Relasi Dengan Masyarakat Mayoritas Hindu Di Bali
1. Sensus Penduduk Tahun 2000
menunjukkan persentase orang Katolik di seluruh Bali hanya sebesar 0,76% dari
seluruh populasi (Bali Dalam Angka 2010). Menurut Sensus 2000, warga Hindumencapai 87,44%;Muslim
(10,29%), Kristen dan Katolik
(1,72%), Buddha (0,53%), lain-lain (0,02%) dari seluruh populasi(Lihat
Leo Suryadinata et
al, Indonesia’s Population, Singapore: ISAS, 2003, hlm. 171).
2. Pada
tahun 2010, jumlah umat Katolik di Bali (28.702 jiwa menurut data Puspas) hanya
sebesar 0,74% dari seluruh populasi
(3.891.428 jiwa menurut data BPS hasil sensus 2010). Terlihat ada
perbedaan kecil: 0,76% di tahun 2000 dan 0,74% di tahun 2010. Perbedaan ini mungkin
disebabkan karena untuk tahun 2010, data jumlah umat Katolik kita ambil dari
data Puspas bukan dari data hasil Sensus Penduduk. Terlepas dari hal tersebut,
kita tidak melihat gejala akan terjadi kenaikan signifikan dalam persentase
jumlah orang Katolik di Bali.
3. Menjadi minoritas di tengah
masyarakat Hindu-Bali menjadi tantangan tersendiri bagi umat Katolik. Secara
umum bisa dikatakan bahwa dewasa ini umat
Katolik di Dekenat Bali Barat dan Bali Timur menikmati
iklim toleransi yang baik dari mayoritas umat Hindu-Bali.Dibandingkan dengan
paroki-paroki di Dekenat NTB yang memiliki sejarah perusakan gedung gereja oleh
mayoritas Islam,
kondisi hubungan dengan penduduk mayoritas Hindu tergolong baik.
4.
Tidak
ada laporan tentang larangan beribadat atau gangguan dari warga mayoritas Hindu.
5.
Ada keluhan dari beberapa paroki di perkotaan, antara
lain Katedral, Kuta, St. Petrus Denpasar, St Yosep Kepundung, Nusa Dua dan
Gianyar tentang adanya kesulitan mencari tempat untuk melakukan
kegiatan-kegiatan di KBG dan lingkungan/sektor. Banyak umat di paroki-paroki
perkotaan ini hidup sebagai pendatang yang tinggal di “kos-kosan.” Kesulitan
mencari tempat pertemuan terjadi bukan karena masyarakat sekitar menolak
melainkan karena dianggap mengganggu oleh pemilik kos-kosan.
6.
Juga ada kesulitan dalam mengurus perijinan membangun rumah ibadat,
terutama untuk
kasus Katedral.
7. Muncul
banyak keluhan di kalangan umat pendatang terkait sulitnya mendapatkan KTP.
Peraturan adat (awig-awig)Desa Pekraman dirasakan sangat membatasi kaum pendatang
untuk mendapatkan KTP walau mereka sudah
lama tinggal di wilayah tersebut.
Awig-awig desa adat juga menimbulkan persoalan-persoalan lain bagi umat,
semisal kesulitan mendapatkan tanah pekuburan.
8. Di
beberapa tempat memang terjadi konflik-konflik
antarwarga, antara lain di
wilayah Singaraja dan Gianyar. Konflik-konflik tersebut lebih dipicu oleh persoalan
politik,
desa adat atau perselisihan tentang batas desa, kuburan, banjar
dan lain-lain. Gesekan
terbuka antaragama tidak pernah terjadi. Di
Kabupaten
Buleleng, semisal,
para pecalang ikut menjaga keamanan di tempat-tempat ibadah, baik gereja maupun
masjid, pada saat hari-hari raya keagamaan.
9. Umat Katolik di paroki-paroki dan
stasi-stasi pedesaan
yang berbasis umat etnis Bali membangun
sistem pemaksan yang memudahkan mereka
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakat dan adat, seperti
perkawinan, kematian, dan lain-lain. Mereka juga sudah mengembangkan pola-pola
hubungan baik dengan saudara-saudari beragama Hindu, antara lain dengan kebiasaan
ngejot (saling mengirimkan makanan pada umat beragama lain pada hari
raya), sima krama(dialog antar sesama warga) pada kesempatan-kesempatan
tertentu.
