TEMUAN PENELITIAN BERDASARKAN METODE WAWANCARA (TOKOH-TOKOH LINTAS AGAMA
Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani
Jangan
Ada Mayoritas dan Minoritas
Prof.Dr.dr.Luh Ketut Suryani adalah salah satu tokoh perempuan
Bali yang cukup disegani. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ini juga dikenal sebagai psikiater dan bertempat tinggal di Jalan Gandapura
Kesiman Denpasar. Apa pandangannya
tentang Gereja Katolik di Bali, berikut ini penuturannya kepada Blasius Naya Manuk,S.Pd yang
mewawancaranya untuk masukan bagi penyelenggaraan Sinode III Keuskupan
Denpasar.
Sudahkah Gereja Katholik
dalam hal ini orang (umat) dan institusi di masa lalu dan masa kini
menampilkan cita-cita Gereja Katolik yang inklusif dan transformatif dalam
kehidupan nyata? Ketika pertanyaan ini disodorkan kepada
tokoh perempuan Bali Prof.Dr.dr. Luh Ketut Suryani, ia
mengatakan,berbicara mengenai Gereja Katolik yang inklusif
dan transformatif, ia berharap agar umat Katolik
jangan menyinggung perasaan umat beragama lain.
Prof.Suryani menjelaskan pula keresahan sebagian besar orang Bali
akan penataan pembangunan di Bali
yang semakin menghilangkan nuansa
Bali.Maka diharapkan agar Gereja Katolik juga memperhatikan penataan
pembangunan gedung gereja agar tidak menyinggung perasaan umat beragama lain. Dalam
menjalankan upacara keagamaan, kiranya umat
Katolik perlu mengedepankan tepo
seliro dan mengatur supaya ibadat tetap jalan, tetapi jalan raya juga
jangan ditutup. Bila umat Katolik sudah memberi contoh melakukan
seperti itu, yang lain pun akan berbuat demikian.
Atas pertanyaan apakah dirinya juga dapat melihat hal-hal yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi Gereja Katolik untuk mewujudkan
cita-cita Gereja yang inklusif dan transformatif, Prof. Suryani
katakan, kekuatannya, suatu hal yang positif ialah bahwa siapa saja yang mau ke Gereja, tanpa pandang suku atau
agama boleh saja. Asalkan dengan tujuan yang baik dan untuk sembayang.Ini suatu
contoh bahwa Gereja itu inklusif. Kecuali kalau orang ke gereja
dengan maksud jahat atau
mengganggu.Selain itu, pergaulan kami dengan para romo
juga sangat bagus. Kami sering belajar bersama. Saya juga selalu menyampaikan
kepada romo bahwa romo
boleh saja datang menyebarkan agama dan berkegiatan di Bali asal jangan mengagamakan kami, karena kami sudah
beragama.
Kelemahannya: Prof. Suryani
katakan, hal yang menjadi kelemahan
dari Gereja Katolik sebagaimana yang saya tahu dan alami adalah,
kenyataan bahwa dalam Gereja juga masih ada sikap dan perlakuan yang memantik permusuhan dengan orang lain. Ini harus
dihilangkan.
Peluangnya: Prof. Suryani katakan, hal yang menjadi peluang yang
perlu dimanfaatkan Gereja Katolik untuk membangun kehidupan yang inklusif
dan trransformatif adalah bagaimana memperjuangkan agar
ajaran agama itu benar-benar masuk dalam diri dan menjadi “way of life” tanpa
perlu mengatakan saya Katolik. Ajaran agama sebaiknya tidak hanya menyentuh
otak tapi hati dan bisa dipraktekkan. Karena
proses pengajaran itu tidak hanya
teori, tapi praktek hidup yang baik. Karena itu kita semua perlu meresapkan
filosofi agama dengan baik. Untuk mengamalkan ajaran agama itu, keluarga
memegang peranan kunci untuk menanamkan nilai-nilai ajaran agama seperti kedamaian, kasih sayang dan
cinta.
Ancamannya: menurut Prof. Suryani, ancaman yang kita bersama
hadapi adalah masih kuatnya pengaruh pandangan mayoritas dan minoritas.
Seolah-olah yang mayoritas lebih diprioritaskan dari yang minoritas. Hal ini
melahirkan tindakan diskriminasi dari kalangan mayoritas terhadap yang
minoritas. Untuk itu ke depan kita tidak perlu berpikir mayoritas dan minoritas
karena kita semua sama-sama berarti di dalam hidup ini. Pemerintah dalam segala hal tidak boleh
melakukan diskriminasi. Misalnya jangan memaksakan semua orang Indonesia harus
berbusana batik. Biarkan juga daerah lain berkembang dengan kekhasan daerahnya
seperti di Bali dengan kain endeknya dan daerah lain dengan kekhasannya.
Atas pertanyaan apa harapannya terhadap Gereja Katolik ke depan,
Prof.Suryani katakan, yang menjadi harapan saya kepada Gereja Katolik adalah,
bisakah umat Katolik meresapkan filosofi agamanya ke dalam dirinya dan menjadi “way
of life?” Saya memperhatikan ada banyak keluarga yang hidup dengan situasi
yang tertekan karena kurangnya kasih sayang. Mungkin ke depan Gereja Katolik bisa lebih
menekankan soal bagaimana membangun hidup yang penuh kasih sayang dan cinta
mulai dalam keluarga, karena keluarga adalah kunci penanaman nilai. Bila
keluarga hidup penuh kasih sayang dan cinta, maka itu akan meluas ke dalam
pergaulan hidup di tengah masyarakat. Blasius Naya Manuk,SPd***
Bishop GKPB Pdt. Drs. I Wayan Sudira Husada, M.MGereja Harus Lebih Memperhatikan Kaum Papa
Pdt. Drs. I Wayan Sudira Husada, M.M lahir di Tihingan Banjang
Angkan, Kabupaten Klungkung Bali 28 Maret 1953, menyelesaikan S1
Teologi di UKSW Surakarta. Saat ini ia menjabat sebagai Bishop GKPB. Alamat
yang bisa dihubungi, Kantor Bishop GKPB Kapal Badung. Nomor yang bisa dihubungi
HP 0811388127. Untuk mendapatkan masukan-masukan bagi penyelenggaraan Sinode
III Keuskupan Denpasar Agustinus Apollo Daton mewawancaranya.
Berikut hasil wawancara.
Gereja Katolik selama ini sudah cukup memperlihatkan perannya di
bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan lainnya. Pandangan Gereja Katolik
juga dinilai sudah jauh lebih maju dibandingGereja
lainnya tentang keselamatan, di mana keselamatan melalui Yesus Kristus juga ada
pada agama lain. Pandangan seperti ini diinspirasi oleh Konsili
Vatikan II. Bahwa kemudian, belum sepenuhnya terlaksana sampai ke level
terbawah dalam struktur Gereja Katolik, persoalannya lebih pada masalah
sosialisasi.
Bishop Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Pdt. Drs. I Wayan
Sudira Husada, M.M menilai pilihan tema Sinode III Keuskupan Denpasar
“Memancarkan Wajah Kristus Melalui Gereja Yang Inklusif Dan
Transformatif” sangat tepat. Tema tersebut sangat bagus dan kami sangat senang
dengan tema tersebut. Hal ini sesuai dengan
Firman Tuhan dalam 2 Korintus pasal
3 ayat 18, bahwa semua orang Kristen merupakan Tubuh
Yesus Kristus.
Sebagai Tubuh Yesus kita harus memacarkan wajah Yesus di tengah masyarakat
yang sangat mejemuk.Memahami Yesus berarti memahami kerendahan hati Allah, yang
kudus dan suci, namun menyentuh orang di kelompok terbawah yang tersisih, tak
berdaya dan orang berdosa. Justru dalam kekudusan Yesus merendahkan diri, yang
dibuktikan dengan menderita, mati di salib untuk mengangkat manusia, agar
manusia mempunyai nilai, sebagai ciptaan Allah yang mulia. Itu sesungguhnya
wajah Kristus yang harus diperankan oleh Gereja di tengah
masyarakat.
