejati” (D. Sölle). Yesus adalah model manusia baru yang bebas dari siapa dan apa saja sambil mengajarkan manusia untuk menentang setiap otoritas dunia yang mengekang kebebasan. Yesus itu bukan anak domba penurut melainkan seorang revolusioner atau pendobrak yang datang untuk membawa api dan pedang. Oleh sebab itu Jesus is a rebel of love. Dia telah melakukan dedikasi total kepada sesama teristimewa mereka yang susah dan menderita, lemah dan tertindas.
- Menurut kaum antiborjuis, Yesus itu anti kemapanan. Gereja telah menjadikan Yesus yang santai dan rileks sebagai seorang borjuis sempurna: beri banyak gelar dan kehormatan kepada Yesus; Gereja menjadikan Yesus seorang aristokrat “putera Allah” yang duduk di samping kanan Allah Yang Mahakuasa. Padahal, Yesus sesungguhnya seorang pemberontak, seorang revolusioner dalam soal tata religius dan moral yang membelenggu kesejatian hidup manusia; Yesus adalah seorang “yang bertingkahlaku mendobrak” norma moral dan religius yang munafik dan mapan dalam insitusi-institusi bergaya elit.
Kelompok antiborjuis
menggambarkan Yesus sebagai sang superstar
dan seorang hyppy. Gaya hidup Yesus
menjadi sebuah kritikan keras terhadap mentalitas aristokrat yang berfoya-foya dalam kemapanan. Yesus
adalah manusia yang bebas dari apa saja. Yesus seperti Buddha, Socrates dan
Confusius berjalan ke mana saja, hanya dengan bawaan ringan saja dan selalu
siap untuk membantu orang lain. Ajarannya adalah ‘hiduplah secara sederhana. Kembalilah ke alam. Yesus hanya seorang
manusia saja. Dia bukan Allah. Nyatanya Ia disalibkan. Allah membiarkan diriNya
disalibkan. Yesus itu hanyalah manusia biasa saja, dan tentu seorang “manusia normatif”
seperti Buddha, Socrates dan Confusius.
“Tetapi apa katamu: siapakah Aku
ini?”
Orang
lain boleh berkata ini dan itu tentang Aku, tetapi hai para murid“apa katamu”?
Esensi dari pertanyaan ini ialah: pengenalan dan pengalaman pribadi serta
penemuan pribadi Petrus dan kawan-kawan berkaitan dengan Yesus, Sang
Guru.
Pertanyaan
Yesus itu disampaikan menjelang momen krusial
yakni saat mendekatnyaperistiwa salib.
Hidup Yesus itu via crucis (jalan
salib), menempuh jalan salib. Sebelum memasuki peristiwa salib itu Yesus mau
mengecek apakah ada orang yang mengenal siapa DiriNya? Bila ada yang
mengenal diriNya, itu pertanda karyaNya akan terus berlangsung sepanjang masa,
dan kalau orang tidak mengenal DiriNya, itu pertanda karyaNya akan menjadi
sia-sia.
Petrus
atas nama rekan-rekannya menyimpulkan sesuatu yang melampaui segala kategori:
“Engkaulah Mesias, Anak Allah Yang Hidup” – Yesus adalah Mesias, Yesus adalah
Tuhan dan Yesus adalah Anak Allah.Penemuan Petrus akan hakekat Yesus Kristus
itu tidak didasarkan pada informasi
melainkan kontemplasi; bukan didasarkan
pada “kata orang” melainkan
pengalaman pribadi Petrus dengan Yesus, pertemuan pribadi Petrus dengan Yesus,
percakapan pribadi Petrus dengan Yesus. Singkat kata: melihat Yesus, mengenal
Yesus, mengalami Yesus (internal) dan memancarkan Wajah Yesus (eksternal).
Meskipun kita tahu bahwa kemudian Petrus mengenal Yesus hanya sebagai Mesias
politik yang jaya, Mesias raja yang akan mengusir penjajah Romawi dari bumi
Israel. Maka ketika Yesus meramalkan tentang penderitaan dan kematianNya,
Petrus menolak ramalan itu.
Namun
demikian, Petrus telah melihat Yesus
dan mewartakan penemuannya itu: “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup.”
Petrus mewartakan apa yang ia lihat dan apa yang ia alami. Petrus mewartakan
Yesus yang dikontemplasikannya dengan mata iman dan bukan Yesus yang
diinformasikan kepadanya.
Pertanyaan untuk kita: Apakah para pewarta, kita semua melihat, menemukan dan
mengalami Kristus? Wajah Kristus macam mana yang kita temukan dalam doa,
meditasi dan kontemplasi? Wajah Kristus yang dilihat dan dialami itulah yang
kita beritakan, wartakan, katakan atau pancarkan kepada orang banyak. Menurut
Paus Paulus VI: Yesus Kristus dan InjilNya harus diwartakan terutama melalui
kesaksian hidup.
Situasi keanekaragaman bukan hanya terjadi di zaman ini tetapi terjadi pula sejak zaman Yesus. Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati(Luk 10-25-37) mengundang kita untuk memahami ajaran Yesus tentang bagaimana kita harus bertindak dan mengasihi sesama dengan benar tanpa membeda-bedakan. Masyarakat di zaman kita yang beranekaragam ini mudah dikotak-kotakkan berdasarkan agama, etnis, kedudukan, status sosial, kekayaan, pendidikan dan sebagainya. Situasi terkotak-kotak tersebut kerapkali membuat orang cenderung bertanya siapa lawan dan siapa kawan, serta dalam komunikasi menjadi tidak tulus karena selalu ada prasangka negatif. Dengan perumpamaan itu Yesus mengajak kita keluar dari pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?’ dan beralih ke pertanyaan “Bagaimana aku dapat menjadi sesama?”Bagi kita, semua manusia adalah sesama. Yang lebih penting adalah mencari cara agar kita dapat menjadi sesama yang baik bagi yang lain tanpa pandang bulu.