10. Umat Katolik tinggal dalam
daerah-daerah kantong, baik di wilayah pedesaan maupun di pinggiran kota
seperti Tuka, Babakan, Kulibul, Palasari, Gumbrih, yang memungkinkan mereka memiliki
pengaruh pada
level banjar
atau bahkan desa.
11. Harus
diakui, di kalangan tokoh-tokoh Hindu masih ada kekuatiran perihal
kristenisasi. Meski demikian, mereka mengakui di tahun-tahun belakangan ini isu
kristenisasi sudah menurun. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dirasakan
berperan positif dalam hal ini. Lihat poin 2.4.2.
12. Toleransi yang relatif baik dari umat Hindu-Bali tentu
saja harus disyukuri.
Meski demikian, perlu
disadari bahwa situasi yang relatif
“nyaman” ini bisa
membuat orang Katolik di Bali kurang
tertantang.
Relasi Dengan Umat Mayoritas Muslim Di NTB
1. Menjadi minoritas di tengah
masyarakat Islam menimbulkan
persoalan dan ketegangan tersendiri.
2. Paroki
Dompu menikmati iklim toleransi yang baik dari mayoritas Islam: “Penduduk Dompu yang berjumlah
sekitar 200.000 jiwa, mayoritas beragama Islam sedangkan minoritas terdiri dari
umat Hindu, Kristen dan Katolik. Keberadaan umat Katolik di Dompu tidak menjadi
persoalan bagi masyarakat sekitar karena kehadiran umat Katolik di Dompu sudah
berlangsung lama.”
3. Paroki-paroki lainnya
di NTB memiliki trauma akibat kerusuhan dan perusakan rumah ibadat.
4. Pada
tahun 1969 semua bangunan gereja di wilayah Quasi Paroki Donggo (ketika itu
masih stasi dari paroki Bima) dibakar massa dan orang-orang Katolik dipaksa
pindah agama. Persoalan bisa diatasi setelah Bimas Katolik Provinsi NTB (Bpk.
Paulus Boli) melakukan pendekatan dengan Pemerintah
Kabupaten Bima.
5. Paroki
Bima pernah mengalami peristiwa yang dikenal dengan nama “Peristiwa Kulit
Babi.” Jumat 27
September 1979 terjadi kemarahan umat Islam yang diikuti dengan pembakaran asrama karena
mereka menemukan kulit babi diletakkan di dekat mimbar imam sebelum sholat
Jumat. Kasdim Kodim Bima Kapten Samadi menangkap dan memaksa Moses Pua Seda
sebagai pelaku. Dalam persidangan terungkap bahwa Kapten Samadi sendirilah
yang melakukannya
untuk menyulut kerusuhan agama demi menjadi pahlawan dalam meredam kerusuhan.
6. Paroki
Praya: Pendirian rumah
ibadat tahun 1986 mendapat penolakan keras dari masyarakat. Tanggal
7 September 1998
pastoran dan gudang gereja dibakar massa.Tanggal 17
Januari 2000 terjadi Kerusuhan Mataram, atau dikenal dengan istilah
“Peristiwa 171.”
Trauma akibat kerusuhan tersebut membuat banyak umat kembali ke daerah asalnya
di Jawa dan NTT sehingga jumlah umat menurun drastis, dari sekitar 500 jiwa
menjadi 150 jiwa.
7.
Di satu sisi, kejadian-kejadian traumatis ini, terutama
Kerusuhan Mataram 17 Januari 2000, menimbulkan sikap berhati-hati, bahkan masih
memicu rasa takut sampai sekarang, di kalangan umat Katolik di NTB dalam
menjalankan aktivitas keagamaan. Di sisi lain, persoalan-persoalan ini menjadi
tantangan yang dapat menumbuhkan militansi umat dan keinginan untuk secara strategis membina hubungan yang
baik dengan
masyarakat mayoritas Islam di sekitar. Sisi lain dari adanya peristiwa-peristiwa
traumatis ini disuarakan dalam Sidang Pra Sinode Dekenat NTB.