Bishop Husada mengaku agak prihatin, melihat peran Gereja
sekarang ini. Masih banyak di antara kita, baik Katolik maupun Protestan,
belum menampakkan wajah Kristus, melalui keterlibatan dan respek kepada kaum
papa. Sebagian dari kita masih suka memilih-milih orang. Semestinya yang
ditolong adalah orang-orang yang tidak beruntung. Tetapi dalam kenyataannya, Gereja
justru lebih banyak memihak kepada orang-orang yang berdaya, elit dan mampu,
baik secara ekonomi, jasmani maupun rohani.
Oleh karena itu sangat tepat Keuskupan Denpasar yang mewilayahi
Bali dan NTB mengangkat tema “Memancarkan Wajah Kristus Melalui Gereja Yang
Inklusif Dan Transformatif” dalam Sinode III yang berlangsung November 2011.
Hal ini merupakan momentum introspeksi untuk melihat kembali apakah dalam keseharian
Gereja sudah memancarkan wajah Kristus? Sebagai masukan,
introspeksi ini nantinya bisa dirumuskan dalam program-program nyata dan aksi
konkret Gereja Katolik dengan segenap hirarkinya. Bahkan, sangat bagus kalau
hasil rumusan Sinode III nantinya bisa dibagikan kepada gereja-gereja
Protestan, khususnya GKPB.
Peran Gereja Katolik, sudah cukup menonjol di bidang pendidikan
dan pelayanan kesehatan. Pendidikan dengan identitas Katolik (dan juga
Protestan) selalu mengedepankan mutu. Persoalan mutu erat kaitannya dengan
masalah sumber daya, termasuk finansial. Di sini, menjadi tantangan tersendiri,
bagimana ke depan pendidikan dengan identitas Kristen juga bisa menampung
sebanyak mungkin orang Kristen (Katolik maupun Protestan) dari keluarga tidak
mampu, namun anaknya cerdas. Bagaimana kita bisa menampakkan wajah Yesus
keluar, kalau ke dalam internal sendiri justru kita abaikan.
Keterlibatan orang-orang Katolik dalam politik
praktis, dinilainya sebagai bentuk “perlawanan” terhadap realitas praktik
politik di tanah air, yang tak lagi berhati nurani. Apalagi kecenderungan
pengambilan keputusan politik di Indonesia saat ini bukan lagi berlandaskan
pada kepentingan bersama, tetapi lebih pada suara terbanyak. Akibatnya,
kelompok minoritas cenderung terpinggirkan. Namunorang-orang Kristen tidak
boleh pasrah pada kenyataan ini. Para rohaniwan justru perlu mendorong kaum
awam untuk terlibat dalam politik, tidak hanya dalam pengertian praktis, tetapi
ikut mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara melalui karya-karya sosial
kemasyarakatan.Agustinus Apollo Daton***
Made Arga Pynatih (Wakil Bupati Buleleng)
Tidak
Ada Minoritas atau Mayoritas Di Buleleng
Made Arga Pynatih adalah Wakil Bupati Kabupaten Buleleng. Dalam
rangka Sinode III Keuskupan Denpasar, perlu mendapatkan masukan-masukan, saran
dan kritik dari birokrat. Untuk itu Maisir mewawancarainya di kediamannya di
Kota Singaraja. Berikut hasil wawancara tersebut.
Meski terbilang kecil dalam segi jumlah, namun umat Katolik di
Kabupaten Buleleng telah memainkan peran yang cukup signifikan dalam dinamika
pembangunan. Demikian juga peran Gereja secara institusi, telah memberi
kontribusi riil dalam banyak bidang kehidupan di wilayah ini.
Peran yang sama juga ditunjukan oleh umat agama lain seperti
Islam, Kristen maupun Budha. Semua umat beragama di Buleleng, sesuai kapasitas
masing-masing, telah memainkan peranan yang strategis dalam derap pembangunan
wilayah ini, sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh umat Hindu sebagai umat
dengan jumlah terbesar.
Dalam konteks demikian, alangkah tidak elok apabila ada dikotomi
antara kelompok “minoritas” dan
“mayoritas” dalam kehidupan bersama. Tidak ada istilah minoritas atau mayoritas
di Buleleng. Pemerintah selalu berusaha memperlakukan setiap kelompok umat
beragama setara dan proporsional. Perdebatan mengenai sedikit atau banyaknya
jumlah umat suatu agama adalah hal yang tidak substantif dan cenderung
kontraproduktif. Sebab yang terpenting adalah bagaimana kehadiran semua agama
dapat menjadi “berkat” bagi semua orang.
Dalam konteks
pembangunan, segenap kelompok umat beragama diharapkan bisa bersama-sama
membangun daerah dalam nuansa toleransi dan solidaritas yang jujur serta
mengupayakan dialog yang terbuka untuk kebaikan bersama.Gereja dan umat Katolik
di Buleleng sudah melakukan prinsip-prinsip tersebut.Kontribusi Gereja atau
umat Katolik dalam pembangunan di Buleleng sudah cukup besar. Secara institusional,
kontribusi Gereja Katolik yang paling nyata adalah di bidang pendidikan dan
kesehatan. Sementara umat Katolik baik secara indivual mapun komunitas juga
cukup aktif dalam pembangunan. Ada yang menjadi guru, dosen, perawat, pangusaha
dan sebagainya. Dan kesemuanya itu bermanfaat bagi Buleleng.
Dalam bidang
kesehatan misalnya, kehadiran BKIA Panti Sila dipandang telah memberikan jasa
layanan kesehatan secara bertanggungjawab.Saya melihat, dan ini benar,
pelayanan di Panti Sila dilakukan secara sungguh-sungguh dengan sebuah
tanggungjawab moral yang kuat. Sejauh ini saya belum pernah mendengar adanya keluhan dari
masyarakat apalagi sampai diprotes. Ibu saya melahirkan adik-adik saya di Panti Sila.
Dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah swasta Katolik juga telah
banyak berkontribusi. Kualitas dan disiplin yang tinggi menjadi “warna”
tersendiri dalam dunia pendidikan di Buleleng. Dari lembaga pendidikan Katolik,
lahir begitu banyak manusia yang berkualitas dalam banyak bidang
kehidupan.Itulah kontribusi nyata Gereja dan umat Katolik.
Keterlibatan Gereja dan umat Katolik dalam kehidupan sosial, dan
ekonomi terutama Koperasi patut diapresiasi. Terhadap perkoperasian, Wabup Arga menekankan pentingnya
kaidah-kaidah dasar koperasi seperti kebersamaan, kesetaraan, dan kesejahteraan
anggota. Maka jangan berorientasi pada profit melulu. Oleh karena itu, pengurus
diharapkan mampu menjadikan koperasi sebagai wadah yang mampu berorientasi
terhadap perkembangan sosial, terutama peningkatan kesejahteraan anggotanya. Kalau koperasi
berhasil, maka masyarakat pasti sejahtera.