Teks biblis “perumpamaan
tentang orang
Samaria yang baik hati”mengandung unsur inklusif (orang Samaria menolong orang
yang tidak dikenalnya sama sekali dan tidak peduli dari golongan mana,
statusnya seperti apa, bahkan dia juga tidak peduli yang ditolong itu orang
baik atau orang jahat) dan ada unsur transformatif
(dengan perumpamaan itu Yesus mengajak kita keluar
dari pertanyaan “Siapakah sesamaku
manusia?’ dan beralih ke pertanyaan “Bagaimana
aku dapat menjadi sesama?”. Orang Samaria adalah sosok yang memancarkan
wajah Kristus yang penuh belas kasih terhadap sesamanya tanpa membeda-bedakan.
Dialog Awal
Perumpamaan diawali
dengan dialog antara seorang Ahli Taurat dengan Yesus. Ahli Taurat bertanya
kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup kekal.
Pertanyaan ini aneh karena dilontarkan oleh seorang Ahli Hukum Taurat. Bukankah Hukum Taurat sudah menjelaskan hal
itu? Injil menjelaskan bahwa Ahli Taurat tersebut ingin mencobai Yesus (ayat
25).Apakah Ahli Taurat ini ingin mengajak Yesus beradu argumen? Mungkin pula
dia sedang mencari-cari kesalahan atau sekedar menguji pengetahuan Yesus tentang
Hukum Taurat.
Tanggapan Yesus cukup
mengejutkan baginya. Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan
tetapi balik bertanya kepadanya tentang perintah dasariah dari Hukum Taurat
untuk memperoleh hidup kekal. Tentu saja Ahli Taurat itu dapat menjawabnya dengan
mudah, katanya, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu,
dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ahli Taurat itu dapat menjawab sendiri pertanyaannya dan
jawabannya benar. Memang mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama merupakan dasar utama dari Hukum Taurat, bahkan menjadi
inti ajaran agama Yahudi. Kedua perintah tersebut merupakan gabungan dari Ul.
6:5 (kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap kekuatanmu) dan Im. 19:18 (kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri). Ahli Taurat dapat menyebut dengan benar syarat untuk
memperoleh hidup kekal, tetapi mengapa masih bertanya? Bukankah Ahli Taurat itu
tinggal melaksanakan apa yang sudah diketahuinya? Karena itu, Yesus berkata
kepadanya, jawabmu itu benar, perbuatlah
demikian, maka engkau akan hidup”. Dengan lihainya Yesus memaksa dia untuk
menjawab sendiri pertanyaan. Niatnya untuk mencobai Yesus ketahuan karena
terbukti dia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya.
Ahli Taurat itu kemudian berupaya membenarkan dirinya. Ungkapan
membenarkan diri bisa berarti mau menutup rasa malu. Untuk membenarkan dirinya,
ia menanyakan definisi kata sesama. Siapakah sesamaku manusia? (ay 29). Kali
ini ia yakin bahwa Yesus akan kesulitan
menjawabnya. Definisi sesama di dalam teks ini menerjemahkan kata Yunani plesion yang berarti orang dekat. Ada
berbagai pendapat yang berbeda tentang kriteria sesama. Bagi kita jawabannya
jelas, sesama manusia adalah manusia. Namun, bagi orang Yahudi pada waktu itu
ada manusia yang dapat disebut sesama, ada yang bukan sesama, bergantung
status, kondisi dan relasinya dengan mereka.
Yang biasanya dianggap
sesama oleh orang Yahudi pada waktu itu adalah mereka yang sebangsa atau
sesuku. Meskipun begitu, kaum Farisi dan komunitas Eseni mempersempit definisi
sesama hanya pada kelompok mereka sendiri. Bagi kaum Farisi, orang di luar
kelompoknya dianggap sebagai anak negeri (am
ha-ares) atau orang kebanyakan. Demikian pula kaum Eseni yang hidup dalam
komunitas di pinggir Laut Mati, menganggap mereka yang ada di luar komunitasnya
sebagai “anak-anak kegelapan”. Orang Yahudi pada umumnya tidak
menganggap orang-orang Samaria dan bangsa asing sebagai sesama. Di kalangan
masyarakat Yahudi sendiri ada orang banyak
yang tidak
dianggap sesama, antara lain: para pemungut cukai, kaum
pendosa, dan orang kusta. Definisi sesama ini menjadi
semakin rumit karena ditentukan pula menurut ukuran kawan dan lawan. Semua yang
dianggap lawan, meskipun itu rekan sebangsanya, tidak dianggap sebagai sesama.
Cara pandang yang rumit dan tidak konsisten inilah yang melatarbelakangi
persoalan tentang sesama.
Bagi Yesus sendiri, sama
dengan definisi menurut kita sekarang, semua manusia adalah sesama. Meskipun
begitu, pendapat tersebut menimbulkan persoalan jika diajarkan begitu saja.
Misalnya ada pertanyaan, apakah bangsa Romawi yang penjajah itu dapat disebut
sebagaisesama orang Yahudi atau tidak? Jawaban
“ya” atau “tidak” sama-sama membawa resiko. Jika dijawab “ya” pasti akan
dianggap antek penjajah, jika dijawab “tidak” bisa dituduh anti Roma. Bisa jadi
muncul ketegangan yang tiba-tiba ketika Ahli Taurat tersebut menanyakan “Siapakah
sesamaku manusia?”. Ahli Taurat dan para pendengar Yesus tentu ingin mendengar apa jawabannya
Perumpamaan
Untuk menanggapi
pertanyaan kedua, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan. Pada suatu hari ada
seorang yang turun dari Yerusalem ke Yeriko. Tidak dijelaskan siapa orang itu.