3. Kawanan
Kecil Ini
Adalah
Komunitas Multietnis
1.
Komposisi
etnis umat Katolik di Keuskupan Denpasar berbeda
di paroki yang satu dengan yang lain. Data akurat tentang komposisi etnis di
tiap paroki belum
tersedia.
2.
Secara umum dapat dikatakan bahwa karakter multietnis
umat di Keuskupan Denpasar tampak
jelas pada umat
paroki-paroki perkotaan.
Paroki-paroki di pedesaanmemiliki umat dengan etnisitas yang lebih
homogen.
4.
Komposisi
Etnis Umat Dekenat Bali Barat Menurut Laporan Paroki-Paroki
NO
|
PAROKI
|
KOMPOSISI ETNIS
|
1
|
TABANAN
|
Umat pada umumnya
pendatang, kecuali di Stasi Piling
dan Stasi Penganggahan umatnya berasal dari etnis Bali.
|
2
|
GUMBRIH
|
Mayoritas Bali
|
3
|
NEGARA
|
Bali 46%; Flores
23%; Jawa 14%; Tionghoa 10%; Timor 5%; lain-lain 2%.
|
4
|
PALASARI
|
Mayoritas Bali
|
5
|
SINGARAJA
|
Bali 28%, Jawa
25%, Flores 22%, Tionghoa 10%, Timor 10%, Lain-lain 5%.
|
5. Komposisi Umat Dekenat Bali Timur Menurut Laporan
Paroki-Paroki
NO
|
PAROKI
|
KOMPOSISI ETNIS
|
1
|
KATEDRAL
|
Umat heterogen
secara etnis (Bali, Jawa, Flores, Timor, Tionghoa, dll)
|
2
|
ST.YOSEP KEPUNDUNG
|
“Berbagai etnis dan suku baik
penduduk asli Bali dan pendatang dari seluruh Indonesia.”
|
3
|
ST.PETRUS DPS
|
Jawa (37,5%), NTT
(32,7%), Bali (12%), China (6,3%), Sumatera (6,3%), NTB (3,9%), Sulawesi
(3,4%), Kalimantan (0,6%), Maluku (0,4 %).
|
4
|
KUTA
|
NTT 45%; Jawa 30%;
Tionghoa 15%; Bali 5%; Etnis lain 5%.
|
5
|
NUSA DUA
|
Bali, Flores,
Timor, Sumba, Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Mayoritas berasal dari Flores.
|
6
|
GIANYAR
|
Selain umat Katolik asli Bali,sebagian besar umat adalah pendatang dari Jawa, NTT,
Batak, dan
Maluku.Ada juga yang
berasal dari Perancis, Italia, Jerman, dan negara-negara lain.
|
7
|
TUKA
|
Jumlah penduduk
pendatang sudah melebihi jumlah penduduk
asli. Umat asli Bali berdomisili di sekitar paroki dan umat pendatang dari
berbagai etnis berdomisili di perumahan di Dalung dan sekitarnya.
|
8
|
KULIBUL
|
Bali 60%, Jawa
15%, Flores 20%, lain-lain 5%. Paroki Kulibul mendapat tumpahan umat:hampir 20% umat yang hadir dalam Perayaan EkaristiHari Minggu adalah umat
dari Timur dan Barat Pulau Bali.
|
9
|
BABAKAN
|
Tidak ada keterangan, karena tidak mengirim
data
|
10
|
TANGEB
|
Mayoritas umat Bali Katolik;pendatang kira-kira 10%;.
|
11
|
KLUNGKUNG
|
Umat sebagian besar adalah pendatang dengan
komposisi etnis sebagai berikut: Bali, Tionghoa, Jawa, Flores, Timor, dan
Sumatra.
|
12
|
AMLAPURA
|
Umat stasi
sebagian besar adalah pendatang. Komposisi etnis sebagai berikut: Jawa 50%,
NTT 40%, Bali 10%.
|
6.