Hubungan antara umat Katolik dengan Pemerintah daerah, seperti
yang sudah saya katakan sebelumnya, umat Katolik telah memberi warna tersendiri
dalam dinamika pembangunan Buleleng. Memang, ada juga satu dua orang yang
terkesan “berlebihan” dalam mengekspresikan sesuatu, namun secara umum masih
dalam konteks kewajaran.Di lain sisi, pemerintah daerah tetap memainkan
fungsi-fungsi fasilitasi, pembinaan dan mendorong partisipasi.Sebagai Wakil
Bupati, saya tentu berharap banyak masukan agar fungsi-fungsi tersebut dapat
berjalan optimal.Yosef Maisir ***
I Dewa Gede Ngurah Swastha, SH
Bantuan Sosial Boleh, Asal Jangan Disertai Titipan
Injil
I Dewa Gede Ngurah Swastha,SH adalah Petajuh Bendesa Agung Majelis Utama
Desa Pakraman Provinsi Bali, masih keturunan Dalam Waturenggong.Ia juga Wakil Ketua FKUB Bali dan Anggota Badan
Koordinasi Pengamanan Bali. Alamat Rumah
Jalan Pulau Adi No 51 Denpasar. Untuk mendapatkan masukan-masukan, kritik dan
saran dalam rangka Sinode III Keuskupan Denpasar Agustinus Apollo Daton
mewawancaranya. Berikut hasil wawancara tersebut.
Kerukunan antarumat beragama
di Bali sudah ada sejak dulu. Sejak zaman Dalam
Waturenggong (Raja Bali) kerukunan itu sudah ada, karena ketika masuk Bali,
Sang Raja sudah membawa pengikut-pengikutnya yang sebagian besar adalah umat
muslim. Jadi Bali tidak boleh digoyahkan soal kerukunan. Masyarakat Bali selalu
terbuka kepada siapa saja yang datang ke Bali. Satu yang kita pegang yakni Desa
Kala Patra atau Desa Mawacara, artinya dimana bumi dipijak di sana langit
dijunjung. Nah, umat Katolik sebagai pendatang diminta untuk Desa Kala Patra atau
Desa Mawacara.
Agar terjadi keharmonisan
hubungan, umat Katolik diminta menghargai local genius di masing-masing
tempat dimana Gereja Katolik berada. Aturan ditaati, lokal geniusnya dihormati, terutama bagi siapa saja yang datang
di desa tersebut. Kalau itu yang dipegang dan ditaati kerukunan pasti terjaga.
Hukumnya ditaati local wisdomnya dihormati.
Umat Hindu di Bali sangat welcome,
terbuka dengan pendatang.Karakter orang Bali selalu terbuka, sehingga dengan
mudah menerima semua golongan. Asal tidak ada niat mengubah kearifan lokal di
Bali dan tidak ada niat mengubah Bali
jadi Kristen. Orang Kristen perlu renungkan pesan Mahatma Gandhi kepada seorang
misionaris Kristen yang datang padanya.
Jadikan Kami lebih Hindu, maka Anda akan lebih Kristen.
Dalam kehidupan antarumat
beragama dan bermasyarakat, umat mesti saling membaur satu dengan yang lain,
tanpa ada pembatas (inklusif).Para tokoh antaragama harus memberi contoh dan
teladan agar menjadi pijakan umat di tingkat bawah. Hanya dalam tata perayaan agama
boleh eksklusif, tapi dalam kehidupan bermasyarakat mestinya inklusif. Dulu
kami melihat umat Katolik itu fanatik, keras dan tegas dengan aturan. Namun
saat ini, umat Katolik sudah tidak eksklusif lagi.
Keberadaan karya sosial dan
bantuan sosial yang dilakukan Gereja Katolik di Bali diakui dan diapresiasi.
Munculnya isu kristenisasi disebabkan karena salah
penafsiran dan umat sendiri kurang waspada. Karya sosial dan bantuan sosial
boleh saja dilakukan, asal tidak terbukti mengajak umat Hindu untuk masuk
Katolik.
Isu kristenisasi juga berdampak positif buat Bali dan tokoh-tokoh agama
Hindu agar lebih memperhatikan dan menyejahterakan umat dan rakyatnya. Saya
kagum dengan lembaga sosial, karya sosial yang ada di Katolik dan Islam. Saya
lihat, lembaga sosial Kristen dan Katolik tidak diskriminatif, karena misi sosial
itu berkaitan dengan kemanusiaan. Namun karya sosial atau bantuan sosial itu
tidak disertai dengan menitip Injil atau Kitab Suci kepada umat
yang dibantu.Agustinus Apollo Daton***
Prof.Dr. I Made Titib, Ph.D
Jangan Iming-iming Umat Hindu Masuk Katolik
Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D adalah Ketua PHDI Pusat, Korwil Bali
dan Nusra. Ia juga adalah Rektor IHDN Denpasar. Alamat Rumah Jalan Trengguli I/3 Denpasar Untuk
mendapatkan masukan-masukan, kritik dan saran
dalam rangka Sinode III Keuskupan Denpasar Agustinus Apollo Daton mewawancaranya. Berikut hasil wawancara tersebut.
Hubungan antara umat Hindu dan Katolik di Bali sudah terjalin
sejak lama bahkan sejak puluhan tahun silam. Hendaknya hubungan harmoni yang
telah terbangun puluhan tahun harus tetap dijaga. Yang terpenting umat Hindu jangan
disakiti, dilecehkan. Kalau terjadi maka akan dilawan bahkan sampai puputan.Yang
tidak dibenarkan adalah mengiming-iming, memaksa umat Hindu agar masuk Katolik.
Kalau itu yang terjadi maka, merupakan awal sumber konflik antarumat Katolik
dan Hindu. Kalau orang masuk Katolik dengan hati nurani sendiri, tidak masalah.
Kehadiran karya sosial Gereja Katolik sangat membantu umat Hindu
di Bali. Seperti lembaga pendidikan, umat Hindu bangga bila menyekolahkan
anakya di Sekolah Katolik. Terkait isu kritenisasi, saat ini jarang kedengaran
lagi. Hal ini disebabkan karena umat Hindu mulai sadar. Ada penelitian yang
menyebutkan, saat ini umat Hindu yang masuk Katolik kembali ke agama asalnya (rekonversi).
Dalam beberapa tahun terakhir, saya tidak dengar lagi isu kristenisasi. Peranan
FKUB sangat penting dalam menyelesaikan masalah-masalah antaragama.
Saya meminta hirarki Gereja meningkatkan kesadaran umat Katolik agar menjaga identitas
Bali.Jangan sampai menggunakan simbol-simbol agama Hindu pada upacara perayaan agama. Boleh memakai
penjor, asal hanya sebatas dekorasi. Pelihara masing-masing tradisi, gunakan
identitas masing-masing. Selama ini tidak ada friksi antarumat Katolik dan
Hindu.
Berkaitan dengan lembaga pendidikan Katolik saya berharap agar
menyediakan guru-guru agama Hindu di Sekolah Katolik.
Karena itu yang dihargai sebagai budi pekerti dan undang-undang sistem
pendidikan nasional mewajibkan untuk itu. Biarlah burung-burung mencari cabang
kayu. Jangan kayu bercabang mencari burung. Biarlah masing-masing umat mencari
agamanya, biarlah umat Hindu mencari identitas dan agamanya, jangan diajak dan
diiming-iming materi. Bila memberi atau membantu, bantulah dengan ikhlas
tanpa meminta imbalan.Agustinus Apollo Daton***
Cahaya Wirawan Hadi
Gerakan
Sosial Hanya Internal, Eksternal Pasif
Cahaya Wirawan Hadi adalah Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa
Bali. Alamat Rumah Jalan Raya Puputan Renon 128 Denpasar. Untuk mendapatkan
masukan-masukan, kritik dan saran dalam
rangka Sinode III keuskupan Denpasar Agustinus Apollo Daton mewawancaranya. Berikut hasil wawancara tersebut.
Gerakan sosial
kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dilakukan Gereja Katolik sudah bagus, hanya
saja masih sebatas di kalangan internal umat Katolik.Saya lihat gerakan sosial
atau bantuan sosial dari Gereja Katolik bagi umat lain (eksternal) masih
kurang. Bantuan
sosialnya masih sebatas di kalangan internal umat Katolik. Mohon maaf, anda
jangan tersinggung. Gerakan sosial ke masyarakat dan lingkungan nyaris tak
pernah terdengar.