Jalan dari Yerusalem ke Yeriko menurun sekitar 1000 meter, panjangnya sekitar
27 km, melewati padang gurun dan bukit-bukit
karang. Jalan yang sepi itu membahayakan karena ada banyak penyamun yang
mencari mangsa. Bukan hal baru bila ada orang yang dirampok di jalan yang berbahaya itu. Perampok rupanya
merampok orang itu habis-habisan, menyiksanya dan meninggalkannya setengah
mati. Jika tidak ada yang menolongnya, kemungkinan orang itu akan benar-benar
menemui ajalnya. Siapakah yang akan menolongnya
Seorang Imam dan Seorang Lewi
Tiba-tiba lewat seorang
Lewi di jalan itu (ay 31). Dia melihat orang yang tergeletak di pinggir jalan,
tetapi tidak menolongnya. Dia justru melewatinya dari seberang jalan, berarti
berupaya untuk menghindarinya sejauh mungkin. Hal yang sama dilakukan oleh
seorang Lewi yang sedang turun dari Yerusalem dan melewati jalan itu (ay 32).
Diapun melihat orang yang dirampok, tetapi melewatinya dari seberang jalan.
Para imam dan kaum Lewi
adalah tokoh-tokoh agamawan yang berpusat di Yerusalem. Merekalah pelaksana
upacara kurban dan berbagai liturgi di Bait Allah. Mungkin imam dan orang lewi
itu hendak pulang ke rumah mereka di Yerikho setelah selesai bertugas di Bait
Allah Yerusalem. Pada waktu itu banyak imam dan kaum Lewi yang bertempat
tinggal di Yerikho meskipun tugas pelayanan mereka di Yerusalem. Yang menjadi
pertanyaan adalah, mengapa kedua tokoh agama itu tidak mau menolong orang yang
dirampok? Tidak ada penjelasan di dalam teks. Pada umumnya ditafsirkan bahwa
mereka terikat pada hukum ketahiran sehingga tidak boleh menyentuh barang
najis. Mungkin mengira orang itu sudah mati. Menurut Kitab
Bilangan (Bil 19:11-19) orang yang menyentuh (tersentuh) mayat dianggap najis
selama tujuh hari (bdk. Bil. 19:16). Para imam dan Lewi tidak boleh melayani
ibadat dalam keadaan najis.Mereka harus bersentuhan dengan barang-barang kudus
di Bait Allah sehingga wajib menjaga ketahiran. Mungkin karena alasan itulah
mereka tidak memberikan pertolongan. Begitu melihat orang itu, mereka justru
melewatinya dari seberang jalan (menghindar sejauh mungkin supaya tidak najis).
Sikap serta tindakan imam dan orang Lewi itu menggambarkan orang-orang
yang terhambat untuk menolong sesama karena alasan tugas dan status mereka.
Sebenarnya kejadian tersebut dapat disebut ironi karena mereka adalah
tokoh-tokoh agama yang seharusnya bisa memberi contoh dalam berbuat kebajikan.
Namun, karena berpegang secara kaku pada tuntutan menjaga ketahiran, mereka
kehilangan kepekaan hati pada orang menderita yang membutuhkan pertolongan.
Jika ada kemauan dan masih mempunyai kepekaan hati, sebenarnya imam dan orang
Lewi itu bisa saja menolongnya. Seandainya orang yang dirampok itu sudah
menjadi mayat dan menyebabkan keduanya najis, toh mereka masih bisa melakukan
pentahiran diri dari kenajisan seperti yang diatur dalam Kitab Bil. 19:11-19.
Walaupun, mereka harus merepotkan diri
dengan upacara pentahiran yang memakan waktu tujuh hari. Apa artinya menjadi
najis selama tujuh hari demi suatu keutamaan belas kasih? Rupanya mereka
memilih membungkam suara hati daripada merepotkan diri.
Seorang
Samaria
Pilihan sikap dari imam
dan orang Lewi dilawankan secara ekstrim dengan sikap dan tindakan seorang
Samaria yang lewat di jalan itu. Yesus mengambil tokoh penolong adalah orang
Samaria, kelompok yang dipandang hina bahkan dianggap kaum Kafir oleh orang Yahudi. Mereka dipandang
hina bukan karena jahat tetapi karena keturunan bangsa campuran Israel-Asyur.
Karena sudah tidak murni berdarah keturunan Abraham, mereka digolongkan sebagai
bangsa Kafir. Jelas bahwa orang Samaria tidak dianggap sesama oleh orang Yahudi. Namun,justru orang yang dianggap rendah itu
mempunyai hati untuk menolong orang yang dirampok. Dia tidak terhambat oleh
peraturan agama; misinya adalah murni misi kemanusiaan. Ketika melihat orang
yang dirampok itu tergeletak tak berdaya di pinggir jalan, rasa kemanusiaaanya
tersentuh. Dia memandang korban sebagai sesama manusia. Sebenarnya tindakannya
penuh resiko. Ketika dia mendekati orang yang dirampok itu, bisa jadi para
penyamun masih ada di sekitar itu dan siap menyergapnya sebagai korban
berikutnya. Namun, itu semua bukan alasan baginya untuk tidak memberi
pertolongan. Rasa kemanusiaan lebih kuat dari pada sekat-sekat yang diciptakan
oleh agama. Rasa kemanusiaan juga lebih membuatnya berani mengabaikan rasa
takut akan bahaya.