Komposisi
Etnis Umat Dekenat NTB Menurut Laporan Paroki-Paroki
NO
|
PAROKI
|
KOMPOSISI ETNIS
|
1
|
MATARAM
|
Flores 45%; Jawa
30%; Tionghoa 8%; Bali 5%; Timor 4%; Sumba-Batak-Bima dll 8%.
|
2
|
AMPENAN
|
Flores 67%;
Tionghoa 10%; Jawa 10%; Timor 5%; Sumba 5%; Bali 1% dan lain-lain.
|
3
|
PRAYA
|
Flores 35%; Timor
20%; Jawa 20%; Tionghoa 15%; Bali 10%
|
4
|
BIMA
|
Flores (603 jiwa), Tionghoa (121 jiwa), Sumba (73 jiwa), Timor (63 jiwa),
Maluku (22 jiwa), Sulawesi (14 jiwa), Bima (6 jiwa), Lombok (5 Jiwa), Jawa (4
jiwa) dan Bali (3 jiwa).
|
5
|
SUMBAWA BESAR
|
Flores 50%; Sumba
25%; Tionghoa 15%; Timor 5%; Jawa-Bali 5%.
|
6
|
DOMPU
|
90% Flores, 5%
Tionghoa, 3% Timor, 1% Jawa dan Pribumi
|
7
|
DONGGO
|
Hampir semua etnis Bima, kecuali
beberapa orang pendatang yang menikah dengan orang setempat.
|
·
Keragaman
etnis adalah berkat
dan sekaligus tantangan. Keragaman etnis membuka peluang untuk saling
memperkaya dan untuk memberi kesaksian tentang persaudaraan kristiani yang melintasi
batas-batas primordial kesukuan. Tantangannya, kita harus
mampu mengelola
keragaman etnis untuk mengurangi prasangka, arogansi dan
eksklusivitas pergaulan berbasis etnis
yang dapat memicu perpecahan dalam Gereja. Laporan dari
Paroki Kuta, semisal, mengakui masih tampaknya gejala pengelompokan eksklusif
umat berdasarkan etnisitas.
·
Diperlukan
program-program yang diarahkan untuk membuat umat bangga menjadi Katolik dan
anggota warga etnis tertentu namun tetap terbuka dan apresiatif terhadap orang
dan kebudayaan etnis lain, antara lain melalui program-program pembinaan anak-anak
dan kaum muda, misa budaya, program-program pengembangan inkulturasi, akomodasi
potensi-potensi kelompok etnis, pembangunan KBG yang inklusif, dan
lain-lain.
7. Kawanan Kecil Ini Bukan Kelompok Elit Secara Ekonomis
1. Belum ada data yang solid
mengenai komposisi umat Katolik per paroki dari sudut tingkat penghasilan mereka.
2.
Meski demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa umat Katolik di Keuskupan
Denpasar secara ekonomis tergolong kelas menengah ke
bawah. Tentu saja ada cukup banyak umat, terutama di perkotaan, yang
berkecukupan secara ekonomis. Kemurahan hati mereka memampukan paroki-paroki
membangun gedung-gedung yang bagus dan
membiayai kegiatan-kegiatan gereja. Laporan dari Paroki Mataram, semisal,
menyatakan: “Secara umum
kondisi ekonomi umat
Paroki St. Maria Immaculata Mataram berada di tingkat menengah ke atas, namun
masih ada juga umat yang hidup susah yang benar-benar membutuhkan uluran tangan
dari sesama.”
3. Meski
demikian, persoalan ekonomi masih menjadi keprihatinan yang disuarakan dalam
laporan Focus Group Discussion (FGD)
dari paroki-paroki. Kondisi
ekonomi umat yang tergolong menengah ke bawah membatasi kemampuan finansial
paroki untuk membiayai kegiatan-kegiatan dan pembangunan gereja secara mandiri.
Bagi umat di
perkotaan,yang sebagian
besar adalah pendatang, kesibukan “membanting tulang” untuk mencari nafkah
membatasi ruang gerak mereka untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan Gereja.