Terus terang saja saya prihatin dan kecewa dengan lembaga
pendidikan Swastiastu (sekarang St. Yoseph)yang dulunya sangat populer dan
bermutu. Bahkan di tahun 1970-an orang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di
Swastiastu. Sekarang St. Yoseph tak ada yang berubah baik fisik maupun
kualitas.
Dulu, di tahun 70-an sekolah ini pilihan terbaik, sekarang ini
tidak ada popularitasnya. Kerjasama dengan lembaga pendidikan lain nyaris tidak
ada. Swastiastu sudah “kalah” dengan lembaga pendidikan yang setara yang baru
dibangun belakangan.Saya bangga dengan Swastiastu tahun 1970-an. Saya alumni di
situ. Sekarang saya prihatin, sedih melihat tak ada perubahannnya. Di luar
sana, termasuk para alumni selalu berbicara, sebaiknya dananya dipakai untuk
pengembangan fisik dan kualitas pendidikan.
Gerakan Agama Katolik hanya untuk kalangan internal saja. Dengan
Sinode III ini, momentum bagi umat Katolik bangkit dengan gerakan sosial, dan
bantuan sosial untuk kalangan eksternal. Misalnya, di hari
Natal dan Paskah menggelar aksi sosial kemanusiaan, membagi sembako tidak hanya
kepada sesama umat Katolik, tapi juga untuk umat non-Katolik.Dengan
gerakan sosial secara rutin, apakah tidak dicurigai sebagai upaya membujuk atau
mengiming-iming menjadi Katolik? Sepanjang bantuan dilakukan dengan iklas,
tanpa ada motif lain, tidak ada masalah. Dengan potensi dan kemampuan yang
dimiliki Gereja Katolik, hal itu bisa dilakukan dan bisa dalam skala yang lebih besar.
Bantuan sosial kemanusiaan itu tanpa batas, yang dilakukan dengan
tulus dan iklas. Kami di Konghucu melakukan hal itu secara rutin. Kami undang mereka datang ke
tempat sembahyang, setelah kami selesai berdoa, mereka dibagikan kupon sembako.Bantuan
kita itu tepat sasaran untuk keluarga miskin, sebaiknya berkoordinasi dengan
aparat Pemerintah desa setempat. Aparat desa setempat lebih tahu siapa dan
berapa jumlah keluarga miskin yang layak dibantu.Agustinus Apollo Daton***
Drs. Ketut Wiana, M.Ag
Jangan
Rebut Kuantitas Tapi Kualitas
Drs. Ketut Wiana, Mag adalah Ketua Sabha Walaka Parisada Pusat.
Alamat Rumah Jalan Kembang Matahari No 17 Denpasar. Untuk mendapatkan
masukan-masukan, kritik dan saran dalam
rangka Sinode III keuskupan Denpasar Agustinus Apollo Daton mewawancaranya.
Berikut hasil wawancara tersebut.
Agama Hindu mengajarkan, tinggalkan agama yang tidak mengajarkan
cinta kasih. Dengan ajaran ini umat Hindu di Bali sejak jaman dulu selalu
terbuka dan menabur cinta kasih kepada siapa saja, kelompok mana saja yang
hidup berdampingan dengan umat Hindu di pulau Bali. Dalam realitas kehidupan
antarumat beragama selalu ada persaingan antarlembaga agama untuk
menyejahterakan umat. Sebagai umat Hindu, kita tidak boleh tersinggung dengan
apa yang dilakukan Gereja Katolik berkaitan dengan karya sosial di tengah
masyarakat. Sepanjang aktivitas tersebut memberikesejahtraan pada
umat, silahkan saja. Karena bantuan kemanusiaan itu tanpa mengenal batas atau tanpa
diskriminatif.
Dalam teori persaingan, persaingan mesti dilawan dengan persaingan
yang elegan, bermartabat dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup umat
beragama. Orang kuat imannya tidak boleh tersinggung dan mengakui kelebihan
orang atau kelompok lain. Kelebihan atau keunggulan kelompok lain, mesti dilawan
dengan keunggulan dan kelebihan. Para pemimpin umat bersainglah dengan sehat
dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas iman umat. Negara mengharapkan
agama melakukan aktivitas sosialnya untuk kesejahteraan rakyat.
Terkait isu kristenisasi saya mendengar
isu tersebut beberapa tahun yang lalu. Namun akhir-akhir ini isu tersebut mulai
redup, bahkan tidak terdengar lagi seiring dengan kesadaran umat Hindu akan
agama yang dianut. Saya berterima kasih kepada Gereja Katolik, karena
melalui lembaga atau karya sosial di bidang pendidikan membantu melahirkan dan
mencerdaskan sumber daya umat Hindu di Bali. Mereka masuk Sekolah
Katolik, tapi tetap beragama Hindu.
Masing-masing agama punya kelebihan dan kekurangan. Agar menjadi
inklusif dalam kehidupan antarumat beragama di tengah masyarakat sebaiknya
teologi masing-masing agama disingkirkan. Menurutnya, yang diperlukan kerukunan
antarumat beragama dijaga dan kebersamaan atau sinergi antarumat dalam
menangani dan melestarikan kerusakan alam dan lingkungan. Harapan saya,
bersainglah secara elegan, jangan saling berhadap-hadapan, jangan memanfaatkan
kesempatan dan jangan menyerang masing-masing kelemahan. Karena inilah sumber
dari segala sumber konflik antarumat beragama. Sebaiknya bersinergi antarumat
untuk menghadapi kerusakan alam dan moral manusia yang kian merosot saban hari.
Partisipasi umat Katolik dalam perpolitikan di Bali boleh-boleh saja dan tak bermasalah,
sepanjang dilakukan dengan cara-cara bermartabat. Politik adalah pengabdian.
Umat Katolik yang mau tampil di panggung politik harus punya prinsip. Politik
tanpa prinsip akan menimbulkan dosa sosial.Ke depan, setiap aktivitas Gereja Katolik
di Bali tidak menjadi sumber konflik bagi kerukunan antarumat beragama yang
telah terjalin harmonis selama ini.Agustinus Apollo Daton***
Tuan Guru Prof. Zaiful Muslim
Umat
Katolik NTB Tidak Pernah Meresahkan
Tuan Guru Prof. Zaiful Muslim lahir di Lombok Tengah 9 September 1943.
Doktor Manajemen ini adalah Ketua MUI
NTB dan bertempat tinggal di Jalan Pelita 18 Mataram. Nomor telepon yang bisa dihubungi: 081907085757.
Tanggapan terhadap Sinode III: Tuan Guru Prof. Zaiful Muslim
mengatakan bahwa sinode yang akan dilaksanakan merupakan
suatu hal yang bagus untuk melihat perkembangan kehidupan
umat Katolik selama lima tahun. Atas pertanyaan apakah Gereja Katolik sudah terbuka dan membawa perubahan keluar atau
hanya memikirkan masalahnya sendiri, ia tidak bisa memberikan penjelasan yang
pasti. Menurutnya sebagai seorang tokoh Muslim, ia melihat Gereja
Katolik sudah
berjalan sesuai dengan misinya.
Apakah Gereja Katolik sudah cukup di kenal oleh masyarakat NTB?
Atas pertanyaan ini Prof. Zaiful Muslim menegaskan umat Katolik di NTB (Lombok dan Sumbawa) sudah
cukup dikenal. Apakah umat Katolik
khususnya
tokoh-tokohnya bisa memberi masukan atau membawa masalah, ditegaskannya,
sejauh yang ia lihat selama lima tahun terakhir umat Katolik khususnya tokoh-tokohnya sudah cukup bagus dalam
komunikasi dan kerja sama dengan tokoh-tokoh agama lain. Sekarang ini saya
melihat, belum pernah umat Katolik
di NTB ini membuat masalah yang meresahkan kehidupan masyarakat.