Tindakan orang Samaria
dalam menolong korban digambarkan secara rinci di dalam perumpamaan ini (ay.
33-35). Ketika sampai di tempat itu, dia melihat orang yang dirampok itu
tergeletak setengah mati di pinggir jalan. Hatinya tergerak oleh belaskasihan,
kemudian ia mendekatinya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, membalut
luka-lukanya, menaikkan orang itu ke atas keledainya, membawanya ke tempat
penginapandan merawatnya. Dia memberi pertolongan pertama dengan memberi minyak dan anggur, yang pada zaman sekarang serupa
dengan salep dan antiseptik (penangkal infeksi). Karena si korban tidak dapat
berjalan, orang Samaria itu menaikkannya ke atas keledainya sendiri. Itu
berarti dia harus rela berjalan kaki sambil menuntun keledainya menuju ke
penginapan. Sesampainya di penginapan, orang Samaria itu masih menunjukkan kebaikan hatinya dengan merawat si sakit. Akan tetapi
dia rupanya ingat bahwa ia harus segera pergi untuk urusan
tertentu. Karena ketulusan hatinya yang luar biasa, orang Samaria itu
menyerahkan perawatan si sakit kepada pemilik rumah penginapan. Dia rela
mengeluarkan uang pribadinya untuk pengganti biayanya. Uang dua dinar yang
diserahkan kepada pemilik penginapan itu senilai dengan upah pekerja selama dua
hari. Jika masih ada kekurangan, orang Samaria itu akan menggantinya setelah
urusan bisnisnya selesai.
Rasanya lengkap sudah
gambaran kebaikan orang Samaria itu. Dia melakukan pertolongan yang tulus dari
awal sampai akhir, bukan demi tujuan pribadi melainkan karena belaskasihan.
Orang Samaria itu bukan hanya rela meluangkan waktu dan tenaganya, tetapi juga
rela mengeluarkan hartanya. Dia menolong tanpa membeda-bedakan siapa yang
ditolong. Tampilnya orang Samaria yang menolong tanpa mempersoalkan “Siapakah
sesamaku” merupakan sindiran tajam terhadap Ahli Taurat itu. Secara
tidak langsung Yesus menjelaskan bahwa semua orang adalah sesama, sama seperti
cara pandang orang Samaria itu. Mereka yang dipandang kaum agamawan oleh orang
yahudi justru tidak menolong, sedangkan orang yang mereka anggap rendah justru
mempunyai hati untuk menolong orang yang dirampok.
Dialog
Akhir
Setelah selesai memberi
perumpamaan, Yesus mengajukan pertanyaan yang tidak terduga:Siapakah di antara
ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang
jatuh ke tangan penyamun itu? (Ay 36). Dia tidak menarik suatu kesimpulan
apapun, tetapi membiarkan Ahli Taurat itu
membuat kesimpulannya sendiri. Tentu saja yang pantas disebut sesama adalah
orang Samaria. Namun, dia tidak berani menyebutnya terus terang, hanya
mengatakan bahwa sesama dari orang yang dirampok itu adalah “orang yang telah
menunjukkan belas kasihan kepadanya” (Ay. 37). Persis, jawaban itulah yang
ditunggu oleh Yesus. Yang lebih penting bukan menanyakan “siapakah sesamaku manusia?,
tetapi bagaimana aku dapat menjadi sesama bagi yang lain, seperti orang Samaria
itu. Orang Samaria itu adalah teladan dari orang yang mampu bertindak sebagai
sesama bagi orang lain. Dari tindakannya jelas orang Samaria itu menganggap
semua orang sebagai sesama. Yesus memberi contoh bagaimana menjadi sesama bagi
yang lain (seperti yang dilakukan oleh orang Samaria itu), sekaligus memberi
jawaban secara tidak langsung bahwa semua orang adalah sesama (seperti cara
pandang orang Samaria itu). Yang disebut sesama bukanlah “obyek yang harus
dikasihi” tetapi sebagai”subyek yang harus mengasihi”. Dengan amat pandai Yesus
membelokkan persoalan. AjaranNya tersampaikan jelas, tanpa resiko apapun.
Membangun
Gereja yang Inklusif dan Transformatif
Perumpamaan tentang Orang
Samaria yang baik hati sungguh-sungguh mewakili situasi Gereja Lokal Keukupan
Denpasar yang diwarnai keanekaragaman dan sebagian umatnya masih hidup dalam
kemiskinan –sesuai hasil penelitian
dengan metode Focus Group Discussion (FGD).Gereja Keuskupan
Denpasar menyadari kehidupannya di tengah-tengah keanekaragaman agama, suku,
adat istiadat dan kebudayaan. Situasi keanekaragaman bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan
bila tidak dikelola dengan baik. Keanekaragaman bisa menjadi pemicu konflik dan
perpecahan. Namun keanekaragaman bisa menciptakan
hal yang indah, apabila masing-masing mampu menjunjung tinggi asas toleransi,
saling menghormati dan menghargai perbedaan. Pengelolaan berbagai perbedaan
pada intinya harus dimulai dengan niat baik dari semua pihak, dan selain itu
hendaknya kenyataan pluralitas ini dilihat sebagai anugerah dan berkat Tuhan
sehingga tidak perlu dipertentangkan. Bila kita beranjak dari pola pikir positif
ini, yakinlah bahwa perbedaan-perbedaan menjadi sesuatu yang indah, sesuatu yang
dapat saling memperkaya, menjadi modal untuk membangun serta mampu menghadirkan
keharmonisanhidup. Seperti
taman bunga menjadi tampak indah karena terdiri dari beragam-ragam jenis bunga.