4. Dalam
Sidang Pra Sinode Dekenat, semua dekenat menjadikan persoalan ekonomi sebagai
salah satu masalah kunci yang perlu dihadapi dan disikapi.
5.
Dekenat NTB menyebutkan “masih banyak umat yang miskin”.
Kemiskinan tersebut terkait dengan kurangnya ketrampilan untuk memasuki dunia
kerja, pola hidup yang konsumtif dan mental priyayi, etos kerja yang rendah,
petani terperangkap dalam sistem ijon dan sempitnya lahan yang dimiliki.
6. Dekenat
Bali Barat melihat permasalahan (kesulitan) ekonomis di kalangan umat terkait
dengan lemahnya manajemen ekonomi rumah tangga, pendapatan yang rendah, pola
hidup konsumptif, kurangnya lapangan kerja dan kurangnya ketrampilan untuk
memasuki dunia kerja. Perlu juga diperhatikan bahwa umat di dua paroki
pedesaan, khususnya di Palasari dan Gumbrih, sebagian besar hidup sebagai
petani dengan lahan yang tidak luas sehingga mereka dapat digolongkan sebagai
kalangan ekonomi lemah. Kedua paroki ini mengalami persoalan urbanisasi yang
menyebabkan keluarnya generasi muda untuk bersekolah dan keluarnya kelompok
usia produktif untuk mencari nafkah di luar wilayah paroki. Mereka yang sukses
enggan untuk kembali ke paroki asal. Kurangnya fasilitas pendidikan, lapangan
kerja dan pengembangan usaha kecil untuk pengembangan ekonomi keluarga di
paroki-paroki pedesaan menjadi akar persoalan urbanisasi yang juga menantang
kehidupan berparoki. Ancaman
tersebut secara sosiologis sering disebut sebagai brain-drain, hilangnya
umat yang berpotensi tinggi. Trend ini tentu akan berpengaruh pada kehidupan
menggereja di masa depan.
7. Dalam
Pra Sinode Dekenat Bali Timur, sebagian besar paroki (Katedral, Kepundung, St. Petrus Denpasar,
Kuta, Babakan, Kulibul, Tangeb, Klungkung, Amlapura, Nusa Dua) menyebutkan
masalah ekonomi sebagai masalah kunci di paroki mereka. Banyak umat di
perkotaan di Dekenat Bali Timur hidup sebagai pendatang yang bekerja dengan
pendapatan kecil. Mereka tinggal di rumah-rumah kos. Ini menimbulkan kesulitan
dalam menyediakan tempat untuk pertemuan kelompok-kelompok basis.
8. Persoalan
ekonomis terkait dengan akses pada pendidikan yang cenderung menjadi “bisnis
pendidikan” dengan biaya yang semakin mahal. Mahalnya biaya menyekolahkan anak
di sekolah Katolik menjadi keluhan baik dalam laporan FGD dari paroki-paroki
maupun dalam Pra Sinode Dekenat. Dari
Laporan FGD Paroki Tabanan, semisal, sampai-sampai muncul keluhan bahwa “sekolah Katolik kurang berpihak pada
anak-anak Katolik”.
9. Gereja
perlu memikirkan dan melakukan langkah-langkah
strategis dan berkesinambungan untuk memberdayakan umat dari sudut ekonomi dan
pendidikan agar kualitas hidup umat Katolik terus meningkat. Persoalan
ekonomis, tidak cukup dihadapi dengan seminar-seminar dan kunjungan-kunjungan
singkat. Program-program pemberdayaan perlu dilakukan dengan studi penjajakan
yang kredibel. Program-program juga perlu mencakup elemen peningkatan motivasi,
pelatihan dan pendampingan, bantuan permodalan dan pemasaran, serta monitoring
yang berkelanjutan. Dan yang terpenting, umat yang didampingi perlu selalu
disadarkan bahwa pemberdayaan selalu menuntut perjuangan dan terarah pada
kemandirian, bukan ke arah ketergantungan.
Data yang akurat akan sangat membantu Gereja menetapkan program karena berbasis data. Saya salut untuk ide dan gagasan yang kreatif ini. salam dalam Tuhan Yesus
ReplyDelete