Tentang peran Gereja Katolik dalam bidang
pendidikan di NTB Prof. Zaiful Muslim mengatakan, beliau melihat hal ini sangat
bagus karena telah meningkatkan mutu pendidikan di wilayah NTB. Pendidikan
Katolik sejauh pengetahuannya tidak mengkatolikkan tetapi fokus pada hal-hal
pendidikan untuk semua orang. Yang seperti ini perlu terus dikembangkan.
Tentang keberadaan Rumah Sakit Katolik Antonius di Karang Ujung Ampenan, Prof.
Zaiful Muslim mengatakan sangat bagus sekali.Pelayanan bukan hanya untuk masyarakat kota Mataram saja tapi juga masyarakat dari tempat
kelahirannya di Lombok Tengah. Sejak dahulu masyarakat dari banyak daerah di
Lombok ini bahkan Sumbawa juga datang ke
Rumah Sakit Karang Ujung.
Tentang peran Gereja Katolik dalam bidang ekonomi dengan
adanya koperasi simpan pinjam, ia mengatakan sepanjang tujuannya sesuai dengan
tujuan koperasi itu bagus. Yang kita hindari kalau di balik itu ada
maksud-maksud tertentu. Kalau orang lapar diberi makan, maka bisamacem-macem.
Maka perlu diperhatikan agar pelayanan koperasi ini tidak dimaksudkan sebagai
cara untuk menarik umat lain yang dapat menggangu kerukunan hidup beragama.
Soal kerja sama umat khususnya tokoh-tokoh Katolik dengan tokoh agama lain
khususnya agama Islam, Prof. Zaiful Muslim tegaskan, sepanjang pengalamannya memimpin organisasi
Islam beliau melihat selalu ada kerja sama yang baik. Tidak
ada soal yang menyebabkan terjadinya disharmoni. Setiap ada persoalan keagamaan
kita selalu berkomunikasi. Sampai saat ini belum pernah ada persoalan. Tetapi
hubungan dan komunikasi masyarakat Islam dan Katolik perlu ditingkatkan.
Bagaimana dengan isu kristenisasi? Menurut
Prof. Zaiful Muslim isu ini didengar
terus menerus. Ia menyesalkan hal ini. Para tokoh agama wajib berdakwah tetapi
hendaknya yang didakwahi jangan orang yang sudah beragama supaya tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Dakwah hendaknya ditujukan untuk kalangan umat Kristen atau ke dalam supaya meningkatkan ketakwaan dan meningkatkan penghayatan pesan-pesan
moral keagamaan.
Masukan untuk pelaksanaan Sinode III, Prof.
Zaiful Muslim mengajak, mari kita bekerja sama untuk membangun NTB ini. Kita
mesti menaati aturan-aturan yang ada khususnya dalam berdakwah. Kalau peraturan Pemerintah ditaati tidak akan ada masalah. Kalau ada ketaatan dan rasa
kebersamaan untuk membangun NTB niscaya akan terjadi kerukunan. Kalau ada
masalah, marilah kita selesaikan bersama. Jangan sampai kita menunjukkan bahwa
kita besar, ini akan menyebabkan kecemburuan sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Rm. Kadek
Aryana, Pr***
Ir. Lalu
Winengan, MM, MD
Bicarakan
Kebersamaan: Dalam Dan
Luar Gereja
Ir. Lalu Winengan, MM. MD lahir di Lombok Timur
11 April 1970,berpendidikan Magister dan saat ini adalah Ketua KNPI NTB. Ia
adalah Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Lombok Barat dan tinggal di Jalan Batu Brenge Dasan
Sari. Nomor HP yang bisa dihubungi: 087865880688.
Tanggapan terhadap Sinode III Keuskupan Denpasar, Ir. Lalu Winengan
MM. MD mengatakan sidang ini sangat baik dilaksanakan karena membicarakan
kehidupan menggereja. Penting dibicarakan dalam sinode tersebut kebersamaan
umat Katolik baik di dalam maupun di luar. Tidak satu agamapun yang
menyetujui kekerasan. Karena perubahan sekarang begitu cepat, menurutnyasidang
dilaksanakan tidak hanya lima tahun sekali kalau perlu sidang setiap tahun.
Gereja perlu terbuka. Gereja bukan hanya gedung atau tempat ibadah tetapi juga
tempat musyawarah. Sama seperti mesjid.
Di NTB tidak dikenal istilah Katolik. Yang dikenal itu Kristen.
Yang kenal nama ‘Katolik’ hanya para tokoh agama. Hal itu terjadi karena umat Katolik
dan tokoh Katolik kurang terbuka. Kalian perlu terbuka dan melakukan
sosialisasi diri. Di Lombok ada pandangan bahwa yang ibadah di depan rumah
sakit umum dan di sebelah pom bensin Ampenan itu Katolik,sedangkan yang
protestan itu yang ada di Jalan Bung Hatta dan di sebelah Taman Mayura.
Menurut Ir. Lalu Winengan MM. MD, pendidikan Sekolah
Katolik yang dilakukan di Lombok ini sangat luar biasa. Pelayanan
pendidikan yang diberikan sangat terbuka. Tidak mengkhususkan
orang Katolik saja tetapi agama lain. Sekolah Katolik
juga memberikan pelajaran agama sesuai dengan agama siswa yang sekolah di
tempatnya. Dari segi mutu sangat luar biasa. Sebagai contoh pada jaman ia
sekolah di SMA I Mataram, hanya SMA Katolik Kesuma yang dapat menyaingi SMA I
Mataram. Baginya sekolah Katolik telah memberikan banyak sumbangan bagi pedidikan masyarakat
NTB. Sekolah Katolik selama ini adalah sekolah yang terbaik diantara
sekolah-sekolah swasta yang ada di NTB.
Bagaimana pandangannya tentang Rumah
Sakit Katolik? Keberadaannya di
tengah masyarakat itu sangat luar biasa. Terbuka dan diterima oleh masyarakat.
Bahkan tokoh-tokoh Islam banyak yang berobat di sana. Salah satu teman saya di
perpolitikan meninggal di Rumah Sakit Itu. Sayangnya, sekali lagi orang tahu
itu rumah sakit Kristen bukan Katolik.
Tentang isu kristenisasi Ir. Lalu Winengan MM. MD katakan,
sekarang ini isu-isu kristenisasi dari suatu kelembagaan kurang didengar. Hanya
ada sedikit kristenisasi melalui
perkawinan. Tapi dulu ada beberapa gereja dan tokoh yang melakukan itu. Beliau menyebut seorang tokoh Kristen, Pak
Markus, yang sering memberikan bantuan sosial
namun merekrut anggota untuk masuk kelompoknya atau supaya masuk Kristen.
Masyarakat Lombok mengetahui bahwa Pak
Markus itu Katolik, padahal sekarang dia tokoh Protestan. Nah, menurut beliau
hal-hal seperti inilah yang harus disampaikan dalam dialog atau komunikasi
dengan tokoh-tokoh agama lain. Dakwah hendaknya ditujukan untuk kalangan Kristen
atau Katolik sendiri.
Bagaimana pandangan tentang tokoh Katolik yang berpolitik? Menurutnya, sekarang ini tidak ada tokoh Katolik
yang masuk dalam dunia perpolitikan khususnya di NTB. Memang ada beberapa yang
terlibat di partai politik tetapi mereka dikenal sebagai tokoh Kristen.
Tokoh-tokoh itu pun bukan tokoh besar. Memang dulu ada tokoh-tokoh besar
seperti Pak Norbert Ama Ngongo, Pak
Bernadus Sore, juga dosen saya dulu, Pak Aris.