“Tuhan itu baik kepada semua orang, dan
penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm 145:9)
Menyadari potensi konflik di
tengah perbedaan
ini, Gereja
katolik, selain harus membangun suatu kerja sama yang dialogis dan harmonis
dengan semua umat beragama, juga harus mampu
mengakomodir etnis-etnis yang ada sebagai kekuatan untuk menopang berdiri
tegaknya Gereja dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini kita perlu mendengar
nasihat Paulus yang menghimbau Jemaat Korintus yang minoritas dan heterogen
(situasi ini identik dengan Gereja Keuskupan Denpasar), supaya bersatu. Di sana
ada kelompok Paulus, Apolos, Kefas dan lain-lain. Karena terdiri dari beberapa
kelompok maka sering terjadi kompetisi antarkelompok yang menjurus pada konflik
dan perpecahan. Dalam situasi itu Paulus menghimbau untuk bersatu: “Aku (Paulus) yang menanam, Apolos yang
menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan”. Baik Paulus maupun Apolos
adalah rekan-rekan sekerja Allah yang harus bekerja keras untuk pertumbuhan
jemaat. Paulus juga menggambarkan jika di hati masih ada iri hati dan perselisihan,
maka jemaat itu digolongkan sebagai manusia-manusia duniawi yang bukan rohani
(I Kor 3:1-7)
Menyadari keanekaragamini, maka suatu
keharusan pula bagi Gereja Katolik di wilayah ini untuk
membangun image sebagai komunitas
yang inklusif . Dalam hal ini Gereja sadar berada dalam masyarakat yang
heterogen, sehingga tidak bisa menutup diri dan harus membangun kerja sama
lintas agama dan lintas
kelompok. Mengutip pernyataan Mgr. Benyamin Bria dalam buku “Melintasi
Sekat-Sekat perbedaan” dikatakan: “Saat
ini bukan zamannya lagi untuk bekerja sendirian. Juga bukan zamannya lagi untuk
hidup sebagai kelompok yang eksklusif atau tertutup untuk dunia luar. Banyak
masalah hanya dapat diatasi dan diselesaikan kalau orang terbuka terhadap orang
lain dan bersedia bekerja sama dalam semangat solidaritas dengan mereka”.
Dengan pernyataan ini kita disadarkan terus
menerus betapa pentingnya Gereja Katolik harus membuka diri di tengah kehidupan masyarakat.
Sadar kita hidup di tengah
pluralitas,
maka penting pula untuk membangun semangat dialog, baik itu melalui dialog kehidupan maupun dialog karya.
Menghadapi kenyataan keanekaragaman agama, Konsili Vatikan II menganjurkan
dialog dan kerjasama antarpemeluk agama yang berbeda: “...... Gereja mengajak putra-putrinya, agar dengan bijaksana dan
cinta kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan penganut agama-agama lain,
memberikan kesaksian iman dan kehidupan Kristen, lalu mengakui, mengabdi dan
memajukan hal-hal baik di bidang rohani dan moral demikian pula nilai-nilai
sosio kultural yang terdapat pada mereka” (Nostra Aetate no 2. Baca juga Redemptoris Missio
no. 56).
Supaya dialog dengan
agama-agama lain membawa hasil yang memuaskan setiap pihak, maka perlu
memperhatikan norma-norma dialog:
· Dialog bermula apabila
manusia saling bertemu
Yang menjadi pusat
perhatian dalam dialog adalah manusia dari agama lain sebagai partner, sebagai
pribadi dan bukan sistem atau ajaran abstrak, teoritis dan tanpa relasi
pribadi. Menerima partner dialog dari agama lain tanpa prasyarat, prasangka dan
tidak mengkotakkan dia sebagai penganut agama tertentu. Prasyarat dialog
semacam ini adalah: menghargai, menghormati cara berpikir dan konteks berpikir
dari pihak lain, menghargai dan menghormati manusia lain sebagai manusia beriman.
· Dialog hanya dapat berhasil atas dasar saling pengertian
dan saling percaya
Melalui dialog akan
tersingkir salah pengertian dan sebaliknya terjalin rasa persahabatan dan
persudaraan. Maka perlu dijaga bahwa di dalam dialog ucapan-ucapan yang berbau
merendahkan pihak lain, yang bersifat agresif untuk menyerang harus dihindari.
Lewat saling pengertian dan saling percaya kita dapat mengatasi tembok yang
sudah berabad-abad dibangun dan diwariskan, dan dengan itu kita
belajar untuk memahami realitashidup agama lain, sehingga terciptalah satu
hidup bersama yang bukan hanya disamping yang lain, tetapi hidup bersama dengan dan demi yang lain.
· Dialog hanya dapat berhasil, apabila apologetisme dan
sikap mau benar sendiri dihilangkan (perlu sikap toleransi)
Dalam perjumpaan dengan
manusia dari agama lain, di satu pihak sikap absolutisme (yang menganggap
sendiri memiliki kebenaran sedangkan pihak lain tidak) harus dihindarkan. Juga
tidak diperkenankan hanya sekedar mempertahankan posisi yang eksklusivistis dan
rasa superioritas. Di pihak lain, dialog tidak boleh menghantar orang kepada
pandangan relativisme, pluralisme murahan, indeferentisme, liberalisme palsu
dan toleransi palsu; yang dibutuhkan adalah
toleransi/tenggangrasa yang tidak semu.