Masukan untuk sinode, kalau sidang sinode dua setengah tahun sekali. Supaya perkembangan umat cepat diketahui, Gereja Katolik
perlu lebih terbuka. Dan tolong, dalam sinode dibicarakan soal kebersamaan di
dalam Gereja maupun di luar. Rm. Kadek Aryana***
Mamiek Ansar
Bersama
Wujudkan Kerukunan di NTB
Mamiel Ansar lahir di Mataram dan
berpendidikan Magister. Jabatan sekarang
Ketua Adat Masyarakat Sasak Lombok. Ia adalah Dosen Universitas 45 dan
tinggal di Jalan Langko, Mataram. Nomor telpon yang bisa dihubungi: 0370621434.
Tanggapannya terhadap Sinode III Keuskupan Denpasar: Sinode adalah sebuah acara yang sangat positip
untuk melihat perkembangan kehidupan umat Katolik dan merencanakan arah umat
untuk semakin berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat NTB.
Apakah pemimpin dan umat Katolik di wilayah NTB terbuka dan membawa
perubahan terhadap masyarakat NTB,menurut Mamiek Ansar, tokoh dan umat Katolik
NTB sekarang belum terlalu terbuka. Memang ada satu atau dua orang yang sudah terbuka
dan mengikuti kegiatan-kegiatan khususnya dengan adanya FKUB (Forum Kerukunan Umat
Beragama). Keterbukaan hanya sebatas silaturahmi waktu
ada upacara keagamaan, acara yang dibuat Pemerintah atau kesempatan-kesempatan
tertentu saja.
Atas pertanyaan apakah tokoh dan umat Katolik sudah membawa perubahan, ia
mengatakan, memang ada satu dua tokoh umat Katolik yang saya lihat cukup
berpengaruh dan mewarnai kehidupan masyarakat NTB. Tetapi
masih sangat sedikit. Saya ingat sosok Bapak Norbert Ama Ngongo demikian pula
kawan saya Bapak Bernardus Sore.
Apakah umat Katolik dikenal di NTB, Ansar
katakan, umat Katolik tidak terlalu dikenal oleh masyarakat NTB. Yang
dikenal adalah umat kristiani. Orang disini sulit membedakan mana Katolik mana
Protestan. Pokoknya semuanya Kristen.Bagi saya yang Katolik di Lombok ini ya
umat yang gerejanya
di depan Rumah Sakit Umum, dan di Panen Abadi Ampenan.
Apakah kehadiran umat Katolik di NTB membawa pengaruh positip atau malah
mendatangkan masalah, Mamiek Ansar katakan, seperti masyarakat lain pasti ada
saja pengaruh kehadiran umat Katolik di NTB. Yang jelas sampai
sekarang ini saya melihat bahwa umat Katolik tidak pernah membuat masalah.
Malah waktu kerusuhan itu mereka malah mendapat masalah yang kita semua
sebenarnya tidak inginkan.
Tentang pelayanan Gereja Katolik di bidang kesehatan ia katakan
kehadiran Rumah
Sakit Katolik
di wilayah NTB sangat membantu masyarakat. Pelayanan Rumah Sakit Katolik
yakni,Rumah
Sakit Karang Ujung,
memang sudah cukup lama dikenal oleh
masyarakat Lombok.
Pelayanannya bersifat umum dan tidak membeda-bedakan pasien. Sekarang saya
melihat juga Rumah Sakit tersebut bekerja sama dengan rumah sakit lain.
Pelayanan kesehatan ini perlu ditingkatkan lagi.
Sementara itu di bidang pendidikan, saya
melihat keberadaan Sekolah-Sekolah Katolik di wilayah NTB memberikan
banyak sumbangan bagi peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM)
di wilayah NTB. Sebagai sekolah swasta,Sekolah Katolik memiliki kualitas yang bagus. Ketika
sekolah negeri masih sedikit, Sekolah
Katolik menjadi
saingan utama sekolah negeri. Saya juga salut bahwa Sekolah Katolik sangat
memperhatikan pelajaran agama para siswanya. Masing-masing siswa diberi
kesempatan belajar agama menurut agamanya. Bagi saya sebagai sebuah pengetahuan
sebenarnya tidak masalah kalau siswa belajar agama lain agar dapat mengerti
agama lain. Dengan demikian menambah wawasan mereka dan dapat bergaul dengan luas.
Bagaimana tentang keterlibatan umat Katolik di bidang politik? Mamiek Ansar katakan, dulu ada beberapa tokoh Katolik yang terlibat dalam kehidupan politik
karena ada wadah atau partai
Katolik. Sekarang
tidak ada partai Katolik.
Beberapa tokoh Katolik
masuk dalam partai nasional namun belum mendapatkan suara dari masyarakat.
Masukan untuk Sinode, selamat mengikuti sinode. Semoga kita dapat
bekerja sama dalam mewujudkan kerukanan di NTB yang majemuk. Senang sekali bila
bisa ikut hadir dalam acara Sinode tersebut.
Rm. Kadek Aryana,Pr***
Drs.
Benediktus Haro, M.Pd
Iman
Harus Membumi
“Sinode III adalah sebuah momentum yang sangat
strategis dan kesempatan saling bertemunya para imam dengan tokoh-tokoh umat
dan kalangan biarawan-biarawati di keuskupan kita di bawah bimbingan dan
pimpinan Bapa Uskup. Sinode ini menjadi strategis untuk merefleksikan
perjalanan karya pastoral Keuskupan
Denpasar yang telah berjalan beberapa tahun silam ini.”
Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Katolik Kantor
Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Drs. Benediktus Haro,
M.Pd, menuturkan hal di atas kepada Hironimus Adil, dalam sebuah wawancara via
telepon akhir Oktober lalu. Menurut Pak Beni, demikian sapaan akrab pria
kelahiran 15 Mei 1964 ini, perlu ada evaluasi bersama dan secara menyeluruh
terhadap perjalanan karya pastoral dan dari evaluasi itu dapat merumuskan
langkah-langkah strategis dalam wujud arah karya pastoral serta visi dan misi
Keuskupan Denpasar ke depan.
“Kita berharap adanya arah karya pastoral, visi dan
misi yang relevan dengan kebutuhan umat maupun situasi sosial kemasyarakatan di
keuskupan ini”,demikian katanya. Ke depan, lanjutnya, fokus pada peningkatan
iman umat juga tetap menjadi poin perhatian, dan yang utama justru iman umat
harus membumi sesuai dengan kondisi dan budaya setempat. Artinya, bagaimana
ajaran iman Katolik yang luhur itu menjadi daya dorong untuk kita berbuat
kebaikan di tengah masyarakat, baik secara pribadi maupun secara komunitas
melalui karya-karya pastoral yang dapat menyentuh tidak saja demi kesejahteraan
umat melainkan juga masyarakat umum di sekeliling kita.Dalam melakukan
perbuatan baik itu tentu tetap menghargai dan memperhatikan situasi dan budaya
masyarakat setempat.
Terkait dengan cita-cita “Memancarkan Wajah Kristus Melalui Gereja Yang
InklusifDan Transformatif”, sebagaimana tema Sinode III, Pak
Beni justru menyarankan agar itu dimulai dari perilaku umat sendiri, yakni
saling terbuka dan meninggalkan sukuisme dalam Gereja. Karena itu sangat
diharapkan supaya sekat-sekat sukuisme dalam Gereja harus ditiadakan, dan
mengedepankan semangat Gereja yang satu, kudus, Katolik dan apostolik. Harapan ini berkaitan erat dengan semangat
Gereja yang inklusif dan transformatif.
Ditanya bidang kehidupan
yang paling urgen untuk dibenahi dan diperhatikan Gereja Keuskupan Denpasar
saat ini dan ke depan, menurut Pembimas Katolik NTB yang telah menjabat sejak
26 Februari 2002 itu adalah aspek ekonomi umat dan pendidikan. Dari aspek
ekonomi umat, perlu secara serius memperhatikan dan membantu beberapa kantong
Katolik yang kesejahteraan umatnya masih perlu ditingkatkan seperti di Donggo
dan beberapa wilayah lainnya. Demikian
pula dari aspek pendidikan, perlu perhatian riil kepada jaminan pendidikan
terutama bagi keluarga kurang mampu. “Pepatah klasik mengatakan kurangnya
pendidikan sangat dekat dengan kebodohan, dan kebodohan sangat dekat dengan
kemiskinan,” demikian pak Beni menyitir salah satu pepatah yang cukup populer,
yang menggambarkan betapa pentingnya pendidikan bagi perbaikan kesejahteraan
manusia.
Bimas Katolik sendiri, sebagai mitra sekaligus
jembatan penghubung antara Gereja dan
Pemerintah, menurut Pak Beni, memiliki beberapa program strategis dalam
menjawab persoalan kesejahteraan umat di atas. Dan supaya program itu
terlaksana perlu ada kerjasama yang baik antara Gereja dengan Pemerintah (Bimas
Katolik). “Kita mempunyai program bantuan Block Grant (dana hibah) untuk
membantu pemberdayaan masyarakat (umat). Kegiatannya bisa berupa
pelatihan-pelatihan, misalnya pelatihan keterampilan atau pelatihan menciptakan
peluang usaha ekonomi rumah tangga. Pemerintah akan menyediakan fasilitasnya
berupa pendanaan kegiatan/pelatihan, Gereja hanya menyediakan tenaga pelatih
dan orang-orang yang akan ikut dalam pelatihan dan sepenuhnya untuk mendanai
tenaga ini dari dana block grantitu,” urainya.
Sementara itu dalam bidang pendidikan, menurut Pembimas Katolik
yang juga sangat aktif sebagai pengurus Dewan Pastoral Paroki Mataram dan Dewan
Pastoral Dekenat NTB ini, selama kurang lebih empat tahun terakhir Bimas Katolik NTB memiliki program bantuan
beasiswa bagi pelajar SD hingga SMA dari keluarga kurang mampu. Pada tahun 2011 ini, Bimas Katolik NTB membiaya
pendidikan para siswa SD dan SMP sebanyak 28 orang dan pelajar SMA 17 orang.
“Program beasiswa ini sudah menjadi program tetap Bimas Katolik NTB. Pada tahun
2012 nanti kita akan memberikan beasiswa juga kepada mahasiswa S1 dan S2,”
ujarnya. Pak Beni berharap, Gereja pun perlu pro aktif memperhatikan
orang-orang muda yang potensial namun terkendala oleh biaya pendidikan. “Mereka
harus dibantu,” katanya.
Ketika ditanya soal
pendapatnya bahwa di tengah masyarakat umum, Gereja Katolik kurang dikenal
secara spesifik, di mana masyarakat hanya mengenal kristiani secara umum,
menurut Pembimas NTB ini, hal tersebut juga cukup dirasakan di daerahnya. Menurut pak Beni, itu disebabkan karena awam kita
kurang berani bersosialisasi dengan komunitas lain di luar Gereja Katolik. Hal
ini diperkuat pula oleh pandangan kaum klerus (imam) kita yang masih menganggap
politik itu bukan urusan Gereja. Padahal awam membutuhkan dorongan riil maupun
dorongan moral para imam agar mereka bisa
bergerak, tidak alergi politik dan pada gilirannya memiliki keberanian dan
militansi untuk berjuang di tengah masyarakat termasuk membangun komunikasi dan
kerjasama dengan komunitas lain.
Pak Beni sangat tidak meragukan sumber daya Gereja
termasuk SDM yang dimiliki. “Sumber daya kita termasuk SDM bagus, tetapi
keberanian kita yang kurang. Perlu ada dorongan riil dan nasehat moral dari para imam selaku pemimpin Gereja supaya kaum
awam kita bergerak,” tegasnya. Di masa lalu, kata pak Beni, awam Katolik banyak
yang sangat militan dan dikenal luas karena
posisi maupun perjuangannya. Itu karena ada gembala yang menuntun dan mendorong
mereka. Sebut saja Mgr. Sugyopranoto, uskup pribumi pertama yang terkenal
dengan semboyan menjadi Katolik 100% dan Indonesia 100%. Demikian pula Rm.
Beck, SJ, yang serius melakukan kaderisasi bagi kaum awam yang dikenal dengan
“Kasebul” (kaderisasi sebulan).
Kendati demikian, menurut Pak Beni, dialog dalam
berbagai bentuk seperti dialog karya maupun dialog kehidupan saat ini, Gereja
sudah menjalankannya dengan baik dan itu sungguh dirasakan. Dia mencontohkan di
Mataram, setiap ada perayaan keagamaan saudara-saudara yang Islam atau Hindu,
Gereja ikut berpartipasi melalui bantuan berupa bahan kebutuhan pokok atau
menyumbangkan hewan kurban kepada komunitas Islam saat Idul Fitri. Masih ada juga bantuan dalam
bentuk lainnya. Demikian pula dalam ranah kerja sama lintas agama maupun dalam
bentuk pertemuan-pertemuan, Gereja cukup pro aktif.
Agar Gereja Katolik semakin dikenal dan ada dalam hati
masyarakat maka dialog itu jangan
pernah berhenti. Oleh karena itu, Komisi
Kerasulan Awam perlu diperhatikan dan diberdayakan dan selanjutnya memberikan
peran yang luas bagi kaum awam untuk mengekspresikan diri. Demikian pula komisi
Hubungan Antaragama dan
Kepercayaan (HAK). “Perlu lebih gencar lagi dalam membangun komunikasi dan
silahturahmi. Kita di NTB, sudah menjadi program tetap bahwa setiap hari raya
keagamaan tertentu kita melakukan kunjungan kepada Pemerintah, para Tuan Guru,
Pedanda, maupun tokoh agama dan tokoh berpengaruh lainnya,” katanya.
Hubungan Gereja Katolik dengan Pemerintah daerah selama ini, menurut Pak Beni, sangat baik dan
istimewanya Gereja yang pro aktif membangun hubungan baik itu. Hal itu,
katanya, tidak terlepas dari seorang figur yang pernah berkarya di NTB, yakni
Rm. Rosarius Geli, SVD, mantan Deken NTB. “Saya pribadi mengagumi figur seperti
Romo Rosarius Geli, dia telah meletakkan dasar
yang baik dalam membangun hubungan akrab dengan Pemerintah dan masyarakat di
NTB. Romo Rius sangat dikenal di kalangan Pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Itu
bisamenjadi contoh bagi kami dan umat lain serta para imam di NTB untuk
melanjutkannya, sehingga kondisi NTB menjadi sangat kondusif.”
Dampak ril yang dirasakan
dari hubungan baik itu, salah satunya adalah ketika berhembus isu akan terjadi
gangguan keamanan di NTB pada akhir Oktober lalu, Gubernur NTB dan aparat
keamanan langsung berkoordinasi dengan para tokoh agama demi antisipasi dan
menenangkan masyarakat.
Di akhir wawancara, Pak Beni, menitipkan pesan agar
Sinode III dapat menghasilkan arah karya pastoral yang sesuai kebutuhan umat
yang mendesak serta program pastoral yang terukur dan menyentuh kebutuhan.
“Bukan program-program yang hanya indah di atas kertas,” harapnya.
Berbicra tentang KBG, menurut Pak Beni, masih sangat
relevan dan strategis sebagai kendaraan berpastoral. “KBG masih relevan dan
strategis sebagai kendaraan berpastoral, karena KBG merupakan cara hidup
menggereja yang sangat efektif, komunitasnya kecil, mudah saling mengenal,
saling mengetahui masalah dan kebutuhannya serta saling rindu untuk bertemu.
Semua itu ada di KBG,” tuturnya.Hironimus Adil***
Drs.