· Dialog adalah ajang kesaksian yang otentik
Di sini dimaksudkan bahwa
dalam dialog, orang Katolik berusaha bersikap sejati dan cinta, bukan tidak
kritis dan terbawa kiri kanan oleh pengaruh ajaran bermacam-macam (bdk. Ef 4:14-15). Apabila orang Katolik memasuki ajang dialog dalam persekutuannya dengan
Kristus, maka hubungan dialogal senantiasa merupakan kesempatan untuk memberi
kesaksian yang patut dipercaya. Serentak juga kita dapat memberi kepastian
kepada parter dialog bahwa kita bukan mau manipulasi mereka, melainkan mau
berjumpa dengan mereka sebagai kawan seperjalanan dalam ziarah bersama,
sehingga kita dapat berbicara dengan mereka tentang apa yang dilaksanakan oleh
Allah di dalam diri Yesus Kristus menurut keyakinan iman kita.
Memancarkan
Wajah Kristus
Sadar sebagai kawanan
kecil maka kita harus memacu diri untuk menjadi orang-orang Katolik yang
berkualitas, militan, unggul serta harus memiliki keutamaan-keutamaan kristiani
seperti keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh orang Samaria, yang menolong
sesama (sekalipun orang itu tidak
dikenalnya) sampai tuntas. Keutamaan kristiani yang dimaksud adalah seluruh
diri dan kepribadian Yesus harus mampu kita transfer dalam diri dan kehidupan
kita. Sebab bila kita ingin memancarkan wajah Yesus dalam kehidupan kita, maka
seluruh keutamaan-keutamaan Yesus harus kita miliki terlebih dahulu. Omong
kosong, jika kita mengatakan bahwa kita mampu memancarkan wajah Kristus, namun
kita tidak pernah berusaha untuk memiliki sikap-sikap dan keutamaan-keutamaan
Yesus Kristus.
Maka tema “Memancarkan
Wajah Kristus Melalui Gereja Yang Inklusif Dan Transformatif” hendaknya memacu
kita untuk menghadirkan wajah Kristus yang semasa hidupya dikenal sebagai sosok
yang selalu terbuka dan tidak pernah mengkotak-kotakkan. Kita perlu belajar
dari sikap Yesus Kristus sebagai gembala sejati dan tidak eksklusif yang bukan
hanya memperhatikan kawanan domba gembalaannya tetapi juga memperhatikan
domba-domba lain yang bukan dari kawanannya (“Ada
lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu
harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan
menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” Yoh 10:16). Selain sebagai sosok
yang inklusif Yesus juga memiliki segudang keutamaan-keutamaan yang nilainya
sangat luhur dan tidak pernah usang dimakan waktu, beberapa contoh:
·
Murah hati (Mat 20:15: “....iri hatikah
engkau karena Aku murah hati?
Rom.9:15: “Aku akan bermurah hati kepada
siapa aku mau bermurah hati).
·
Berbelas kasih (Mat 9:36: “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati
Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan telantar
seperti domba yang tidak bergembala.” Mat 20:34: “maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu ia menjamah mata
mereka dan seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti Dia”)
·
Pengampun (Luk 5:19-20:“Karena mereka
tidak dapat membawanya masuk berhubung dengan banyaknya orang di situ, naiklah
mereka ke atap rumah, lalu membongkar atap itu, dan menurunkan orang itu dengan
tempat tidurnya ke tengah-tengah orang banyak tepat di depan Yesus. Ketika Yesus
melihat iman mereka, berkatalah Ia: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni.” Lukas 5:24: “Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia
ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa”– berkatalah Ia kepada orang lumpuh
itu: “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke
rumahmu!”). Kisah Perempuan kedapatan berzinah, Yoh 8:11: “ Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum
engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
·
Penolong dan peduli
terhadap penderitaan sesama – Pembebas dan Pemberdaya (Luk 4:18-19: “Roh Tuhan
ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang.”)
Keutamaan-keutamaan Yesus inilah yang hendak kita
pancarkan dalam hidup harian kita dalam:
1.
Keluarga
2.
Komunitas Basis Gerejawi
(KBG)
·
Hasil penelitian yang dipertajam dalam diskusi Pra Sinode
di tingkat dekenat menunjukkan bahwa KBG yang ditetapkan sebagai kendaraan
pastoral sejak Sinode I, masih belum dipahami dengan baik oleh semua paroki.
Maka menjadi tugas kita semua untuk kembali menggairahkan KBG-KBG dengan
pemahaman yang baik dan benar. Bila KBG dipahami secara baik dan benar, maka
akan menjadi kekuatan bagi Gereja Katolik sebab KBG bukan hanya sebatas gerakan
di dalam Gereja, tetapi adalah Gereja itu sendiri, yang sedang bergerak maju.
KBG bukan untuk orang-orang tertentu (kaum ibu dan anak-anak, kaum profesional,
atau malah hanya bagi orang yang rajin dan saleh saja), melainkan untuk semua
orang, yang mau mengambil bagian, entah dia anggota Gereja, entah dia berada
dalam pinggiran Gereja, atau malah di luar Gereja sama sekalipun. KBG merupakan paguyuban terapan mendasar gerejani,
merupakan satuan basis gerejani itu sendiri.
·
Sebuah anjuran: Program pendampingan dan
pemberdayaan KBG harus terus menerus dilakukan sampai KBG sungguh-sungguh
dipahami dengan baik dan mampu mencapai tujuannya yakni sebagai komunitas
perjuangan untuk mencapai kesejahteraan rohani dan jasmani.
3.
Sekolah Katolik
Bagi
Gereja, lembaga pendidikan Katolik merupakan jalur strategis untuk mewartakan
kabar gembira bagi setiap orang. Ciri-ciri
Lembaga Pendidikan Katolik adalah: 1. Bersumber pada Kristus artinya segala
kegiatan terarah kepada Kristus sebagai teladan dan model hidup. 2. Sarana kerasulan mewartakan kabar gembira. 3. Unggul
dalam pembentukan manusia yang utuh meliputi aspek-aspek intelektualitas,
emosional, psiko-motorik, humaniora dan religiositas. 4. Memihak kepada kaum
lemah. 5. Menekankan kerjasama internal dan eksternal. 6. Dan luwes
dalam mencapai tujuan.
Hasil
penelitian di tiga dekenat menunjukkan bahwa Sekolah Katolik dikeluhkan oleh
umat Katolik karena biayanya yang mahal, sehingga
banyak anak Katolik tidak dapat mengenyam pendidikan di Sekolah
Katolik. Hasil penelitian ini kiranya menjadi masukan berharga bagi Sekolah
Katolik untuk kembali pada misinya yang memihak
kepada kaum lemah (ciri ke 4). Tidak dipungkiri bahwa operasional pendidikan
memang mahal, tetapi untuk anak-anak Katolik yang kurang mampu tetapi ingin
masuk di Sekolah Katolik bisa dicarikan
jalan keluar dengan bijaksana.
Dengan
demikian Sekolah Katolik juga menjadi komunitas yang memancarkan wajah Yesus
yang penuh belas kasih kepada setiap orang khususnya bagi mereka yang kurang
mampu.
- Rumah Sakit
Rumah Sakit juga
merupakan tempat yang strategis sebagai sarana pewartaan nilai-nilai Kristiani.
Kita
memiliki Yesus sebagai teladan dalam melayani. Semasa hidupNya di Palestina,
Yesus telah melayani dan menyembuhkan banyak orang sakit baik fisik maupun
spirituil dengan semangat kasih. Dan untuk menyelamatkan manusia Ia telah
mengorbankan diri sehabis-habisnya sampai wafat di salib. Hendaknya wajah Yesus
yang semasa hidupnya suka menolong dan menyembuhkan banyak orang juga memancar
di rumah Sakit/Poliklinik Katolik yang kita miliki.
Poliklinik yang kita
miliki keberadaannya tidak secerah dulu, kita perlu memikirkan nasibnya di masa
mendatang dan perlu dicarikan jalan keluar yang terbaik. Ini sebuah karya
sosial yang inklusif sehingga perlu dipertahankan.
5.
Karya-karya sosial yang
dibangun oleh kelompok kategorial
Karya-karya sosial
karitatif lainnya yang muncul dari kesadaran umat untuk membantu meringankan
beban penderitaan sesama baik secara jasmani maupun rohani adalah perwujudan
konkrit wajah Kristus yang senantiasa berpihak kepada orang miskin dan
menderita. Kita bersyukur bahwa ada gerakan umat peduli sesama yang bersifat
inklusif yang diprakasai oleh kaum awam seperti: Komunitas Cinta Kasih (KCK),
Komunitas Tritunggal Maha Kudus (KTM), Sant Egidio, Pancaran Kasih Bunda (PKB),
Legio Maria, Serikat Sosial St. Vincensius (SSV), PD Kharismatik, ME, Kelompok
Kerahiman Ilahi dan lain-lainl. Dengan kekhasan masing-masing mereka berusaha
untuk menjadi “orang-orang Samaria di
zaman ini”. Mereka ini melaksanakanSabda
Yesus di Sinagoga Nazareth (Luk 4:18-19).
Rekomendasi
SAGKI
Tema Sinode III mengajak kita
untuk memancarkan wajah Kristus kepada sesama tanpa membeda-bedakan, sementara
itu rekomendasi
hasil SAGKI 2010 yang mengangkat tema: “Ia Datang Supaya Semua
Memperoleh Hidup Dalam Kelimpahan”(bdk Yoh 10:10), mengajak umat Katolik
untuk melihat wajah Yesus Kristus dalam:
1.
Keberagaman budaya
·
Keberagaman budaya yang ada di Indonesia adalah suatu
kenyataan dan kekayaan yang patut disyukuri. Di dalam keberagaman budaya, Allah
hadir dan disapa dengan pelbagai macam nama. Kehadirannya dikenali melalui
orang dan unsur-unsur kebudayaan yang menghormati dan mencintai kehidupan.
KehadiranNya itu dimengerti oleh para pendukung setiap kebudayaan.
·
Gereja sebagai umat Allah yang percaya akan Yesus Kristus
menampilkan sikap hormat dan kasih terhadap kebudayaan. Gereja memperhatikan
dan menjunjung tinggi setiap bentuk kebaikan, kasih persaudaraan dan kebenaran
yang terdapat dalam kebudayaan. Gereja mengungkapkan diri dalam unsur-unsur
kebudayaan setelah dilakukan refleksi teologis yang sesuai dengan Injil, Tradisi dan Magisterium. Dalam perjumpaan
dengan kebudayaan setempat, Gereja diperbarui dan sekaligus memperbarui
beberapa unsur kebudayaan dengan kekuatan Injil.
2.
Dialog dengan agama dan
kepercayaan lain
·
Peserta SAGKI menyadari bahwa Gereja mampu menemukan
nilai-nilai injili dari para penganut agama dan kepercayaan lain. Maka Gereja
perlu keluar dari dirinya, menjumpai para pemeluk agama dan penganut
kepercayaan, sebagaimana yang diperlihatkan dan diajarkan oleh Yesus yang
berani terbuka dan mengambil
inisiatif untuk menyeberangi batas-batas agama dan budaya (bdk. Yoh 4). Melalui
perjumpaan tersebut, Gereja ditantang untuk menilai kembali imannya akan Yesus
Kristus.