Ludovikus Lena, MM
Orang
Katolik Belum Mewarnai Masyarakat
Drs. Lodovikus Lena,MM
lahir di Ngada 1 Oktober 1965 dan
sekarang adalah Pembimas Katolik di
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali. Ia tinggal di
Jalan Letda Tantular Civic Centre Denpasar Bali. Nomor yang bisa
dihubungi 0361-224072, Fax 0361-222716, HP 08124610067. Dalam rangka menggali
masukan untuk Sinode III Keuskupan Denpasar, Agust G Thuru mewawancarainya. Berikut hasil wawancara tersebut.
Gereja Katolik Keuskupan Denpasar yang meliputi wilayah Bali,
Lombok dan Sumbawa akan menyelenggarakan Sinode III. Sinode adalah semacam
Sidang Raya dimana pimpinan Gereja mengundang umat untuk rapat lima tahunan.
Menurut saya, sinode merupakan momentum yang sangat tepat untuk melihat
kembali/merefleksikan karya pastoral Gereja Katolik Keuskupan Denpasar selama
lima tahun yang lalu dalam segala aspek kehidupan baik aspek keagamaan,
pendidikan, sosial, ekonomi. Melalui sinode, semua unsur umat dilibatkan untuk
memberikan penilaian, evaluasi dan masukan, aspirasi sehingga dapat menyusun
visi, misi dan program serta kegiatan konkrit lima tahun ke depan untuk
pengembangan karya pastoral Gereja Katolik Keuskupan Denpasar dan juga untuk
meningkatkan kualitas ke-Katolik-an dan kualitas ke-Indonesia-an masyarakat Katolik
di Bali. Melalui sinode, dengan mempertimbangkan pencapaian program lima tahun
yang lalu seiring dengan berbagai perubahan situasi, perlu menyusun visi, misi
dan program baru serta kegiatan-kegiatan konkrit yang tepat sasaran.
Sinode III Keuskupan Denpasar menetapkan tema Memancarkan Wajah
Kristus Melalui Gereja Yang Inklusif Dan Transformatif. Menurut saya, tema ini sangat bagus karena
selain tuntutan globalisasi dan modernisasi, Gereja Katolik Keuskupan Denpasar
berada di tengah-tengah dua kelompok agama besar yaitu Agama Hindu di Pulau
Bali dan Agama Islam di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Gereja Katolik yang diinginkan oleh umat dan pimpinan Gereja
Katolik adalah Gereja Katolik yang inklusif, terbuka dan memasyarakat. Menurut
saya, Gereja Katolik belum
inklusif/belum memasyarakat sepenuhnya. Hal ini disebabkan kekurangan imam
dan agen pastoral Gereja dalam memancarkan wajah Kristus.
Gereja Katolik yang dikehendaki adalah yang transformatif, membangun dialog dengan Pemerintah,
dengan tokoh agama dan dengan umat beragama. Menurut pengamatan saya,
akhir-akhir ini, khususnya Gereja Katolik Lokal Keuskupan Denpasar yang digembalai
oleh Mgr. Dr.Silvester San, sudah mulai transformatif, membangun dialog dengan
Pemerintah, dengan tokoh agama dan dengan umat beragama lain.
Kehadiran Gereja
Katolik di tengah masyarakat menurut saya, belum seluruhnya dikenal karena
kurangnya agen pastoral dan kurangnya pemberdayaan agen pastoral yang
ada.Kehadiran umat Katolik di masyarakat mayoritas belum memberi warna atau
pengaruh positif. Meski demikian peran Gereja Katolik sudah menjadi bagian dari
penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan.
Sejak awal kehadirannya di Pulau Bali, Karya pelayanan Gereja
Katolik di yang cukup menonjol, di antaranya adalah bidang pendidikan,
kesehatan dan sosial ekonomi. Ini merupakan karya yang sudah bagus. Hanya saja
di era persaingan seperti dewasa ini perlu penguatan dan peningkatan kualitas
lembaga-lembaga tersebut diatas, karena kalau tidak, suatu saat lembaga lembaga
tersebut bisa redup bahkan bisa padam karena kalah kompetisi. Kehadiran Sekolah-Sekolah
Katolik telah turut mencerdaskan masyarakat Bali. Namun Sekolah Katolik harus
inklusif tapi tidak kehilangan identitas kekatolikannya dan membangun lagi
komunikasi, kerjasama dengan mitra (Pemerintah dan lembaga
terkait lainnya).
Di bidang kesehatan
Gereja Katolik mendirikan rumah sakit, poliklinik atau BKIA.Karya
pelayanan kesehatan sudah baik, tapi saya mengusulkan lebih
memperhatikan lagi masyarakat yang miskin dan tidak mampu. Di bidang sosial
ekonomi, Gereja Katolik mendirikan koperasi kredit yang terbuka bagi kelompok
umat beragama lain. Ini sesuatu yang bagus dan hal ini menunjukkan bahwa kita
sudah mulai memancarkan wajah Kristus kepada kelompok umat beragama lain dengan
semangat cinta kasih, kekeluargaan dan persaudaraan sejati.
Gereja Katolik juga menjalankan karya-karya sosial seperti panti
jompo dan panti asuhan. Ini karya bagus karena memperhatikan mereka yang tidak
berdaya dan perlu penguatan lembaga tersebut dari Gereja.
Saat ini Pemerintah Provinsi Bali sedang gencar dengan gerakan Bali
Green Province dan Bali Clean Province. Gereja Katolik harus mendukung dan menyukseskan program Pemerintah
ini. Tanggungjawab clean and green bukan tanggung jawab Pemerintah
saja, melainkan seluruh masyarakat termasuk masyarakat Katolik.
Sedikit sekali orang Katolik yang terjun ke dunia Politik. Hal itu
terjadi di Bali maupun Lombok dan Sumbawa. Saya kira bukan karena umat Katolik
minoritas dan bukan pula tidak ada kemauan dari umat Katolik untuk ambil bagian
dalam politik, tetapi karena Gereja kurang memperhatikan kaderisasi awam
melalui pendidikan dalam segala bidang khususnya dalam bidang politik.
Gereja Katolik bisa diajak bekerja sama dengan Pemerintah setempat
dan harus bisa bekerjasama dengan Pemerintah. Pemerintah dan Gereja Katolik
adalah mitra kerja yang dapat bergandengan tangan untuk melayani, memfasilitasi
masyarakat agar mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Pelayanan dan
pengabdian kepada umat semakin efektif dan produktif bila terjalin komunikasi,
koordinasi dan kerjasama yang konstruktif antara Gereja Katolik dan Pemerintah.
Pembangunan masyarakat bukan hanya tugas dan tanggung jawab Pemerintah tetapi
menjadi tugas dan tanggungjawab semua elemen termasuk Gereja Katolik.
Gereja Katolik di
Bali adalah kelompok minoritas ditengah mayoritas umat Hindu, namun Gereja
Katolik ikut menjaga dan menciptakan suasana yang kondusif dan membangun
kerukunan dan persaudaraan sejati dengan umat Hindu. Umat Katolik di Bali
adalah warga Negara Indonesia. Saya berharap sebagai warga negara, umat Katolik
harus menaati peraturan-peraturan yang berlaku dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagai warga negara, misalnya bayar pajak, memelihara
lingkungan, ikutserta dalam pembangunan.
Di masyarakat banyak beredar isu adanya kristenisasi. Tanggapan
saya, itukan isu dan isu itu belum tentu benar. Sidang raya ini sudah pasti
mengeluarkan dana yang tidak sedikit oleh karena itu perlu dipersiapkan,
direncanakan dan dilaksanakan secara baik sehingga dapat menghasilkan suatu
visi, misi dan program strategis serta kegiatan-kegiatan konkrit untuk pengembangan karya pastoral
Gereja Katolik Keuskupan Denpasar lima tahun ke depan. Agus Gedho Thuru***
Comments
Post a Comment