·
Gereja mendengarkan ajakan Yesus untuk dengan rendah hati
belajar beriman dari setiap orang yang berkepercayaan (bdk Mat 8:10; Luk 7:9). Gereja
disadarkan akan pentingnya mewujudkan iman yang mendalam akan Kristus dalam
tindakan-tindakan kemanusiaan dan mengungkapkannya dalam ibadat. Dengan belajar
dari Yesus yang berwajah lembut, penuh empati dan pendoa, Gereja mengembangkan
kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik yang berasal dari pelbagai
agama dan kepercayaan untuk mengembangkan dialog dan aksi-aksi kemanusiaan demi
terwujudnya perdamaian (bdk Mat 9:13).
3.
Pergumulan hidup kaum
terpinggirkan dan terabaikan.
·
Gereja harus mengakui proses pemiskinan merupakan
pencideraan manusia yang adalah citra Allah yang luhur, mulia dan kudus (bdk.
Kej 1:26-27). Gereja memandang pribadi si miskin sebagai ”pewahyu” wajah Yesus
yang sedang menderita, yang terluka, tabah, menangis, karena Yesus hadir dalam
dirinya yang miskin, menderita, tertekan dan susah (bdk Mat 25:31-46).
·
Meneladani Yesus Sang Penyelamat, Pembebas, Penolong,
Pembawa Harapan, Gereja wajib solider dengan orang miskin. Solidaritas itu
dinyatakan melalui keberpihakan dan pemberdayaan orang miskin, tindakan berbagi
serta keterlibatan secara aktif dalam memperbaiki struktur atau sistem yang
tidak adil, dan memelihara lingkungan hidup.
Penutup
·
Memancarkan Wajah
Kristus berkaitan erat dengan tugas perutusan Gereja untuk mewartakan Injil.
Wajah Kristus yang diwartakan bukan berasal dari informasi melainkan dari
kontemplasi. Dengan kata lain wajah Kristus yang dilihat dan dialami itulah
yang kita beritakan, wartakan atau pancarkan kepada orang banyak. Menurut Paus
Paulus VI: Yesus Kristus dan InjilNya harus diwartakan terutama melalui
kesaksian hidup.
·
Keuskupan Denpasar menghadapi kenyataan keanekaragaman,
minoritas dan sebagian umat hidup dalam garis kemiskinan.Berdasarkan kenyataan ini kita perlu membangun Gereja yang terbuka
(inklusif) dan kehadiran Gereja hendaknya mampu membawa perubahan ke arah yang
lebih baik (transformatif) dan bukan larut dengan situasi yang ada.
·
Keuskupan Denpasar yang
menghadapi
kenyataan, sebagian umatnya hidup dalam
garis kemiskinan, maka perlu adanya solidaritas antara si kaya dan simiskin dan juga
program-program pemberdayaan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinannya.
Tidak mudah memang tetapi kita harus berjuang.
·
Keuskupan Denpasar menghadapi kenyataan bahwa KBG yang
sejak tahun 2001 dicanangkan sebagai kendaraan berpastoral, hingga saat ini
belum dipahami dengan baik dan benar oleh semua paroki. Tetapi ada juga berita
yang membahagiakan karena ada paroki yang sudah memahami dengan baik dan benar
sehingga KBG itu mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Maka perlu kembali
diadakan sosialisai KBG khususnya bagi paroki-paroki yang belum memiliki KBG
atau sudah memiliki KBG tetapi belum berfungsi dengan baik dan benar.
·
Dari berbagai persoalan yang dihadapi Gereja Lokal Keuskupan
Denpasar kita perlu belajar dari sosok “Orang
Samaria yang baik hati sebagai cerminan sosok Yesus sendiri”. Dua kali Ahli Taurat itu menelan pil pahit dan harus menjawab
sendiri pertanyaannya dan dua kali Yesus mengatakan, “perbuatlah demikian.” Tidak relevan lagi bagi umat kristiani untuk bertanya
siapakah sesamaku manusia? Karena sesama bagi kita adalah semua manusia tanpa
pandang bulu. Yesus mengajarkan bahwa fokus perhatian kita hendaknya berupaya
menjadi sesama yang baik bagi semua orang. Yesus dalam Mat. 5:46-47 mengatakan:
“Apabila kamu mengasihi orang yang
mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?
Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah
lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal
Allahpun berbuat demikian?”
Upaya
menjadi sesama bagi semua orang rupanya tidak selalu mudah. Jika meneladan
orang Samaria itu berarti kita perlu menolong semua yang membutuhkan
pertolongan tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih. Kesediaan menolong sesama
biasanya disertai juga dengan kesediaan untuk mengorbankan perhatian, waktu,
tenaga, harta dan siap mengambil resiko.Orang Samaria adalah sosok yang
memancarkan wajah Yesus yang penuh belas kasih, memberikan pertolongan tanpa
melihat siapa yang ditolong, tanpa pamrih dan tuntas. Perikop ini cocok dengan
wajah Keuskupan Denpasar yang beranekaragam, kawanan kecil di tengah-tengah
agama mayoritas serta sebagian umat masih terbelit oleh situasi kemiskinan yang
senantiasa membutuhkan uluran tangan dari “orang-orang
Samaria” di zaman ini.
Semoga paparan ini dapat memberi input untuk melangkah menuju perumusan
visi misi Keuskupan Denpasar dan arah karya pastoral Keuskupan Denpasar
2012-2016. Kiranya Sinode ini juga mampu merumuskan program-program konkrit
yang mampu menjawabi persoalan mendasar di Keuskupan kita.
Comments
Post a Comment